Rabu, 30 Desember 2009

Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Bank Century (Sebuah Resensi Pribadi)

Maafkan saya, seharusnya kemarin saya memposting tulisan mengenai buku yang sedang jadi perbincangan hangat di media massa karena tiba-tiba “menghilang”. Namun saya baru kembali dari luar kota menjelang tengah malam, maka hari ini saya tuntaskan janji itu. Ya, buku apalagi yang hendak saya ulas kalau bukan Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century karya George Junus Aditjondro.


Membaca cepat (screening) buku ini, saya mendapatkan kesan buku ini memuat banyak fakta yang belum banyak diketahui umum. Ini seolah sesuai dengan kehebohan yang ditimbulkannya, sampai-sampai SBY sendiri memerlukan diri untuk bereaksi, termasuk melalui juru bicaranya. Akan tetapi, begitu membaca lebih cermat, akan tampak kalau buku ini sebenarnya adalah kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan di media massa, baik cetak maupun elektronik, hanya saja ditulis ulang dan disambung-sambungkan. Kalau kata orang Jawa, othak-athik gathuk. Itu ditambah sedikit ulasan opini dari George sendiri terhadap fakta yang ada.

Judul buku ini menjadi bagian pertama –bukan bab karena buku ini tak beralur sistematis- berjudul sama. Dari bagian pertama ini, tampak jelas bahwa 3 halaman pembuka tersebut merupakan “ramuan” George sendiri terhadap pemberitaan media massa yang seolah tak saling berhubungan. Intinya, ia menyatakan di p. 14: “Selain merupakan tabir asap pengalih isu, penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandara M. Hamzah oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam membongkar skandal Bank Century.” Ia meneruskan dengan menyebutkan nama Boedi Sampoerna dan Hartati Murdaya yang disebutnya sebagai penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Masih ditambah lagi dengan lampiran copy surat rekomendasi dari Kabareskrim (editor buku kurang menyebut kata “Ka”, sehingga tertulis di buku hanya “Bareskrim) Mabes Polri Komjen (Pol.) Susno Duadji tertanggal 7 dan 17 April 2009. Surat rekomendasi inilah yang kemudian menjadi titik tolak kecurigaan publik terhadap peran serta Susno dalam kasus ini, dimana ia terkesan menyelamatkan uang milik Boedi Sampoerna di Bank Century senilai US$ 18 juta.

Selain dana di Bank Century, di bagian kedua George juga menyoal pemanfaatan dana publik yang dialihkan untuk biaya kampanya Partai Demokrat dan calon presidennya. Di bagian kedua ini yang juga cuma 3 halaman berisi informasi yang didapat George tentang pengalihan separuh dari dana PSO (Public Service Obligation) LKBN Antara yang menurutnya mengalir ke Bravo Media Centre. Menurutnya, ini bisa terjadi karena adanya mantan Direktur Blora Centre dalam Pemilu 2004 dan mantan wakil Pemimpin Umum harian Jurnal Nasional duduk sebagai Direktur Komersial & IT Perum LKBN Antara, yaitu Rully Ch. Iswahyudi. 

Ruh utama buku ini ternyata bukan di soal Bank Century, melainkan justru peran yayasan-yayasan yang berafiliasi dengan SBY dan Ny. Ani Yudhoyono. Disebutkan tiga yayasan yang berafiliasi dengan SBY, yaitu Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (YKDK). Sementara yayasan yang berafiliasi dengan Ny. Ani Yudhoyono juga disebutkan tiga oleh George: Yayasan Mutu Manikam Nusantara, Yayasan Batik Indonesia dan Yayasan Sulam Indonesia. Khusus bagian ini, cukup memberikan informasi bagi publik tentang nama-nama pejabat dan tokoh penting yang terlibat di dalamnya. Namun, bagi saya, masih belum jelas apa kaitan yayasan-yayasan itu dengan aliran dana Bank Century apalagi keterlibatannya dalam pemenangan Pemilu 2009 bagi Partai Demokrat dan SBY.

Di bagian akhir bukunya, George mengulas pelanggaran Pemilu oleh caleg-caleg Partai Demokrat, termasuk oleh Edhie Baskoro (Ibas), putra bungsu SBY. Pelanggaran itu terutama ditudingnya terkait politik uang dan praktek pembelian suara. Meski berupaya menghidangkan klimaks, namun peletakan dugaan kecurangan ini malah jadi anti-klimaks bagi saya. Karena, tulisan di dalam bagian ini justru cuma kutipan saja dari media massa. Tidak ada fakta baru yang diketengahkan. 

Kalaupun ada yang menarik dari buku ini, bagi saya justru di lampirannya. Karena di sana kita bisa melihat buah karya ketekunan George mengumpulkan fakta yang terserak. Di lampiran 1 kita bisa membaca daftar tim-tim kampanye Partai Demokrat dan Capres-Cawapres SBY-Boediono. Di lampiran 3b juga ada daftar aktivitas YKDK.

Akan tetapi bagi saya yang paling bagus justru di lampiran 4 tentang hubungan dekat Syamsul Nursalim -konglomerat penunggak BLBI- dengan keluarga SBY terutama Ny. Ani Yudhoyono. Hal ini menurut George termasuk pula adanya foto SBY dan istrinya sedang menghadiri pernikahan anak Artalyta Suryani (p.153), orang dekat Syamsul Nursalim, sementara SBY sendiri membantah mengenal Ayin. Nama Artalyta alias Ayin mencuat ke muka publik setelah pada 29 Februari 2008 Jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan menerima uang suap dari Ayin. Wanita ini memang dikenal dekat dengan banyak orang penting negeri ini.

Demikian pula informasi baru di lampiran 5 tentang Allure, sebuah perusahaan batik baru yang berkibar dengan cepat melalui alur Yayasan Batik Indonesia. Menurut George, bisa jadi, ketenaran Allure dipengaruhi juga oleh dukungan keluarga presiden pada merk baru ini (p.167). Apalagi, Annisa Pohan dan anaknya Almira Tunggadewi juga menjadi modelnya. 

Pendek kata, dengan buku ini George tampaknya berupaya mencari benang merah dengan alur hipotesis: Skandal Bank Century adalah megaskandal yang melibatkan lingkaran dekat SBY, dimana sebagian besar dananya dialirkan untuk mendanai pemenangan Pemilu Presiden 2009 agar SBY bisa menjabat untuk kedua kalinya. Ditambah hipotesis sekunder bahwa terjadi kecurangan dalam Pemilu 2009 yang dilakukan oleh Partai Demokrat dan caleg-calegnya. Namun tampaknya George harus berupaya lebih keras lagi agar buku ini dapat menjadi hipotesis kuat, daripada sekedar menegakkan benang basah, alih-alih benang merah. Apalagi pemaparan aktivitas dan kepengurusan yayasan-yayasan yang berafiliasi ke SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, serta adanya hubungan baik SBY atau Ny. Ani Yudhoyono dengan sejumlah orang tidak secara langsung menunjukkan keterkaitan dengan kasus Bank Century. Walau begitu, memang bagi yang namanya disebut-sebut, terutama keluarga SBY, penulisan buku ini bisa membuat “mata merah” (bukan “telinga merah” karena kan ini buku yang dibaca, bukan suara yang didengar). 

Toh, andai saya bisa memberi saran pada SBY, saya akan bilang, “Santai saja, Pak. Ini cuma kliping kok.” Nyaris seperti buku bermodel kliping yang berkali-kali dibuat oleh Wimanjaya di era Soeharto, toh tak berefek apa-apa di masyarakat. Walau saat itu memang Departemen Penerangan dan Kejaksaan Agung juga melarang secara resmi buku klipingan itu karena terlalu kuatir atasannya –Presiden Soeharto- tersinggung. Kali ini, rasanya SBY seharusnya bisa membuktikan ia seorang yang pemberani dan tak mudah tersinggung dengan membiarkan saja buku ini beredar. Anggap saja “anjing menggonggong kafilah berlalu” kan?

Bhayu M.H. adalah pengelola blog LifeSchool, versi lain dari ulasan buku ini dapat dibaca di sini.

(Maafkan pula foto saya yang narsis, hehe)

[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 29 Desember 2009]

Kamis, 12 November 2009

Sang Sutradara

Dalam setiap lakon, baik itu sekedar sandiwara sekolahan atau film ala Hollywood, selalu ada sutradara yang berhak mengatur mulai jalannya cerita hingga penentuan pemain. Demikian pula dalam setiap lakon politik di panggung kenegaraan kita, tak heran bila masyarakat bertanya-tanya, setelah semua aktor menampilkan diri, maka, siapakah sang sutradara? Bila di panggung sandiwara atau teater sang sutradara akan tampil dengan bangga saat diperkenalkan di akhir acara, atau menampilkan diri dalam credit title di akhir film, maka dalam konteks sutradara di panggung politik kenegaraan malah sebaliknya, sang sutradara malah ‘ngumpet’.
Kenapa ngumpet? Karena sebagai ‘aktor intelektual’ ia memiliki peran paling besar dan merupakan otak dari segalanya, maka, ia pun kemudian memiliki tanggung jawab paling besar dibandingkan aktor biasa. Apalagi bila kemudian drama nasional yang dipertontonkan merupakan perbuatan yang merugikan pihak lain.
Terkadang, sang sutradara memang tidak tersingkap sampai lakon berakhir. Akan tetapi, itu tak sering. Bahkan, andaikata tak disebutkan gamblang, biasanya ada tindakan yang terindikasi bahwa seseorang adalah sutradaranya. Seperti tulisan saya kemarin di Politikana (baca kembali di sini), dalam skandal Watergate misalnya, Richard Nixon memang tidak terbukti sebagai sang sutradara. Ia mundur dari jabatannya sebelum pemeriksaan, yang berarti akan mengungkap segalanya termasuk jati diri sang sutradara. Meski tidak pernah ada pernyataan resmi tentang jati diri sang sutradara kasus Watergate, publik tetap bisa menduga, bisa jadi Nixon-lah  sang sutradara itu sendiri.
Dalam kasus kekisruhan yang menimpa KPK dan Polri, yang semula merupakan kasus Bank Century dan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang terpisah, publik hanya bisa meraba, siapa kira-kira sutradaranya. Dalam tulisan di internet termasuk di P ini, berseliweran berbagai skenario terutama dugaan tentang sang sutradara, namun semua hanya dugaan dan prasangka belaka. Tidak ada bukti yang bisa disampaikan. Hanya saja, seharusnya otak yang waras bisa meraba, kemana sebenarnya arah kasus ini. Karena bila memang sekecil itu skalanya, saya pikir tak mungkin sampai dibentuk Tim 8 segala. Sekarang, tinggal menunggu siapa yang akan dikorbankan dan “diberi cap” sebagai sutradara. Padahal, mungkin yang bersangkutan cuma figuran belaka.
Sudah lama sekali banyak kasus yang tergolong ‘dark number’. Jangankan sutradaranya, wong aktor pelakunya saja masih gelap atau ‘digelapkan’ kok. Misalnya kasus penculikan aktivis 1997-1998, Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Petrus di dekade 1980-an, atau Tragedi Tanjung Priok 1984. Meski ada dugaan dari publik atau pengamat ahli, semua itu cuma dugaan tanpa bukti faktual. Memang, ada aktor yang tercatat sejarah, namun belum tentu aktor utama. Terkadang, seperti halnya dalam Peristiwa Malari 1974, aktor utamanya yaitu Ali Moertopo dan Soemitro tidak mendapatkan hukuman resmi dalam pengadilan, melainkan ‘hanya’ hukuman berupa pencopotan jabatan saja. Malah, para pengamat ahli menduga dalam banyak kasus konflik di era Orde Baru, sang sutradara justru yang berhak mencopot jabatan para aktor utama itu tadi. Namun, sekali lagi itu hanya dugaan tanpa bisa terungkap.
Pertanyaan saya: akankah kekisruhan KPK vs Polri ini akan berujung pada dark number? Kalau memang begitu, memang repot. Ujungnya kita tinggal menunggu kiamat dan menanti pengadilan Tuhan saja. Akan tetapi harus diingat, kita tidak bisa ‘menonton’ pengadilan Tuhan, karena tiap kita akan diadili sendiri-sendiri. Dan pengadilan Tuhan tidaklah mengadili kasus, melainkan mengadili perbuatan pribadi saja. Sehingga, kita pun tidak akan bisa memastikan hal itu, selain orang itu sendiri dan Tuhan tentunya. Akankah semua ini kita serahkan ke Tuhan saja?

{Tulisan ini dimodifikasi sedikit dari tulisan yang dimuat di LifeSchool, dimuat bersamaan di Politikana, 12 November 2009}

[Gambar diambil dari actorguru]

Rabu, 11 November 2009

All The President's Men

Kemarin, saya iseng-iseng sambil nunggu waktu ketemu klien nonton bareng All The President's Men di IGJ. Yang nonton sedikit, yang kenal malah cuma 1 orang. Maklum, saya bukan "anak gaul" lagi di dunia aktivis. Begitu malamnya buka P, kaget, lho, tadi ada Mr. Presiden di sana? (baca ini). Hebat banget dia, nyamar jadi apa ya kok saya bisa ndak lihat? :D
Film itu, tentu banyak warga P yang sudah nonton. Tapi sepintas saja bagi yang belum nonton atau sekedar mengingatkan, film itu merupakan kisah nyata dari skandal Watergate (1972-1974) yang pada akhirnya menjatuhkan Presiden Richard Nixon. Dimulai dari tertangkapnya 5 orang saat hendak menyadap kantor pusat Partai Demokrat, lawan Partai Republik yang sedang berkuasa. Kejadian kecil yang semula dikira percobaan pencurian biasa itu ternyata mengarah pada banyak hal, termasuk dalam hal ini yang paling berat adalah penyalahgunaan kekuasaan dari Nixon. Karena kelima orang itu ternyata terhubung dengan Tim Sukses Pemenangan Kembali Pemilu Presiden AS 1972 untuk Nixon. Dan Nixon sendiri terbukti memiliki rekaman pembicaraan hasil sadapan dari berbagai tempat. Selain bergulir di pengadilan, kasus ini mencuat dan menjadi perhatian publik berkat ketekunan dan keberanian dua wartawan muda The Washington Post yaitu Bob Woodward dan Carl Bernstein. Mereka kemudian jadi legendaris dan tekniknya yaitu menggunakan "Deep Throat" kemudian jadi lazim digunakan oleh para wartawan investigasi seluruh dunia.
Andai benar Presiden SBY menonton acara itu kemarin, tentu semua peserta akan bertanya, kenapa Presiden tidak menyerahkan pengusutan perkara ini kepada "Grand Jury" seperti Watergate. Bisa jadi beliau berkata sudah, karena sistem hukum kita kan memulai proses peradilan dari awal, dari tingkat Pengadilan Negeri dimana kasusnya diajukan oleh Kejaksaan Negeri. Lagipula tidak ada sistem juri di peradilan kita. Dan beliau bisa pula berkata bahwa sebagai Presiden yang eksekutif beliau tak mau mencampuri wewenang peradilan yang yudikatif. Yeah, penerapan murni Trias Politica-lah.... Apalagi, di sini SBY sudah membentuk Tim 8 yang bekerja untuk menggelar perkara secara publik walau hasilnya cuma berbentuk rekomendasi tanpa kekuatan hukum tetap. Semua tindakan SBY itu secara teoretis bisa saja dibenarkan. Namun, di sini ada opini publik yang terbentuk dan rasa keadilan rakyat yang terkoyak. Sama halnya dengan kasus Watergate atau penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa mana pun, sebenarnya kalau mau dijustifikasi ya tidak ada yang salah. Wong aturannya yang buat ya si penguasa sendiri kan? Hanya saja selain justifikasi legal formal, asas etika dan keadilan universal harus pula diperhatikan.
Selain soal keterlibatan Nixon, ada satu hal lagi yang menggelitik saya dari film tersebut, yaitu keberanian media mengungkap kasus itu. Bahkan The Washington Post dan The New York Times berlomba menggali lebih dalam, dan sejarah mencatat Post akhirnya unggul. Resikonya tidak sedikit, Pemrednya pun harus siap "pasang badan", tapi setelah yakin faktanya benar-benar valid. Mereka berani melawan penguasa, yaitu Presiden AS dan aparatnya termasuk FBI dan CIA. Di Indonesia saat ini, malah ada TV yang memberi kesempatan pada "musuh negara" untuk diwawancara eksklusif, seraya berupaya mendistorsi informasi, bukannya menggali informasi yang valid untuk rakyat.
Nixon sendiri mundur guna menghindari impeachment oleh House of Representatives dan pemeriksaan mendalam dari Senat. Penggantinya yang nota bene adalah Wakil Presidennya sendiri yaitu Gerald Ford kemudian memberikan maaf dan pengampunan secara resmi. Maka, ia terhindar dari pemeriksaan lebih lanjut yang jelas berpotensi menghancurkan reputasinya dan ada pula kemungkinan ia akan dipenjara, walau skandal Watergate-nya sendiri sebenarnya sudah menamatkan karir politiknya.
Artinya, sebagai Presiden ia cukup berani mengambil alih tanggung-jawab anak buahnya, walau belum terbukti ia yang memerintahkan. Artinya, meminjam istilah Hendarman Supandji, belum ada bukti mutlak Presiden terlibat, tapi sudah ada bukti kuat bahwa Nixon minimal mengetahui perbuatan "orang-orang"-nya, All The President's Men. Dan pembiaran tindakan kejahatan adalah termasuk konspirasi kejahatan yang dikategorikan kejahatan juga.
Nah, bagaimana di sini? Tampaknya para pemimpin kita justru sebaliknya. Mereka malah sebisa mungkin berlindung dengan segala cara setelah melempar batu. Kalau ada yang harus dihukum dan disalahkan, bukan pimpinannya, tapi malah anak buahnya. Sampai-sampai ada istilah "dikorbankan".
Saya tidak menuduh bahwa ada orang yang lebih tinggi lagi yang terlibat dalam skandal Bank Century dan pembunuhan Nasrudin yang kemudian berkembang jadi KPK vs Polri ini. Saya hanya berharap, keadilan akan ditegakkan dan kasus ini menjadi yurisprudensi yang akan dikenang oleh generasi mendatang sebagai pengungkapan satu kejadian memalukan yang berefek memurnikan sistem ketatanegaraan termasuk sistem hukum negara kita.
Pada akhirnya, paling tidak dari film ini ada pelajaran yang bisa dipetik:
  • Institusi peradilan harus independen dan tidak takut atau terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif atau tekanan mana pun termasuk dari publik. 
  • Pimpinan atau seseorang berjabatan tinggi selayaknya berani mengakui tanggung-jawabnya dan rela diberikan hukuman sesuai proporsi kesalahannya. Tanpa harus "mengorbankan" anak buahnya semata.
  • Pihak-pihak yang terlibat mau jujur berterus-terang menyebutkan kejadian yang dialaminya tanpa ada rekayasa atau pengaturan skenario lebih dulu.
  • Media bisa mengambil peran lebih menelisik lebih dalam daripada penyidik resmi. Setidaknya, fungsi watchdog dijalankan, bukan jadi puppies peliharaan yang menggoyangkan ekornya kesenangan saat diberi santapan penangkapan teroris...
Gambar diambil dari Moviefone

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 11 November 2009]

Selasa, 10 November 2009

Pahlawan & Tanda Jasa

10 November. Hari Pahlawan.
Itulah hafalan kita sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar (S.D.). Tentu kita semua tahu riwayatnya, kenapa hari ini dijadikan Hari Pahlawan oleh pemerintah Indonesia. Ya, dahulu di masa Revolusi Fisik mempertahankan kemerdekaan, arek-arek Suroboyo menolak perintah menyerah dari Inggris selaku pimpinan pasukan Sekutu yang menduduki kota itu. Sekutu, selaku pemenang Perang Dunia II merasa berhak mengambil alih Indonesia dari tangan Jepang yang sebelumnya menguasai wilayah yang bernama Hindia Belanda itu. Namun, rakyat Indonesia mencium gelagat bahwa negerinya akan diberikan kembali sebagai jajahan Belanda, terbukti dengan ikut sertanya NICA dalam rombongan tentara Sekutu. Maka, saat otoritas tentara pendudukan Inggris meminta rakyat Surabaya menyerah, serta-merta dilawan dengan angkat senjata. Segala elemen rakyat bahu-membahu berperang melawan tentara Inggris dan Belanda yang bersenjata jauh lebih modern.
Meski tak seimbang dan jatuh korban amat banyak di pihak Indonesia yang baru saja memerdekakan diri 3 bulan sebelumnya, perlawanan rakyat Surabaya mengejutkan Inggris dan dunia. Heroisme mereka diliput luas dan diberitakan di luar negeri. Terlebih, tentara Inggris harus merelakan kehilangan salah satu pimpinan mereka yaitu Brigadir Jenderal Mallaby yang tewas tertembak. Itu memaksa Inggris kemudian perlahan hengkang dari Indonesia seraya mendorong Belanda memasuki meja perundingan. Meski Belanda tidak langsung mengakui bahkan berupaya 2 kali lagi melakukan agresi, namun pada 19 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, mantan penjajah itu akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Ada dua kejadian historis yang heroik yang masih diingat hingga kini. Pertama adalah pidato Bung Tomo, tokoh pemuda Surabaya yang membakar semangat arek-arek Suroboyo melalui RRI. Dalam pidatonya yang bersejarah itu beliau telah mampu menghilangkan keraguan dan ketakutan rakyat, sekaligus memompa semangat juang segala lapisan masyarakat. Sementara kejadian historis kedua adalah perobekan kain bendera di bagian warna biru bendera Belanda yang berkibar di Hotel Oranje, untuk kemudian bendera yang tinggal warna merah-putihnya itu dikerek naik kembali. Itulah yang kita kenang. Nilai-nilai inilah yang kita junjung...
Keluhuran.
Kebanggaan.
Kepahlawanan.
Nasionalisme.
Patriotisme.
Itulah yang harus dipertanyakan kembali di saat republik ini menua. Republik yang untuk mendirikannya ditebus dengan darah, nyawa, harta dan air mata para pahlawan. Para pahlawan yang bahkan banyak mati dalam kondisi tak dikenal dan tanpa tanda jasa.
Sementara, kini kita menyaksikan parade mengerikan di media massa kita. Parade di mana ada sejumlah orang dengan tanda jasa bertaburan di dadanya namun patut dipertanyakan nilai-nilai keluhuran, kebanggaan, kepahlawanan, nasionalisme dan patriotisme-nya. Orang-orang yang rela ‘menjual murah’ tanda-tanda jasa yang seharusnya hanya layak dimiliki para pahlawan itu dengan rumah mewah, pendidikan anak di luar negeri, kesehatan terjamin, mobil sport terbaru, dan hal-hal duniawi lainnya.
Tidakkah kita semua malu pada para pahlawan yang berteriak lantang seperti dituliskan oleh Chairil Anwar dalam sajak terkenalnya “Krawang-Bekasi” (1949):
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Semoga kita sekarang tidak berkata:
“Pahlawan, maafkan kami. Negeri hasil perjuanganmu luluh lantak oleh para penjahat bertanda jasa, yang dibeli oleh para penjajah gaya baru bersaku penuh uang seraya berkata: kamilah Pahlawan!”

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan Politikana, 10 November 2009]

Senin, 09 November 2009

Akhirnya... Ada Demo Dukung Polri

Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis "usul" agar mengadakan demo anti KPK (baca di sini). Ternyata, hari ini hal itu benar-benar terjadi. Bahkan di dua kota sekaligus: Jakarta dan Medan. Mereka mengaku berasal dari Pemuda Penerus Amanat Proklamasi Republik Indonesia, Gempita, Persaudaraan Muslim Sedunia, Lembaga Hukum Proklamasi dan Humanis.
Selain mendukung Polri, di depan Mahkamah Konstitusi mereka menuntut Ketua MK Mahfud MD mundur. Mereka juga mengecam Chandra-Bibit yang mereka katakan bukan pahlawan. Selain di depan MK, massa serupa juga berdemo di depan gedung DPR, Mabes Polri, dan kantor Wantimpres
Tanpa harus jadi pengamat, asal mau sekedar memperhatikan, demo ini jelas termasuk demo yang patut dipertanyakan. Sebabnya:
  • Nama lembaga/institusi yang katanya mereka atasnamakan tidak pernah terdengar sebelumnya. Mungkin malah baru dibentuk tadi pagi.
  • Bendera dan atributnya terlihat seragam dan masih kinclong.
  • Spanduk putih polos dengan sablonan tidak rapih mirip spanduk yang banyak beredar saat konflik atau Pemilu.
  • Peserta demo terlihat awam, ada yang anak-anak, orang-orang tua dan mukanya polos. Terlihat sekali mereka itu "massa bayaran". 
Yeah, beginilah kalau yang punya uang marah. Mereka seolah bisa bikin apa saja. Apa sebaiknya negeri ini dijual saja sekalian ya kepada mereka?

[Tulisan ini diposting pertama kali di Politikana, 9 November 2009]

Kamis, 05 November 2009

Asal Mula Kisruh "Cicak vs Buaya"

Ini hanyalah sebuah pertanyaan kecil. Saya justru meminta bantuan apabila ada warga Politikana yang mengetahui duduk persoalan sebenarnya (mungkin dengan link sekalian). Saya mencoba merangkai mozaik, apa sebenarnya asal mula kisruh "Cicak vs Buaya" ini? Saya mendapatkan informasi bahwa upaya "pengerdilan KPK" justru bukan bermula dari kasus Bank Century, akan tetapi adanya niatan KPK untuk mengaudit sistem Teknologi Informasi (TI) yang digunakan KPU. Bila dilakukan, ada yang kuatir hasil Pemilu 2009 kemarin akan dipertanyakan ulang. Tentu saja, ada pihak yang paling dirugikan di sini, yaitu mereka yang karena Pemilu tersebut kemudian meraih kekuasaan. Mungkin ada kaitannya bila kemudian muncul pidato yang mengingatkan agar KPK tidak menyalahgunakan kekuasaan besar yang dimilikinya.
Pengangkatan pejabat yang jelas berperan dalam pengucuran dana ke Bank Century menduduki posisi lebih tinggi juga perlu dipertanyakan. Mengingat kompetensinya untuk jabatan politis meragukan. Apalagi, semua pejabat terkait dengan pengucuran dana ke Bank Century ternyata tetap dipertahankan di posisinya. Apakah kasus penghentian penyidikan oleh Kejagung ala BLBI akan kembali terjadi?
Bila memang semua ini ternyata saling terkait, semoga ada pemimpin di masa depan yang mampu menyeret pelakunya ke persidangan terbuka. Itu kalau kita asumsikan sistem dan pejabat yang ada sekarang kesulitan mengungkapnya karena alasan apa pun, terutama karena takut pada kekuasaan. Kita lihat teori motif sajalah, siapa sih yang paling diuntungkan dari kasus ini? Namun ini masih sekedar info tanpa dasar, atau sebutlah isyu. Apakah warga Politikana bisa memberikan pencerahan?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 5 November 2009]

Rabu, 04 November 2009

Demo Massa: Bubarkan KPK!

Kalau ada yang ingat masa-masa awal reformasi atau pasca Orde Baru, kita tahu bahwa untuk 'mengawal' suatu polemik yang jadi perhatian publik pihak yang bersengketa gemar mengerahkan massa. Bahkan tak jarang massa yang berseberangan kepentingan bertemu di lapangan. Jadilah ada demo pro dan kontra. Lucunya, kebanyakan massa yang ikut demo sama-sama awam atau orang suruhan. Pendeknya, orang bayaran-lah.
Mungkin nggak ya, untuk mendulang opini publik ujug-ujug ada demo di KPK oleh massa "jadi-jadian"? Sebutlah misalnya Aliansi Rakyat Anti KPK (ARAK) atau Jaringan Uang Danai Indonesia (JUDI) ? Kan kalau gitu 'rekayasa' Anggodo untuk "menutup KPK" bakal mangkin manstab toh? Jadi ndak perlu takut lagi gak dapat pemberitaan atau kalah sama konferensi pers-nya Bibit dan Chandra kan?
Hayo! Bubarkan KPK Anggoro! Sekalian saja sebarkan duit 3,5 milyar-mu dari pesawat terbang, biar lebih terkenal dari Tung Desem Waringin yang 'cuma' nyebarin 100 juta doang!

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 4 November 2009]

Rabu, 07 Oktober 2009

Indonesia For Sale: Resensi Buku

Semalam, saya diundang sobat saya Hadi Rahman untuk menghadiri diskusi dan peluncuran buku di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta. Ternyata buku yang diluncurkan editornya ya dia sendiri. Sementara penulisnya adalah “rekan Face Book” saya, Dandhy Dwi Laksono. Judulnya cukup menantang: Indonesia For Sale.
Saya tidak hendak melaporkan acara launchingnya yang lebih mirip arena “temu kangen” antar teman ketimbang diskusi buku itu, akan tetapi lebih menyoroti isi buku yang “mencerahkan”. Saya terhenyak lagi, meski merasa terus-menerus belajar dan tak henti menyerap ilmu dari kehidupan, ternyata masih banyak sekali hal yang saya tak tahu. Itulah yang saya dapat dari membaca buku ini.
Sebagai wartawan muda yang sudah sarat pengalaman, Dandhy yang antara lain pernah menjadi Kepala Seksi Peliputan di RCTI dan Pemimpin Redaksi Aceh Kita ini piawai menginvestigasi. Namun selain itu, rupanya ia juga getol mengumpulkan data. Maka,  jadilah buku ini seperti sebuah lontaran uneg-uneg yang “bergizi”, alih-alih sekedar sebagai “pengisi waktu nganggur” seperti diutarakannya saat launching.
Oke, kita masuk ke pembahasan soal isinya. Meski secara akademis Dandhy adalah seorang sarjana hubungan internasional, namun isi buku ini justru soal ekonomi. Dan di soal inilah saya jadi merasa goblok karena diajari Dandhy lewat bukunya.
Gaya penulisan buku ini menggunakan alur imajiner dengan menuturkan peristiwa dari sudut pandang penulis yang berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat seperti sopir taksi, tukang parkir atau penjaga WC umum. Dari interaksi inilah lahir obrolan yang dituangkan dalam tulisan bergaya dialogis antara penulis dengan elemen masyarakat tadi. Yang diobrolkan? Ya persoalan ekonomi yang hebatnya, kebanyakan makro.
Wawasan dan data Dandhy amat luas dalam persoalan ini. Pembaca akan jadi mafhum ternyata persoalan ekonomi yang dianggap “urusan wong gedean” itu jelas mempengaruhi semua sektor kehidupan. Artinya, mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Misalnya harga minyak bumi yang jejingkrakan di New York Merchantile Exchange (NYMEX) baik jenis light sweet atau brent north sea (p.36) berpengaruh pada pendapatan supir taksi. Saya yang jelas bukan pelaku ekonomi makro pun pun jadi ‘makin ngeh’ betapa anehnya ‘permainan’ ekonomi makro di Indonesia. Misalnya fakta bahwa kita sebagai produsen minyak tidak mampu menentukan patokan harga minyak sendiri. Meski ada yang namanya Indonesian Crude Price (ICP), ternyata sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 tahun 2005, harga minyak berpatokan pada harga di Singapura, yang nota bene sama sekali tak punya ladang minyak. Patokan harga ini namanya MOPS (Mean of Platts Singapore atau populer disebut Mid Oil Platts Singapore), alasannya karena patokan harga di dalam negeri belum terbentuk (p. 48).
Berbagai insight information terkait kebijakan ekonomi makro dan moneter pun diungkapnya. Misalnya soal pro-kontra pemberian hak eksplorasi blok Cepu kepada Exxon Mobil di halaman 229-230. Ia misalnya dengan berani menuliskan nama politisi DPR yang semula mempermasalahkan hasil negosiasi pemerintah itu dengan mengusulkan hak interpelasi dan kemudian mencabutnya kembali setelah partainya berkompromi. Atau tentang swastanisasi air di Jakarta (p.92-98). Analisanya pun mudah dicerna, seperti saat menerangkan utang luar negeri kita (p.238-p.241). Namun terutama yang patut dipuji justru saat ia menerangkan neolib di berbagai bagian  tersebar dalam buku ini, terutama di bab 3, 4, dan 5. Neolib ini, seperti kita semua tahu, adalah satu terma  ekonomi "seksi" yang ramai diperdebatkan saat Pilpres 2009 lalu.
Apa yang menjadi tujuan Dandhy menulis buku ini ternyata agar persoalan ekonomi mudah dipahami oleh orang kebanyakan seperti supir taksi, tukang parkir atau penjaga WC tadi. Namun, meski sudah disederhanakan dan mudah dimengerti bagi non-sarjana ekonomi, menurut saya tulisan tadi tetap ‘terlalu berat’. Apalagi kalau pasarnya adalah orang kebanyakan. Terlebih dengan penuturan melompat-lompat bahkan ada ”jebakan batman” seperti soal waktu penuturan di satu cerita yang tidak sama seperti di halaman 39. Walau begitu, buku ini berhasil membuat persoalan rumit menjadi sederhana tanpa menyederhanakan persoalan. Terlebih gaya penulisannya yang bertutur bahkan di beberapa bagian bak membaca Supernova (2001)-nya Dewi "Dee" Lestari -memilih cara penulisan bergaya fiksi namun menyelipkan fakta- cukup membuat nyaman pembaca. Walau begitu, untuk sampai menyamai Supernova, apalagi karya monumental Seno Gumira Adjidarma Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997) tentu Dandhy masih perlu banyak pengembangan lagi.
Sampai-sampai dalam “blurp”-nya di sampul belakang buku Arswendo Atmowiloto menyebut “buku ini lucu”. Bolehlah disebut lucu, asal jangan mentertawakan rakyat saja yang dalam buku itu pun disebut sebagai obyek pelengkap penderita saja dari sistem ekonomi kita. Sepakat kan?

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan Politikana, 7 Oktober 2009]

Senin, 05 Oktober 2009

Mimpi TNI Yang Kuat

Saya sering bermimpi, andaikata pemerintah mampu melakukan efisiensi dan penegakan hukum di segala bidang, niscaya negara kita akan memiliki cukup anggaran. Dengan anggaran itu Indonesia bisa leluasa membeli berbagai peralatan militer atau yang disebut sebagai alat utama sistem persenjataan (alutsista). Maka, terwujudulah postur TNI yang kuat. Tentu saja mimpi itu terlalu menyederhanakan berbagai persoalan, akan tetapi seperti juga Wright bersaudara menyederhanakan keinginan manusia terbang hingga kemudian tercipta pesawat. Bukan tidak mungkin dari mimpi sederhana ini kemudian akan terwujud kan?
Saya bermimpi, Indonesia punya anggaran untuk membuat skuadron utuh pesawat tempur minimal sebanyak jumlah provinsi. Dengan demikian, saat ini diperlukan 33 skuadron utuh. Padahal, Indonesia saat ini hampir tak punya skuadron utuh yang berkekuatan 16 pesawat siap terbang. Yang ada hanya skuadron tak utuh. Dengan demikian maka kelak kita akan memiliki 528 pesawat berjenis tempur/serang (fighter/attack) untuk menjaga kedaulatan udara kita. Bandingkan dengan sekarang yang hanya punya 6 skuadron tempur, 5 skuadron angkut, 3 skuadron heli, dan sebuah skuadron intai. Kalau mau dimasukkan juga masih ada skuadron pendidikan dan Satudtani (Satuan Udara Pertanian). Itu pun campuran dan hampir semuanya bukan skuadron utuh. Total jumlah pesawat kita yang siap terbang dari berbagai jenis sekitar 100 unit. Tentu saja alutsista lain misalnya alat penginderaan seperti radar dan pesawat jenis lain seperti helikopter angkut juga mutlak ditambah.
Demikian pula bagi angkatan laut, tentu saja saya bermimpi kita memiliki kapal induk, bahkan minimal dua. Pembagian armada angkatan laut menjadi barat dan timur cukup memadai. Namun akan sangat memadai bila ditambah armada tengah. Jumlah kapal-kapal tempur lain pun harus diperbanyak. Tidak seperti sekarang dimana Indonesia hanya memiliki 2 kapal selam uzur, 6 fregate dan 23 corvettes. Selain itu cuma ada kapal militer berjenis pendukung seperti untuk logistik, patrol dan amfibi dengan total jumlah kapal sekitar 140 kapal berbagai jenis.
Bagi angkatan darat, tentu diperlukan unsur tempur yang lebih memadai. Meski memiliki jumlah anggota atau personel paling banyak, akan tetapi peralatan tempur yang dimiliki kebanyakan hanya bersifat angkut personel. Indonesia bahkan sama sekali tidak punya satu pun Main Battle Tank (MBT) sebagai kavaleri paling kuat bagi matra darat. Bahkan Kopassus sebagai pasukan paling elite dalam struktur TNI pun tidak punya helikopter tempur modern, hanya ada helikopter varian militer dari versi komersial seperti NBO-105. Padahal, sudah lazim sebuah pasukan khusus punya unit udara kuat misalnya dilengkapi helikopter AH-64 Apache. Kita juga tidak lagi punya rudal darat ke darat maupun darat ke udara yang memadai seperti di dekade 1960-an. Artileri pun mengalami nasib serupa.
Kendala utama dari pengadaan alutsista lagi-lagi persoalan anggaran. Dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang hanya 20 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) dan anggaran pertahanan hanya 1 persen dari PDB, tentu dana sebesar itu justru habis untuk gaji personel yang berjumlah 432.129 orang dan pemeliharaan alutsista. Hampir mustahil untuk melakukan pembaharuan alutsista.
Sebenarnya, masalah pertahanan terkait erat dengan ekonomi. Daya tawar kita di dunia internasional akan makin kuat bila militer kita kuat. Lepasnya Timor-Timur dan Sipadan-Ligitan serta konflik di Ambalat, Aceh, Papua, Maluku dan berbagai insiden penerobosan alutsista asing seperti pesawat tempur F/A-18 milik AU-AS (USAF) pada 3 Juli 2003 menunjukkan betapa lemahnya militer kita.
Salah satu cara memperbesar kekuatan militer kita sebenarnya adalah dengan mengoptimalkan industri dalam negeri. Indonesia sudah punya hampir semuanya dalam industri militer, yaitu PT DI (pesawat), PT PAL (kapal laut), PT Pindad (alutsista darat), dan PT Dahana (bahan peledak). Kita bahkan juga punya industri hulunya seperti PT Krakatau Steel (besi dan baja). Ini bukan saja membanggakan, tapi sangat potensial untuk dikembangkan.
Tengoklah RRC yang kini punya setidaknya 11 BUMN di industri militer. Selain untuk memenuhi kebutuhan angkatan bersenjatanya yang memiliki jumlah personel terbesar di dunia (lebih dari 1 juta tentara aktif dengan sekitar 200 ribu cadangan dan rakyat terlatih), RRC juga sudah mampu mengekspor alutsista. Maka, alutsista bukan lagi pemborosan, malah memberikan devisa bagi negara.
Namun sebelum itu dimulai, dimana pastinya diperlukan modal awal dan alih-teknologi, kita perlu melakukan revolusi di bidang ekonomi. Berbagai pemborosan dan kebocoran anggaran harus ditekan. Fungsi pengawasan terutama untuk tindak pidana korupsi harus diperketat. Jangan seperti sekarang yang malah seperti ketakutan saat korupsi hendak diberantas, karena banyaknya yang merasa terlibat.
Jika negeri kita bebas korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan anggaran, bukan saja akan berefek pada ekonomi, tapi juga pada pertahanan. Dengan pertahanan yang kuat, posisi Indonesia dalam perdagangan dan diplomasi internasional akan makin kuat. Akibatnya, pasar produk Indonesia akan makin terbuka di luar negeri. Itulah manfaat lain dari kekuatan militer yang kuat. Bukankah seperti kata Letjen Urip Sumohardjo, mustahil suatu negara zonder tentara? Akan tetapi, yang dibutuhkan oleh negara kita adalah tentara yang profesional, bukan yang menjadikan rakyat target latihannya. Artinya, TNI yang selalu siap menghadapi ancaman serangan dari luar maupun pemberontakan  dari dalam setiap saat, namun tetap dengan mengedepankan kepentingan rakyat.
Akhirul kalam, dirgahayu TNI! Semoga tetap tabah dan setia menjaga negara. Walau saat ini dengan anggaran seadanya…

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan  Politikana, 5 Oktober 2009]

Kamis, 01 Oktober 2009

Gempa, Pancasila, Soekarno & Ganyang Malaysia

Kalau sekarang masih zaman Orde Baru, bisa jadi gempa yang terjadi di laut dalam sebelah barat laut kota Pariaman provinsi Sumatra Barat kemarin akan disebut “gempa Pancasila”. Sebabnya, apa lagi kalau bukan kelatahan dan kegenitan pejabat yang gemar menempeli segala sesuatu dengan embel-embel “Pancasila” di belakangnya. Kita masih ingat ada yang namanya ekonomi Pancasila, manusia Pancasilais dan tentunya sebagai ‘babon’nya adalah P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) lengkap dengan BP-7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan P4)- nya.
Pasca reformasi, karena hyper-inflasi pemakaian Pancasila selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, maka Pancasila perlahan tapi pasti menghilang dari khazanah pembicaraan masyarakat. Pejabat atau birokrat tidak lagi “demam Pancasila”. Namun justru karena itulah sebenarnya Pancasila tengah diuji “kesaktian”-nya menghadapi aneka gempa berupa gempuran ideologis lain dan pengabaian oleh masyarakat Indonesia sendiri. Padahal, tidak mengakui atau menerapkan Pancasila dalam keseharian kita akan sama artinya dengan perlahan membubarkan Indonesia. Celakanya, kekuatiran itu perlahan sudah terjadi dimulai dengan lepasnya Timor-Timur sebagai sebuah kesatuan dalam “wawasan Nusantara”.
Tentu saja, di zaman web 2.0 ini bicara Pancasila mungkin akan terasa basi. Akan tetapi, kenapa tidak ada warga A.S. yang merasa basi membicarakan Declaration of Independence-nya? Padahal, jelas usianya lebih basi daripada Pancasila, 1776 berbanding 1945. Apa yang salah dengan Pancasila?
Sebenarnya tidak ada yang salah. Sebagai sebuah acuan nilai bernegara, tentu Pancasila dibuat seideal mungkin. Dan bisa jadi karena idealnya itulah, maka implementasinya menjadi sulit. Baik Soekarno, Muhammad Yamin maupun anggota PPKI lainnya tentunya berupaya mewujudkan sebuah konsep negara ideal dalam waktu amat singkat. Dan Pancasila, boleh dibilang merupakan hasil maksimal untuk ukuran saat itu.
Sebenarnya, Pancasila tidaklah ‘malu-maluin’. Ia konon malah menjadi acuan inspirasi bagi negara-negara muda di Asia dan Afrika peserta KAA 1955 yang saat itu belum merdeka guna menyusun dasar negaranya sendiri. Soekarno juga pernah ‘menawarkan’ Pancasila kepada dunia melalui pidatonya berjudul “To Build the World a New” di hadapan Majelis Umum PBB pada 30 September 1960. Soeharto pun sebenarnya berbuat banyak mengkampanyekan Pancasila ke luar negeri dan terutama mengimplementasikan di dalam negeri. Sayangnya, semua usaha itu jadi sia-sia saat ia sendiri melanggar begitu banyak prinsip dasar yang diyakini banyak orang, terutama sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sebabnya? Tentu saja karena ia menumpuk kekuatan ekonomi ke tangan kerabat dan kroninya sendiri, sehingga jelas keadilan sosial tidak tercipta. Maka, pemasyarakatan Pancasila seakan menjadi cuma pemanis bibir saja.
Akan tetapi, di abad millennium ini, rasanya patut kita menengok kembali kepada Pancasila. Apalagi, kini ke-Indonesiaan kita benar-benar tengah diuji. Ujian itu antara lain datang dari ‘adik yang durhaka’: Malaysia. Sebagai adik, mereka benar-benar tidak menghargai ‘saudara tua’-nya. Klaim-klaim yang menjengkelkan terus saja mereka buat, seperti pernah saya tulis (klik di sini). Dan klaim terbaru adalah gamelan yang diaku sebagai warisan budaya mereka.
Bila Soekarno masih hidup dan masih jadi Presiden RI saat ini, sudah pasti akan langsung mengganyang Malaysia karena klaim-klaimnya belakangan ini. Akan tetapi sayangnya, pada 1 Oktober 1965 ia ragu-ragu untuk mengganyang musuh-musuhnya. Kalau dalam sejarah resmi ala Prof. Dr. Nugroho Notosusanto yang konon dibuat atas pesanan Soeharto sendiri dikatakan Soekarno terlalu ragu-ragu untuk mengambil tindakan tegas terhadap PKI sehingga Soeharto-lah yang menjadi “penyelamat negara dan Pancasila”. Maka, karena “hero”-nya Soeharto, sudah pasti lainnya “villain”.  Dalam hal ini, salah satu “villain” utama adalah Soekarno sendiri. Padahal, bagi para pendukungnya, Soekarno bukan dianggap ragu-ragu mengganyang PKI dan antek-anteknya, tapi justru ragu-ragu saat diharapkan mengeluarkan komando melawan faksi TNI AD yang dipimpin Soeharto. Padahal, saat itu TNI AU yang sangat kuat sudah bersiap membom Markas Komando Kostrad (saat itu singkatannya adalah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, kini kata “Cadangan” dihilangkan) pimpinan Mayjen TNI Soeharto di kawasan Gambir, memaksa mereka memindahkannya ke kawasan Senayan. TNI AL dengan KKO AL-nya pun siap membela sang presiden. Apalagi KKO AL terkenal dengan semboyannya: “Merah kata Bung Karno, merah kata KKO. Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO!” Juga elemen-elemen organisasi onderbouw PNI seperti GMNI dan Pemuda Marhaenis pun siap mati demi sang Pemimpin Besar Revolusi.
Tapi apa lacur, sang Panglima Tertinggi tak kunjung mengeluarkan komando. Maka, di saat genting itu yang “lebih cepat”-lah yang menang. Padahal, saat itu yang lebih cepat bukanlah yang lebih baik, tidak seperti slogannya pasangan JK-Wiranto dalam Pilpres lalu. Soeharto dengan langkah taktis yang sudah disiapkan sejak lama dan konon didukung CIA itu dengan cepat menggulung lawan-lawannya. Penangkapan dan juga pembunuhan besar-besaran dilakukan, dengan dalih terlibat dalam kudeta gagal pada 30 September 1965. Soekarno dan segala elemen pendukungnya yang sebelumnya terlihat amat kuat dihancurkan dengan relatif mudah. Hal ini memaksa Soekarno ‘menyerahkan kekuasaan’ (perhatikan tanda petik) kepada Soeharto melalui Supersemar.
Kini, lebih dari 42 tahun setelah kejadian, surat resmi kenegaraan yang dijadikan dasar hukum Soeharto untuk mengambil-alih kekuasaan dari tangan Soekarno –bahkan kemudian dikukuhkan dengan Tap MPRS No. IX/MPRS/1966– itu tak kunjung ketahuan rimbanya. Pencarian oleh pemerintah konon terus dilakukan. Hingga pada 28 Agustus 2009 lalu Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menyatakan bahwa Presiden SBY memiliki informasi mengenai naskah asli Supersemar. Akan tetapi, hingga kini belum terdengar kelanjutannya.
Maka, pada 2009 ini, 43 tahun setelah Peristiwa 30 September 1965 yang disebut Soekarno sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober) dan oleh Soeharto dijuluki Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau G 30 S/PKI itu ternyata tetap dilingkupi tabir amat gelap. Di tengah gempa betulan dan bencana alam lain yang menimpa berbagai wilayah nusantara, gempa konsep dan implementasi juga tengah menimpa Pancasila kita. Sebagai dasar negara, ia tengah diuji kehandalannya melawan gerusan zaman globalisasi ini. Akankah ia bertahan? Kalau gagal, maka gagal pulalah cita-cita luhur sebuah republik bernama Indonesia ini.

Gambar ilustrasi diambil dari rosodaras.wordpress.com

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan Politikana, 1 Oktober 2009]

Sabtu, 08 Agustus 2009

Nge-Blog Dong! Biar Nggak Goblok!

Blog? Apaan tuh?

Begitu mungkin bagi yang tidak mengikuti perkembangan teknologi atau biasa dijuluki “gaptek” alias gagap teknologi.  Tapi bagi yang mengerti, blog telah menjadi sarana luar biasa bagi pribadi-pribadi non-jurnalis untuk mengungkapkan diri dan ekspresinya. Seiring dengan fenomena bertumbuhnya internet sebagai media alternatif, blog telah menjadi sebuah media yang menantang media konvensional.

Sebenarnya, apa sih blog itu? Untuk gampangnya, kita bisa menyebutkan blog sebagai sebuah media yang tayang di jaringan internet. Bedanya dengan media internet yang dikenal sebagai portal, blog merupakan sebuah sarana yang dikelola pribadi dan bukan perusahaan. Mulanya, blog dibuat semata sebagai  sebuah buku harian atau jurnal online. Matt Mullenweg misalnya menyatakan ia membuat Wordpress bukan untuk tujuan komersial, namun sebagai sarana komunikasi bagi teman-temannya. Ini mirip dengan Mark  Zuckenberg pendiri FaceBook yang memiliki motivasi awal serupa.

Menurut blogherald.com, pada bulan Juli 2005 saja telah terdaftar tak kurang dari 70 juta blog di seluruh dunia. Dengan pertumbuhan yang cepat, bisa diprediksi di tahun 2009 ini kemungkinan besar jumlah blog mencapai lebih dari 100 juta blog. Meski tidak semua blog aktif, namun tetap saja fenomena ini mencengangkan. Mengingat dunia kepenulisan semula dianggap eksklusif, namun kini semua orang “bisa jadi wartawan”. Ini kemudian menelurkan fenomena lain yaitu citizen journalism atau jurnalisme warga. Dengan blog, semua orang bisa menuliskan apa pun. Itulah yang dikemukan Iskandar Zulkarnaen yang sehari-harinya merupakan copywriter Kompas.com dalam acara blogshop.

Didasari keinginan untuk membantu para penulis blog-nya di Kompasiana itulah, harian Kompas pada hari ini, Sabtu (8/8) menyelenggarakan blogshop bertema “Kiat Cepat Menulis di Blog”. Tentu saja, pesertanya beragam. Dari yang sudah berpengalaman hingga yang baru niat menulis blog. Walau materinya terasa kurang mendalam bagi “pemain lama”, blogshop ini setidaknya memberikan kesempatan bagi sesama blogger untuk berkomunikasi.

Bagi saya sendiri, keinginan untuk ber-networking lebih kental. Sebabnya , dengan peserta beragam, tentu saja materinya akan lebih mendasar. Dan dugaan saya tidak salah. Walau bagaimanapun, fenomena blogging ini juga melanda Indonesia. Menurut data Wordpress, bahasa Indonesia merupakan bahasa ketiga yang terbanyak digunakan di situs blog gratis itu. Data senada juga dikemukakan oleh Amril Taufik Gobel yang menjadi pembicara. Sebagai Ketua Komunitas Blogger Makassar atau dikenal sebagai angingmamiri.com, ia menyatakan anggotanya saja sudah 3.500 orang. Merujuk pada keterangan Enda Nasution, diperkirakan di Indonesia terdapat tak kurang dari 500.000 blog.

Yang jelas, menulis di blog membuat otak “berolahraga”. Belum lagi manfaat lain seperti beraktualisasi dan menambah teman. Menulis blog juga membuat kita tetap update dengan ilmu dan informasi. Makanya, nge-blog biar nggak goblok!

[tulisan ini dibuat sebagai bagian dari BlogShop Kompasiana, diposting juga di Kompasiana, 8 Agustus 2009]

Jumat, 17 Juli 2009

Ledakan Bom: Upaya Menggagalkan Kedatangan MU atau Protes Pasca Pilpres?

Ini hanya sebuah analisa awal, mengingat Manchester United akan datang besok dan akan menginap di Hotel Ritz Carlton, apakah ledakan bom disengaja untuk menggagalkan kedatangan klub terbaik dunia itu? Sama halnya dengan kedatangan para artis dunia yang akan konser, mata dunia memandang negara yang didatangi. Secara pencitraan, hal itu sangat berpengaruh terhadap pandangan dunia kepada negara bersangkutan.
Kita ingat, berkali-kali artis dunia membatalkan konser karena alasan keamanan. Padahal, mereka hanya penyanyi solo. Sedangkan MU adalah sekumpulan orang berharga mahal. Jelas MU tidak akan mau kehilangan banyak pemainnya lagi seperti pernah dialaminya saat pesawat yang ditumpangi rombongan jatuh pada 11 Februari 1957 di Muenchen. Ledakan bom ini bisa jadi akan membuat MU membatalkan kedatangannya ke Indonesia walau saat ini sudah berada di Malaysia.
Analisa lain bisa saja ledakan ini berkaitan dengan hasil Pilpres. Masalahnya, apakah mungkin pihak yang kalah melakukan tindakan nekat ini? Memang, ada dua mantan jenderal di pihak yang kalah, tapi mereka sudah mantan. Apa masih punya akses ke persenjataan semacam bom? Dan saya yakin mereka negarawan yang baik. Jadi,rasanya mustahil. Atau ini bisa jadi upaya fitnah entah kepada kedua pasangan capres yang kalah atau malah SBY sendiri. Biar dikira SBY gagal menjamin keamanan pasca terpilih kembali.
Atau ini upaya pihak ketiga untuk kembali memancing di air keruh. Pihak ketiga yang sampai kini kita belum bisa mengetahui siapa mereka. Bisa jadi kerusuhan di Poso, Ambon bahkan Aceh dan Papua adalah grand design mereka. Ini kalau kita percaya pada teori konspirasi "Big Brother".
Oke warga Politikana, itu analisa awal yang saya tulis dengan tergesa. Saya sedang dalam perjalanan menuju sekitar lokasi. Mari berdiskusi...

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 17 Juli 2009]

Rabu, 15 Juli 2009

Politikana Pasca Pilpres

Rupanya acara kopdar Politikana Selasa, 7 Juli 2009 lalu tertelan gaung hasil Pilpres. Sehingga malah kurang tersosialisasikan dalam tulisan2 di Politikana sendiri. Karena kopdar malam itu kurang menggali aspirasi pengguna, maka saya mengusulkan beberapa hal:
  • Sistem pamor dikembangkan jadi dua point: karena kredibilitas (identitas yg jelas, meski memakai kloningan yg penting penulisnya diketahui moderator) dan karena kontribusi penulisan. Sehingga pamor nggak cepat turun padahal naiknya susah.
  • Biar penulisnya nggak itu-itu aja (yg bisa dikira orang jangan2 cuma pengurus pake identitas kloningan biar banyak) sebaiknya ada reward, biarpun cuma kaus atau mug seperti di websitenya SBY. Ada sistem point atau raport deh. Apalagi katanya ada rencana "Politikana Award" segala.
  • Pasca Pilpres usai, di sudut kanan atas sebaiknya diisi tulisan Editor/Moderator. Di media massa biasa disebut Editorial atau Tajuk Rencana yang diupdate tiap hari. Kalau mau ada acara macam kopdar juga bisa disosialisasikan di sini.
  • Ada dua sistem identitas kepenulisan, yg menggunakan nama asli/identitas jelas dan kloningan. Dari cara sahut-menyahut saat berkomentar, tampaknya sejumlah pemilik identitas kloningan saling mengenal di dunia nyata. Ini agak tidak fair bagi pengguna awam macam saya. Dulu saya pernah menulis soal ini dan "digebuki" ramai-ramai. Tentu saja, saya maklum ada cukup banyak soal sensitif yang ditulis sehingga riskan bila penulisnya memakai nama asli. Tapi jangan lantas memaki2 pemakai nama asli yg dianggap "jualan" atau malah "fasis" segala.
  • Dengan di-ban-nya Dhanis, berarti akhirnya Moderator memakai juga kewenangannya. Maka, alangkah lebih baik kendali ini terus digunakan agar Politikana tidak jadi forum caci-maki, tapi benar-benar sebagai sarana belajar berdemokrasi dengan adu-pendapat. Minimal, ada rambu-rambu yang disepakati bersama.
  • Soal Penulis Tamu bisa dipilih figur publik mana pun asal kompeten dalam menulis soal politik. Dian Sastro, Rieke Diah Pitaloka atau Nurul Arifin sekali pun oke saja. Atau mau pelawak Qomar sekalian, yang diam2 juga anggota DPR? Mungkin juga bisa seleb-birokrat macam Dede Yusuf?
  • Moderator yg menulis di luar editorial/tajuk rencana sebaiknya memakai nama asli. Dengan demikian kredibilitasnya makin oke seperti milis sebelah yg entah kenapa tampaknya tidak begitu disukai di sini...
Ayo, silahkan dibantai...

[Tulisan ini diposting di Politikana, 15 Juli 2009]

Selasa, 14 Juli 2009

Saya Kok Jadi Bingung...

Pasca Pilpres, JK digoyang dari kursi Ketua Umum Partai Golkar. Kalau manuvernya 3A sih saya tidak heran, tapi yang saya heran adalah adanya plot untuk mendudukkan JK sebagai Ketua Dewan Penasehat sementara Surya Paloh jadi Ketua Umum. Padahal, sekarang JK adalah Ketua Umum dan Surya Paloh Ketua Dewan Penasehat. Ini kok malah tukeran kursi thok sih?
Demikian pula pasca Boediono dipilih SBY sebagai Wapres, ada wacana Sri Mulyani yang Menteri Keuangan akan dijadikan Gubernur Bank Indonesia. Memangnya, itu bukannya demosi? Walau sama-sama pejabat tinggi negara setingkat menteri, tapi bukankah Menkeu sebenarnya lebih punya kewenangan luas dibanding Gubernur BI? Di foto yang saya muat saja terlihat kalau gesture Boediono itu 'bawahannya' Sri Mulyani.
Apakah memang mau ikut-ikutan jejak Nurmachmudi Ismail, yang 'turun pangkat' dari Menteri Kehutanan jadi Walikota Depok? Saya kok jadi bingung...

[Tulisan ini diposting di Politikana, 14 Juli 2009]

Selasa, 07 Juli 2009

Biar Cicak Tetap Disadap

Tulisan headline Politikana hari ini tentang sadap-menyadap, membuat saya teringat pada kejadian yang masih saya alami hingga kini. Kalau Komjen (Pol.) Susno Duadji merasa disadap KPK, saya bingung disadap oleh siapa dan untuk keperluan apa. Saya mungkin ke-ge-er-an saja, namun ada beberapa ciri yang saya alami saat menelepon terindikasi adanya penyadapan. Kata sumber saya yang mengerti soal telekomunikasi dan sumber lain yang mengerti soal kemiliteran, memang mungkin hubungan telepon saya disadap. Ini ciri-cirinya:
  • Ada suara berdengung panjang, suara lawan bicara seperti berada di lorong yang bergema.
  • Bila saya menelepon ke nomor-nomor tertentu akan putus setiap beberapa menit, padahal tidak sedang di luar kota.
  • Delay penyampaian SMS, bahkan cukup banyak SMS tak sampai. Kedua soal ini bisa dikilahkan karena buruknya layanan operator.
  • Sulit sekali menelepon ke nomor-nomor tertentu. Bahkan saat si empunya nomor ada di samping saya secara fisik sehingga bisa dilihat handphonenya baik-baik saja (on, sinyal penuh, dan tidak dipakai).
  • Ada suara aneh semacam "cklik" atau "nut" sesaat sebelum nada sambung (atau NSP) berbunyi.
  • Sering ada suara lain semacam induksi ala PSTN saat menelepon dari HP ke sesama nomor HP. Pertanyaannya, apakah induksi bisa terjadi pada telepon seluler yang nirkabel?
  • Yang paling aneh, saat saya menelepon dengan memencet angka satu per satu (bukan dial dari phone book memory) kepada nomor tertentu, malah sambung ke nomor yang lain. Saya memencet nomor Indosat, nyambungnya ke Telkom. Jauh banget.
Dugaan saya, awal saya merasa disadap bisa jadi karena sekitar tiga bulan lalu saya mengirim sms kepada salah satu pemegang saham di perusahaan saya. Begini bunyi sms-nya: "DNS mau resign, harap temui CIA segera." DNS maupun CIA adalah inisial teman-teman kami, seperti lazim digunakan juga singkatan nama 3 huruf di banyak perusahaan. Bisa jadi mereka mengira CIA itu Central Intelligence Agency? Ah, semoga saja saya yang cicak ini tidak ketularan paranoid...

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 7 Juli 2009]

Jumat, 03 Juli 2009

Ulasan Debat Capres 2 Juli 2009

Debat Calon Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden 2009 ini akhirnya sampai di putaran terakhir. RCTI sebagai tuan rumah Debat Capres menggunakan haknya sebagai pemilik lisensi "Indonesian Idol" dengan memakai tagline dari acara populer tersebut. Debat Capres disebut sebagai "Debat Capres Final" dan moderator menggunakan kalimat "Indonesia Bertanya" saat mengajukan pertanyaan kepada kontestan. Bukan kebetulan pula Balai Sarbini yang dipilih menjadi tempat penyelenggaran debat kali ini juga tempat yang memang biasa digunakan untuk acara "Indonesian Idol".

Panggung ditata mewah, dengan balutan permainan lampu yang tidak ada di debat capres sebelumnya. Pokoknya, sepintas kita bakal merasa berada di arena konser. Apalagi, para jagoan Indonesian Idol baik dewasa maupun cilik ditampilkan untuk menghibur sebelum dan sesudah acara. Lengkap sudah bungkus entertainment dalam Debat Capres kali ini. Bedanya, polling SMS yang biasanya tayang secara real-time diminta dihapus oleh KPU.

Acara dibuka oleh moderator Prof.Dr. Pratikno yang sehari-hari menjabat Dekan Fisipol UGM dengan gaya santai. Meski begitu, tak urung ia sempat pula terpeleset dalam beberapa kalimat awalnya. Harus diakui, acara besar yang konon disaksikan 80 juta penonton ini memang bisa membuat grogi siapa pun yang harus tampil di panggung. Pratikno lantas mempersilahkan satu per satu capres menyampaikan visi-misinya.

Begitu menyampaikan visi-misi, saat dua capres lain masih ‘belum panas', JK sudah ‘on'. Ia langsung mengkritik SBY soal iklan Pilpres satu putaran. JK berkata lantang sambil melihat ke arah SBY, "Maaf ini Pak SBY, iklan Bapak agar pilpres satu putaran karena berbiaya 4 triliun, itu artinya memandang demokrasi dengan uang. Demokrasi itu berdasarkan program, kekokohan, bukan kemenangan. Sejak 2008, saya sudah bilang saat KPU mengajukan anggaran, 45 trilyun terlalu mahal. Kita hanya setujui 25 trilyun. Jadi kalau menghemat 4 trilyun untuk satu putaran tidak berguna. Pada 2014, bisa saja nanti ada iklan "Lanjutkan terus, tanpa Pilpres demi menghemat 25 trilyun." Mendengar kritikan JK saat seharusnya baru menyampaikan visi-misi ini, SBY tampak kaget dan pias. Ia hanya tersenyum kecut. Kontan penonton tertawa dan memberikan applaus untuk tendangan bebas JK ini. Karena riuhnya sambutan, bahkan waktu untuk JK memaparkan visi-misi masih tersisa 1 menit 54 detik.

Begitu masuk ke sesi pertanyaan, barulah tema Debat Capres 3 yaitu "NKRI, Demokrasi dan Otonomi Daerah" mulai mewarnai. Megawati diberi kesempatan menjawab pertama kali sesuai nomor urut pasangan yang diperolehnya. Selain tiga kali salah ucap (lihat posting saya sebelumnya di sini), Mega juga tiga kali tercatat kelebihan batas waktu saat menjawab pertanyaan. Meski sudah diingatkan moderator, Mega nekat meneruskan statementnya sehingga mengundang tawa hadirin. Pertama kali Mega melanggar saat menanggapi argumen SBY & JK soal otonomi daerah. Kemudian juga saat menjawab soal perlu tidaknya lembaga khusus untuk mengawasi pembangunan di daerah. Dan pelanggaran waktu ketiga dilakukannya saat mendebat soal penjagaan perbatasan dan pulau terluar di Indonesia. Secara umum, Mega tampil tegang dan seperti biasa menjawab pertanyaan dengan berputar. Karena di Debat Capres sebelumnya beberapa kali selorohnya menghabiskan waktu, kali ini Mega hampir tidak berseloroh. Kecuali saat menyatakan setuju dengan JK soal otonomi daerah.

SBY tampil prima semalam. Hal ini tampak dari sudah terlatihnya ia menepati batas waktu. SBY adalah satu-satunya kandidat presiden yang tidak pernah melewati tenggat waktu yang diberikan moderator. Karena itu, untuk pertanyaan soal Pilkada, ia sempat protes saat diberitahu waktunya hanya 1,5 menit. "Lho, bukannya 2 menit? Saya tadi diberitahu waktunya 2 menit...," setelah moderator menegaskan waktu hanya 1,5 menit, SBY menjawab, " But it's ok", dan melanjutkan jawabannya. Kesalahan SBY hanya saat menjawab kritikan JK tentang iklan Pilpres satu putaran. Intinya, SBY menyatakan "Iklan bukan dari saya. Tadi Pak JK mengatakan agar hemat biaya, tapi uang tidak masalah, agak membingungkan saya. Yang penting kan ada transparansi."

Jawaban ini kemudian ‘dilalap' JK dalam kesempatan menjawab berikut. JK menanyakan, "Jadi iklan itu bukan iklan dari Bapak?" SBY menjawab dengan anggukan kepala. JK lantas menimpali, "Kalau begitu bukan pekerjaan Bapak,berarti kalau begitu saya bisa iklan satu putaran yg bisa juga saya atau Bu Mega." Lontaran JK ini disambut hadirin dengan tertawa, Mega pun tertawa, hanya SBY yang tampak masam dan memandang tajam ke arah tim suksesnya seakan siap memarahi. JK juga sempat menyatakan "kalau begitu iklan itu illegal", dan SBY tidak menjawab namun tampak mengangguk. Walau begitu, secara umum SBY tetap tampil bagus. Ia paling menguasai data, bicara dengan runut dan tepat saat menjawab. Sehingga, meski sempat disentil JK beberapa kali, tampaknya kali ini SBY tidak terlalu goyah seperti debat putaran sebelumnya.

Agak berbeda dengan JK yang tampaknya agak kelelahan, sentilan tajam JK seperti anak panah yang dilontarkan dari balik tembok benteng saja. JK tampil tidak begitu atraktif seperti sebelumnya. Sasaran serangannya tetap SBY, tanpa mencoba membuka front dengan Mega. Beberapa kali pula JK melebihi batas waktu, meski ia berhenti begitu moderator menyetop. Dan jawabannya pun agak kurang sistematis. Misalnya dalam soal Timor-Timur, JK menyatakan lepasnya Timtim karena diadakannya referendum itu salah. Tapi ia tidak mendalaminya dan malah beralih ke soal Sipadan-Ligitan yang dikatakannya lepas karena kita kurang data. Toh ia mengajukan solusi yaitu pemberian sertifikasi dan tanda-tanda bagi pulau-pulau kita dan memperkuat TNI AL. JK juga sempat menyinggung isu rasialisme yang dilontarkan kubu SBY beberapa waktu sebelumnya. Yang pasti, gaya JK yang santai dan kerap melontarkan kritik tajam sambil bergurau membuat suasana debat menjadi segar.

Di akhir debat, JK membuat closing statement yang amat kuat. The real closing statement yang dilontarkan moderator justru setelah meminta capres memberikan closing statement. Saat diminta menyatakan, apa yang akan dilakukan apabila kalah dalam Pilpres nanti, JK menjawab "Yang terbaik yang akan menang. Saya akan menghormati yg terbaik, termasuk bila yang terbaik itu saya." Pada akhirnya, siapa capres-cawapres yang benar-benar dianggap terbaik oleh rakyat akan ditentukan pada 8 Juli 2009 mendatang.

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 3 Juli 2009

Kamis, 02 Juli 2009

Mega Salah Omong Lagi

Baru saja dalam Debat Capres III, saat menanggapi soal KB dalam penerapan OTDA Megawati menyatakan:
"KB itu bukan untuk menyetop ibu-ibu -maaf ini- berproduksi."
Well, mungkin maksudnya "bereproduksi"?

Juga saat diminta tanggapan soal lepasnya wilayah kita termasuk Sipadan-Ligitan ke Malaysia, Megawati berkata:
"Kalau dengan Malaysia itu bukannya kita harus bersahabat, tapi tampaknya kedaulatan kita tidak dianggap."
Jadi, memang sebaiknya Malaysia secara hubungan bilateral antar-negara tidak perlu dijadikan sahabat saja?

Plus dalam closing statement atau pernyataan penutup, Mega menggunakan kata "kalian" yang berkonotasi merendahkan:
"Saya ingin mengatakan kepada kalian semua..... Hal-hal seperti itulah yang akan saya persembahkan kepada kalian."

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 2 Juli 2009]

Minggu, 28 Juni 2009

Orang Malaysia Memang Tricky!

Dibajaknya lagu Afghan menyusul upaya pencaplokan batik dan keris sebagai warisan budaya yang diakui milik mereka, sebenarnya cuma bagian dari sifat "tricky" bangsa itu. Sifat dan kebiasaan ini justru sudah umum di dunia bisnis.

Saya baru saja mendapatkan cerita dari rekan saya yang bekerja di sebuah perusahaan yang mengekspor produknya ke negeri jalang itu. (pelesetan dari jiran, he!). Di Indonesia, perusahan tempat teman saya bekerja itu termasuk top. Tapi, saat hendak memasarkan produknya di Malaysia, hingga saat ini belum mendapatkan partner bisnis yang tidak "tricky".

Bagaimana "tricky"nya? Mereka menolak produk yang dibuat di Indonesia langsung dipasarkan di sana. Sebagai gantinya, mereka mengharuskan label "made in Indonesia" diganti "made in Malaysia", tentunya ini berkonsekuensi perusahaannya pun harus punya "payung" di sana. Mereka menolak ada tulisan Indonesia di label kemasan.

Sudah begitu, begitu setelah produk dipasarkan pun, mereka juga "tricky" dalam menjatuhkan harga. Produk serupa atau malah persis sama (bajakan) bisa tiba-tiba muncul di pasar gelap (black market). Produk Indonesia yang sudah diganti labelnya tadi akan membanjiri kembali pasar Indonesia lewat jalur tidak resmi. Strategi itu akan menjatuhkan harga produk di kedua negara. Apalagi, kesannya produk itu adalah "made in Malaysia" sehingga malah produk asli kita jadi kelihatan meniru.

What a tricky people they are! Dasar Malaysial!

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 28 Juni 2009]

Jumat, 26 Juni 2009

Ulasan Debat Capres 25 Juni 2009

Mungkin banyak yang akan menulis soal ini, karena debat tadi malam memang menarik. Berbagai ulasan bernada positif langsung muncul di berbagai situs berita online. Intinya, debat tadi malam dinilai lebih seru karena para capres mulai saling sindir satu sama lain. Saya hanya menuliskan apa yang saya amati, sangat subyektif dan bisa saja ada yang lolos dari pengamatan. Silahkan saja Anda menulis ulasan lain agar makin berwarna.

Mengusung tema “Mengentaskan Kemiskinan dan Pengangguran”, Debat Capres II semalam diselenggarakan di studio Metro TV. Bertindak sebagai moderator adalah Aviliani, M.Si. yang secara mengejutkan justru tampil lebih bagus daripada Anies Baswedan, Ph.D. dan Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku pemandu Debat Capres I dan Debat Cawapres I. Aviliani mampu membuat suasana lebih nyaman sehingga capres tampak menjadi lebih leluasa berekspresi.

Kredit tersendiri patut diberikan kepada Jusuf Kalla. Seperti biasa dialah yang paling mampu melontarkan guyonan segar. Tadi malam, secara mengejutkan JK sempat meninggalkan podium, berjalan-jalan keliling panggung dan mendekati moderator saat menjawab pertanyaan. JK juga sempat menyindir SBY soal iklannya yang mengambil jingle Indomie. “Saya minta maaf ini Pak Bambang dengan jingle Bapak, Indomie itu,” JK menyindir. “Lebih banyak makan Indomie itu nanti impor gandum kita banyak,” sentilnya yang langsung disambut gelak tawa penonton di studio. JK menyatakan itu untuk menjawab pertanyaan soal kebijakan Bulog dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan. Selain itu, JK juga sempat ‘menggoda’ Megawati saat mantan atasannya di Kabinet Gotong Royong itu menyatakan, “Pak Jusuf bisa begitu karena ikut kerja sama saya.” JK menimpali dengan menyatakan, “Terima kasih Ibu. Tapi kerja saya bagus, kan Bu?” Pertanyaan itu tidak didengar Mega sehingga JK mengulangnya. Yang mengejutkan, Mega menjawab, “Ya nggaklah”.

Megawati, sebaliknya, menjatuhkan diri sendiri dengan pernyataan tadi. Selain tampak tidak mampu dan tidak mau menghargai orang lain -apalagi acara itu disiarkan langsung secara nasional- juga memperlihatkan sifat aslinya yang sinis saat bicara. Kalimat “ikut kerja sama saya” jelas menyamakan seorang menteri -JK di Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati menjabat sebagai Menko Kesra- laiknya pembantu rumah tangga saja. Walau begitu, secara umum Megawati juga tampil lebih baik daripada Debat Capres sebelumnya. Ia mampu mencerna pertanyaan dan cukup trampil mengolah kata. Kelemahan utamanya adalah ia kerap masih berputar saat menjawab sehingga sering kehabisan waktu. Antara lain saat ia dan JK saling meledek seperti disebutkan tadi, tanggapan Mega jadi tidak selesai di pertanyaan tersebut, yang membahas UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sementara SBY juga tampil jauh lebih baik. Dalam pernyataan penutupnya (closing statement), SBY sempat menyatakan, “SBY juga bisa cepat” yang dikatakannya sambil melirik JK. Saat beberapa kali adu sindir dengan JK, SBY juga tidak lama ‘mutung’nya. Untuk soal Indomie, SBY bahkan membalas dengan menyatakan, “Mungkin yang dimakan Pak JK adalah mie instan 100 persen gandum. Yang saya makan sudah ada campurannya, terigu, singkong, kurang gandumnya. Dan saya bisa tumbuh dengan baik.” Hadirin terkejut karena saat itu moderator sudah beralih ke pertanyaan lain, yaitu soal cara mengatasi kemiskinan dalam kaitannya dengan peningkatan taraf hidup perempuan. Namun toh balasan SBY itu  tetap disambut tawa hadirin. SBY sendiri sempat tertawa cukup lepas saat JK dan Mega saling ledek seperti diceritakan di awal tadi. Pernyataan-pernyataan SBY pun bernas dan tajam, sesekali menggunakan gaya pointers. Ini mengingatkan gaya cawapres dari kubu JK, yaitu Wiranto. Tak heran karena keduanya memang sama-sama mantan militer.

Secara keseluruhan, nuansa debat tadi malam memang lebih menggairahkan. Saling sindir dan ledek membuat suasana cair. Tidak ada kritikan tajam yang membuat marah kandidat seperti saat Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea pada Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati menggebrak meja dan meninggalkan studio Metro TV saat sedang talkshow di tahun 2003 dulu. Kandidat juga tidak selalu setuju satu sama lain, malah tampaknya berusaha tampil beda dengan menyatakan ketidaksetujuan atau sekedar menambahkan dari keterangan yang lain.

Jika harus saya berikan nilai dari penampilan ketiganya semalam, maka JK adalah pemenangnya dengan nilai 80, SBY di urutan kedua dengan 75, sementara Megawati di urutan terbawah dengan nilai 60 saja. Hanya saja, itu adalah penilaian subyektif saya. Anda tentu bisa berbeda, asal jangan fanatik buta saja. Bukankah sebaiknya semua capres adalah yang “pro rakyat” guna me”lanjutkan” kemajuan Indonesia dengan “lebih cepat lebih baik”?

[Tulisan ini juga diposting di Politikana, 26 Juni 2009]

Selasa, 23 Juni 2009

Dicari: Pemimpin Yang Memiliki Hati

Saya tidak sedang kampanye, karena itu tidak saya tambahi “Nurani” di belakangnya. Karena kata itu ditambah kata terakhir dari judul sekarang sudah jadi nama partai politik (parpol). Juga tidak sedang melantunkan lagu lawas dari Aa’ Gym, “Jagalah Hati”. Tapi di sini benar-benar hati yang kita kenal sebagai tempatnya “budi” yang bukan Budiono apalagi Budi Anduk. :)

Penyucian hati menjadi sarana bagi para pemeluk teguh (true believer) hampir semua agama. Cara ritualnya saja yang berbeda-beda. Yang saya herankan, kenapa semua pemimpin kita mengesankan begitu patuh pada agama di hadapan publik. Apakah pencitraan sebagai “orang saleh” merupakan sebuah keharusan?

Pertanyaan itu rupanya akan mendapat jawaban ya, meski untuk pastinya perlu survei. (Mungkin LSI berminat?) Namun singkatnya, jawabannya ya karena negara kita adalah negara yang “Berketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila ingin mendapat suara terbanyak dari pemilih yang mengaku beragama, maka kesalehan menjadi sebuah standar baku.

Meski kalau mengingat tulisan “mbah” Clifford Geertz, masyarakat Jawa (karena subyek penelitannya memang orang Jawa, tapi kita juga bisa menjustifikasi karena penduduk Jawa adalah mayoritas) sebagian besar adalah abangan dan bukan santri, namun ternyata para abangan ini tetap merasa dirinya beragama. Tidak ada orang suku tertentu yang pulaunya baru saja dibangunkan jembatan itu yang mau disebut bukan Islam misalnya, padahal ada saja yang gemar minum tuak dan main perempuan sejak zaman Sakerah.

Bisa jadi, karena keengganan disebut “tidak beragama” itulah, kemudian faktor kesalehan formal dipandang masih sangat berperan. Karena itu, kemudian isyu agama dari istri calon pemimpin bangsa diperbincangkan. Juga atribut formal yang menunjukkan kesalehan seolah menjadi nilai tambah. Pemilih diharapkan terpukau oleh penampilan kesalehan para calon pemimpinnya.

Padahal, pemimpin yang “memiliki hati” tidak cukup yang memamerkan kesalehan formal saja. Tidak cukup yang menangis dan menyebut dirinya “Cut Nyak” di hadapan orang Aceh, tidak cukup yang meninjau gempa sambil main gitar, melainkan mereka yang benar-benar “hatinya untuk rakyat”. Barangkali, secara sinergis kita dapat mengambil pedoman “Tahta Untuk Rakyat”-nya Sri Sultan Hamengkubowono IX. Artinya, di dalam hatinya, ia selalu berpikir tentang rakyat. Pikiran, dalam pandangan filsafat dan agama, sebenarnya adalah hasil karya otak dan hati. Hasil karya otak bernama rasio, hasil karya hati adalah intuisi. Keduanya selaiknya dipadukan agar menghasilkan tindakan cemerlang.

Saya lantas mengambil satu buku di rak berjudul Soul Inc.: The Art of Managing From Within karya Moid Siddiqui. Dalam buku itu, penulisnya membicarakan bagaimana membangun suatu perusahaan sebagai sebuah organisasi dengan hati. Negara, pada dasarnya juga sebuah organisasi. Hanya saja, berbeda dengan perusahaan, tujuan negara adalah menyejahterakan rakyatnya. Meski mengharapkan surplus perdagangan misalnya, namun perdagangan antar negera tidak melulu menempatkan profit sebagai hal teratas.

Ada satu kutipan yang bagi saya menarik:
“Values, virtue and wisdom dwell in our heart. Intellectual impulses are the product of the mind. Only when the heart joins the mind, can one understand the new paradigm and which I call ‘authentic performance’ through heartware.”

Anda pasti tahu artinya, jadi saya tak merasa perlu menerjemahkannya. Intinya, kalau pemimpin punya hati, dia pasti akan bisa merasa. Merasakan penderitaan dan perjuangan hidup rakyatnya. Itu bukan berarti dia harus sama miskinnya dengan rakyat, tapi salah satu tindakannya adalah dia harus tidak memamerkan kemewahan di saat rakyat sedang menderita. Pemimpin dengan hati adalah pemimpin yang peka pada kebutuhan rakyat dan kepentingan negara. Pendek kata, ia adalah pemimpin yang memiliki hati yang menelurkan budi yang tinggi (saya sengaja tidak menggunakan kata “berbudi” biar tidak dikira memihak salah satu pasangan capres).

Ia tidak hanya mampu mengatur masalah-masalah makro atau strategis, namun juga memahami apa saja yang sebenarnya menjadi jeritan rakyat. Ada banyak contoh dari para pemimpin besar soal ini. Misalnya khazanah Islam ada Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang senang keluar malam dengan menyamar untuk mengetahui kebutuhan rakyat. Tentu saja, mengatur Indonesia dengan sekitar 220 juta penduduk ini beda dengan mengatur polis ala Romawi. Namun, seyogyanya pemimpin negara kita harus mampu membuat suatu sistem intelijen yang tidak cuma mencari musuh di kalangan rakyat, tapi juga digunakan untuk mengetahui apa sebenarnya kehendak rakyat.

Intinya, pemimpin dengan hati akan mampu menangkap jeritan rakyat, tidak cuma percaya laporan pejabat. Pemimpin dengan hati tidak akan tega membiarkan rakyatnya kelaparan sementara ia sendiri hidup bermewah-mewah. Pemimpin dengan hati tidak akan mau memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri sendiri atau teman-kerabatnya. Memang, tidak akan seideal konsep “Filsuf Raja” ala Plato atau “Pandita Ratu” yang konon dicetuskan oleh Prabu Jayabaya. Akan tetapi, minimal hati itu akan membentengi sang pemimpin dari kecenderungan memuja diri sendiri, berpuas diri, senang menjatuhkan lawan dan tidak senang diberi masukan, serta dari tindakan yang merugikan orang banyak dan negara. Adakah pemimpin macam itu?

[Tulisan ini juga diposting di Politikana dan Kompasiana, 23 Juni 2009, dengan versi Kompasiana sedikit mengalami penghalusan bahasa]

Kamis, 18 Juni 2009

Isyu Utama dalam PEMILU

Dari hasil googling, saya menemukan riset yang pernah dilakukan oleh CSIS tahun 2008 lalu. Dalam riset terhadap 3.000 orang responden tersebut dicoba untuk meraba bagaimana pemilih akan menggunakan haknya dalam Pemilu 2009 (saat itu jelas belum Pemilu). Hasil survei tersebut menghasilkan tiga bagian besar: dukungan terhadap partai politik di berbagai kelompok masyarakat, peluang para tokoh nasional untuk memenangkan pilpres 2009, dan isyu-isyu utama bagi pemilih saat ini. Saya tidak mengutip semuanya, hanya menggunakan bagian ketiga dari penelitian tersebut. (untuk melihat hasil lengkapnya, klik di sini).

Menurut survei tersebut, isyu-isyu yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat seperti kemiskinan dan harga kebutuhan pokok akan menjadi perhatian utama masyarakat. Lebih dari 70% pemilih mengatakan isu utama buat mereka adalah harga kebutuhan pokok dan kemiskinan. Namun, isyu saja tidak cukup karena penilaian atau perasaan masyarakat terhadap keadaan ekonomi itu juga akan mempengaruhi pilihan politik seseorang. Mereka yang beranggapan kondisi perekonomian sudah membaik, akan cenderung memilih incumbent. Sementara yang tidak tentu sebaliknya.

Ternyata, dalam Pemilu legislatif lalu, perang isyu tidak begitu nampak. Mungkin karena begitu banyaknya parpol yang ikut. Atau, parpol dan para calegnya sibuk mengantisipasi peraturan KPU yang berubah-ubah. Misalnya soal sistem keterpilihan dari nomor urut caleg dalam DPT yang kemudian diubah ke sistem suara terbanyak. Sementara, dalam Pilpres kali ini, tampak sekali adanya perang isyu yang silih berganti. Meski proses kampanye masih berlangsung, saya coba mendaftar isyu utama apa saja yang jadi ‘dagangan’ para calon presiden dan wakil presiden.
  1. Ekonomi: Ekonomi Kerakyatan vs Neo-Liberalisme, Efektivitas Pemerintah dalam Menangani Kasus Perekenomian (soal hutang luar negeri misalnya).
  2. Kemanusiaan: pembelaan untuk Manohara dan Prita, korban lumpur Lapindo.
  3. Agama: Ketaatan beragama para calon, agama istri calon (terutama Budiono), isyu jilbab.
  4. Internasional/Bilateral: Hubungan dengan Malaysia dalam persoalan Ambalat, Manohara dan TKI.
  5. Tenaga Kerja/Perburuhan: Wacana Penghapusan Outsourcing, Perlindungan TKI di luar negeri. (kasus penganiayaan TKI di Malaysia).
  6. Pertahanan/Keamanan: Peran dalam perdamaian di wilayah konflik (Aceh, Ambon, Poso), modernisasi alutsista TNI, peranan industri senjata dalam negeri, kesejahteraan prajurit, menghadapi potensi konflik dengan Malaysia.
  7. HAM: Keterlibatan para calon dalam masalah HAM dalam negeri yang mencuat ke dunia internasional (Prabowo dan Wiranto untuk kasus 1997-1997, SBY untuk Kudatuli 1996).
  8. Kekayaan Calon (Prabowo yang kaya raya, SBY yang sederhana J).
  9. Pendidikan (anggaran pendidikan, nasib guru honorer).
  10. Kesehatan (akses kesehatan yang adil terutama dipicu kasus Prita vs RS Omni International Tangerang).
  11. Seni dan Budaya: perhatian para calon terhadap dunia seni-budaya dan kesejahteraan pekerjanya.
  12. Klaim keberhasilan program pemerintah: BLT, perdamaian di wilayah konflik, BBM, rasio hutang yang turun, stabilitas harga, Suramadu.
  13. Tata Cara Kampanye: pembubaran kampanye oleh Panwaslu terhadap kampanya sahabatmuda pro JK-Wiranto di Semarang, pengusiran Panswaslu oleh Hayono Isman jurkam SBY di Semarang, perusakan atribut kampanye (baliho dan spanduk) JK-Wiranto dan Mega Prabowo di Bekasi, penolakan iklan Mega-Prabowo oleh 9 stasiun TV, penertiban atribut kampanye di tempat terlarang, penggunaan fasilitas negara oleh calon.
  14. Kesejahteraan rakyat: harga naik, barang susah, rakyat miskin, pekerjaan sulit.
  15. Isyu lain: Seperti  peran parpol (terutama dalam pemilihan Calon Wakil Presiden Budiono pilihan SBY), dana kampanye dan keterlibatan konsultan, kesalahan ucap pendukung calon (kasus Ruhut dan Mubarok).
  16. Mungkin masih ada yang lain, tapi terlewat atau terlupakan oleh saya. Yah, namanya juga manusia.
Dari banyaknya isyu yang direspon para calon, tampaknya malah kesejahteraan rakyat walau pasti jadi dagangan utama malah jadi jarang dibicarakan. Tenggelam dalam tiga isyu besar:
  1. Kontroversi pemilihan Budiono dan latar belakangnya.
  2. Ekonomi Kerakyatan versus Neo-Liberal (Neolib).
  3. Pro-kontra klaim keberhasilan program pemerintah.
Kalau mau disimpulkan, tampaknya isyu kampanye yang digulirkan tidak terencana dan hanya reaktif belaka. Bagi saya pribadi, juga belum menyentuh persoalan dasar rakyat, yaitu bagaimana mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Artinya, sebagian besar masih sebatas retorika konsep abstrak dan belum tampak program nyatanya. Mustinya, tim sukseslah yang bertugas mengimplementasikannya, agar para calon yang sudah padat jadwalnya tidak kerepotan. Tapi nyatanya, tim sukses tampaknya juga jalan sendiri-sendiri. Jadi, bagaimana nasib bangsa ini ke depan?

[Tulisan ini juga diposting di Politikana, 18 Juni 2009]

Rabu, 17 Juni 2009

Faktor Keturunan & Spiritual Capres: Penting Nggak Sih?

Terus menerus membaca media nasional terbitan Jakarta terkadang membuat informasi terasa senada. Kebetulan kantor saya tiap pekan selalu dikirimi mingguan Minggu Pagi yang terbit di Yogyakarta, sebagai salah satu media dalam jaringan Kedaulatan Rakyat.  Artikelnya memberi warna berbeda bagi saya. Misalnya dalam edisi pekan ini saya membaca dua artikel menarik terkait capres. Satu artikel berjudul:  "GBPH Prabukusumo: SBY Keturunan Sri Sultan HB III" di halaman 2, satu lagi artikel berjudul "Suksesi Wahyu Keprabon ke Istana" yang merupakan resensi buku Belajar Spiritual Bersama The Thinking General di halaman 10. Secara ringkas, artikel pertama menyatakan SBY merupakan keturunan kraton sehingga layak jadi panutan. Sementara artikel kedua menyebutkan "kesenangan memburu wahyu (sesuai pemahaman budaya Jawa) juga dilakukan oleh SBY yang berorientasi kepada hidup arif bijaksana, selaras dengan kata Jawa yakni: berbakti dan manembah (menyembah) kepada Sang Pencipta Kehidupan."

Mengingat Minggu Pagi terbit di DIY dan Jawa Tengah, maka saya asumsikan pembacanya kebanyakan orang Jawa. Sehingga, saya lantas jadi bertanya-tanya, memangnya seberapa penting faktor keturunan dan spiritual bagi capres, terutama bagi orang Jawa? Bukan hendak sektarian atau rasis, namun harus diakui faktanya orang Jawa dan penduduk pulau Jawa masih mayoritas di Indonesia. Kecuali, nanti kalau ramalan Ronggowarsito benar, maka barulah "wong Jowo kari separo" (orang Jawa tinggal separuh).

Setelah tanya sana-sini dan riset kecil-kecilan -tentu ini bukan survei - setidaknya saya bisa mendapatkan gambaran, bahwa bagi orang Jawa tradisional terutama di kawasan pedesaan, kedua dimensi ini "penting bangeet". Disebabkan dalam filsafat Jawa yang tergolong filsafat timur mengutamakan keharmonisan dengan alam dan unsur-unsurnya, maka dua faktor itu dianggap penting karena secara langsung dianggap berpengaruh terhadap tataran makro kosmos bangsa.

Unsur keturunan ini rupanya memang dianggap penting bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Habibie misalnya, saat menjabat presiden sampai pernah mengaku sebagai keturunan Jawa dari ibunya. Apalagi, ada filosofi bibit, bobot, bebet saat seseorang akan memilih jodohnya. Bibit atau keturunan jelas dipandang penting.  Seorang yang memiliki garis keturunan bangsawan dipandang mewarisi sikap ksatria dan nilai-nilai luhur lainnya.

Demikian pula unsur spiritual pun member arti tak kalah penting. Tentu spiritual beda dengan religius. Yang kedua selalu terkait agama formal, sementara seorang ateis sekali pun tetap bisa berlaku spiritual. Menurut Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, kecerdasan spiritual adalah kemampuan orang untuk memberi makna dalam kehidupan. Dengan demikian, seseorang yang berupaya menaati moral atau etika serta menggunakan hidupnya untuk sesuatu yang bermanfaat bagi manusia lain dan alam bisa disebut spiritual. Apalagi, dalam sistem religi dan filosofi Jawa, Tuhan "Kang Murbeng Dumadi" dianggap tidak mempersoalkan "ritual panembah" yang bagi religi atau agama formal sangat penting.

Implikasi penerapan filosofi Jawa kepada SBY, adalah kemudian muncul pula antithesis terhadap mereka yang dianggap tidak "njawani. Misalnya, luas beredar isyu yang menggambarkan Jusuf Kalla itu ibarat Betara Kala bagi SBY. Karena dengan adanya JK sebagai wapres, bak menciptakan "matahari kembar" atau dualisme kepemimpinan yang tabu bagi kepercayaan Jawa. Dan rupanya bagi orang Jawa tradisional yang tinggal di pedesaan, stigma pencitraan ini akan berpengaruh bagi pola pikir mereka. Apalagi, seingat saya di tahun 2004 SBY dicitrakan sebagai "Ratu Adil" yang ditunggu. Gaya Jusuf Kalla yang ceplas-ceplos dan "slonong boy" juga dianggap "ora ilok" bagi kebanyakan masyarakat Jawa tradisional. Betara Kala, just fyi, adalah simbolisasi kejahatan dalam filosofi Jawa. Sebagai antithesis, pastinya dianggap tidak "njawani". Karena itu, bisa dipastikan mereka akan tetap memilih capres yang dianggap "njawani".

Hal ini diperkuat dengan hasil survei dan riset internal pendukung capres-cawapres bahwa memang masyarakat Jawa tradisional terutama di pedesaan masih belum bergeser dari dukungan kepada SBY. Citra pemimpin yang ditampilkan di iklan televisi sebagai "bapak pengayom keluarga yang taat pada Tuhan" merupakan hasil dari pengejawantahan alam pikiran patronisme patrilineal yang juga dianut masyarakat Jawa tradisional. Maka, meski terkesan irrasional bagi kita yang berpendidikan, melek internet dan tinggal di kota besar, dua hal itu ternyata masih dipandang penting oleh akar rumput. Dan jumlah pemilih akar rumput jelas jauh lebih besar daripada pemilih kelas menengah-atas. Sehingga, sudah selayaknya bila tim sukses kedua pasang capres-cawapres lain membuat pencitraan tandingan terhadap incumbent atas isyu keturunan dan spiritualisme ini. Bisa jadi hal ini luput dari perhatian, padahal dipandang penting oleh rakyat kebanyakan.

[Tulisan ini juga diposting di Politikana, 17 Juni 2009].