Jumat, 29 Oktober 2010

And The Party Must Goes On!

     Kemarin sore, di tengah suasana duka menyelimuti kawasan gunung Merapi, sebuah hajatan besar digelar pemerintah. Tepatnya di Gelora (Gelanggang Olahraga) Manahan, Solo. Kota Solo dengan Yogya sekitar 60 km, dimana Gunung Merapi secara administratif memang masuk wilayah D.I. Yogyakarta, tepatnya kabupaten Sleman. Namun itu jarak antar pusat kota, jarak Solo dengan Gunung Merapi sendiri jelas tak sejauh itu, sekitar 40 km saja atau sekitar 2-3 jam perjalanan lewat darat. 
     Adapun hajatannya adalah Puncak Peringatan Hari Sumpah Pemuda 2010. Acara ini tentu merupakan tanggung jawab Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan Menterinya Dr. Andi Alfian Mallarangeng. Namun, selain Pak Menteri, hadir pula Wakil Presiden Prof. Dr. Boediono dan sejumlah menteri lain. Yang agak mengganggu, Pak Menpora tampak sumringah dalam acara itu, dan tidak terlihat berduka sama sekali. Sementara rona kelelahan tampak jelas di raut wajah Pak Boed. Memang, setelah dari Solo, Pak Boed langsung meninjau kamp pengungsi Merapi. Wong deket jee...
     Malam ini, Global TV menggelar party peringatan Ulang Tahunnya yang ke-8, Sempurna menjadi temanya. Acaranya digelar di JITEC Mangga Dua, Jakarta. Tentu saja acara ini bernuansa dugem yang jelas gemerlap. Lebih gemerlap daripada upacara Sumpah Pemuda.
     Memang, saya mengerti peringatan dan pesta ini sudah direncanakan lama. Dan untuk itu memang sudah keluar biaya yang tak sedikit. Jelas akan sayang kalau dibatalkan begitu saja. Walau begitu, hati saya teriris, haruskah kita tetap berpesta kala saudara-saudara kita antre mie instan di kamp pengungsian?
Tampaknya, karena alasan sudah dianggarkan, pesta tak mungkin dibatalkan. Ini mirip dengan alasan anggota DPR menolak membatalkan studi banding ke luar negeri.
     And... the party must goes on!

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 29 Oktober 2010]

Kamis, 28 Oktober 2010

Bagaimana Media Memberitakan Bencana

     Sore ini, keisengan saya kumat. Melihat ada lima koran yang memang dilanggan menyajikan headline tentang bencana -terutama Merapi- dengan gaya berbeda-beda. Tentu ini bukan analisis media atau media monitoring profesional, apalagi menggunakan media framing analysis. Kalau boleh dibilang, ini cuma sekedar "laporan bacaan" ala tugas anak kuliahan saja.
     Dari segi visualisasi halaman 1, secara subyektif saya suka Seputar Indonesia (Sindo) dan Kompas, dengan foto Sindo lebih bagus komposisinya. Sayang, di halaman 1 Sindo ada iklan Air Asia-CIMB Niaga dengan foto pramugarinya yang cantik, sehingga merusak kesan duka secara keseluruhan.
      Kompas menang di data dan penulisan dari berbagai angle dengan narasumber dan wartawan yang berlimpah, sementara yang menarik dari Indo Pos adalah penyajian kesaksian seorang wartawan Radar Jogja yang masih merupakan bagian dari IndoPos group tentang saat-saat terakhir Mbah Marijan. Republika secara umum biasa saja kualitas pemberitaannya, meski kesaksian Fahmi Akbar Idris -Bendahara PWNU Yogyakarta, yang mengaku bertemu Mbah Marijan 2 jam sebelum beliau meninggal- cukup menarik. Terakhir adalah Rakyat Merdeka yang mungkin paling cocok dengan warga Politikana, karena menyajikan komentar SBY dan Marzuki Alie soal bencana. Enak sekali untuk 'dibantai' di Politikana.
     Untuk televisi, secara umum hanya Metro TV yang setia menayangkan perkembangan mengenai berita bencana. Di peringkat kedua ada TV One yang masih sempat menayangkan siaran langsung Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Gelora Manahan, Solo. Sementara stasiun televisi lainnya menayangkan aneka acara lainnya termasuk acara musik seperti Dahsyat (RCTI) dan Inbox (SCTV). Business as usual saja. Apakah ini memprihatinkan atau malah biasa saja sebenarnya?
     Kebetulan saya juga sempat melihat sepintas tayangan infotainment Insert di TransTV dan Silet di RCTI. Yah, namanya juga infotainment, beritanya terasa dangkal dan dibuat-buat. Apalagi artis yang diwawancara tampaknya tak siap. Di Insert seorang personel group Seventeen malah masih memegang gitar. Seakan mereka sedang nongkrong dan tiba-tiba ditanya soal bencana. Mbok ya gitarnya ditaruh dulu Mas...
     Di Silet, Indra Bekti diwawancara bersama istrinya Aldila Jelita. Meski Indra cukup bagus dan simpatik komentarnya, Aldila tampaknya tak mau kehilangan citranya sehingga 'jaim' dengan terus tersenyum tanpa tampak berduka. Hanya Olga Syahputra yang terlihat tulus saat berkomentar. Dari segi visualisasi, Silet yang banyak meminjam footage dari Seputar Indonesia RCTI tampak unggul.
     Toh walau begitu, secara umum kedua jenis infotainment ini sama saja. Misalnya untuk menggambarkan posisi jenazah Mbah Marijan, tidak ada yang menggunakan kata "shalat". Yang ada malah digunakan kata "berdoa" dan "sembahyang", seakan tidak ikhlas kalau Mbah Marijan itu Islam. Yah... namanya juga infotainment kan?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 28 Oktober 2010

Batalkan Demo Hari Ini!

     Andaikata saya punya jabatan apa gitu... saya akan melakukan "call out" di RRI atau media lain. Mungkin seperti yang dilakukan oleh Hariman Siregar selaku Presiden Dewan Mahasiswa UI sewaktu berusaha mencegah kerusuhan meluas pada 15 Januari 1974. Kita semua tahu ia gagal, sebagiannya karena mahasiswa tidak menyadari menjadi korban dari rivalitas di dalam tubuh militer (Ali Moertopo vs Soemitro). Dan Malari tetap meletus.
     Ini saya lakukan karena hari ini -28 Oktober 2010- rencananya akan ada demonstrasi besar. Mengutip harian Rakyat Merdeka edisi Minggu (24/10), dituliskan besar-besar di headline halaman 1: "Manfaatkan Momentum Sumpah Pemuda: Setelah Aksi 20 Okt' Muncul Aksi 28 Okt'". Ini mungkin karena aksi memperingati setahun pemerintahan SBY dengan KIB jilid 2-nya pada 20 Oktober 2010 kurang bergema. Dalam lanjutan artikel di halaman 9, dituliskan komentar sebagai berikut: "Ketua Umum PB PMII Adien Jauharudin mengatakan, pihaknya tidak peduli aksi in akan digubris SBY atau tidak."
     Saran saya sih, daripada tidak digubris SBY, apakah tidak lebih baik mereka mengalihkan sasaran ke DPR? Terutama sekali kepada seniornya yaitu Nusron Wahid. Mantan Ketua Umum PB PMII periode 2000-2003 ini adalah Ketua Panitia Khusus Otoritas Jasa Keuangan (Pansus OJK) yang melakukan "pelesir dinas" ke empat negara (Korea Selatan,Jepang,Jerman,Inggris). Bahkan, ada yang membawa keluarga segala (Kompas.com). Kalau sama senior sendiri, masa' sih tetap tidak digubris? Yah... minimal diterima dan disuguhi makan-minum lah.... (kalau disuguhi yang lain, amplop misalnya, ya mene ketehe).
     Tapi saran saya tetap: Batalkan Demo Hari Ini!
     Indonesia sedang berduka karena bencana alam Wasior, Mentawai dan Merapi. Jangan dibuat rusuh dengan demonstrasi karena kepentingan politik sementara pihak. Bukankah banyak cara kritis kepada pemerintah -dan mestinya juga DPR- selain demonstrasi? Salah satunya ya dengan menulis di Politikana...

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 28 Oktober 2010]

Rabu, 27 Oktober 2010

Penyebab Bencana adalah Kemaksiatan?

     Menkominfo Tifatul Sembiring selaku khotib shalat Idul Adha 1430 H. di halaman kantor Gubernur Sumatra Barat hari Jum'at (27/11/2009) pernah mengatakan:

"Tayangan-tayangan di televisi yang merusak moral marak di negeri kita, akibatnya bencana datang bertubi-tubi."(kutipan dari sini).

     Dua hari lalu, FPI mengancam akan menutup Dolly dengan dalih serupa. Hari Senin (25/10/2010) lalu, K.H. Dhofir selaku Wakil Ketua FPI Jawa Timur menyatakan:

"Kita bisa melihat, bencana telah terjadi di mana-mana. Itu karena maksiat telah merajalela."(Vivanews).

     Kemarin, setelah Merapi meletus dan terjadi tsunami di Mentawai, bisa jadi akan ada lagi komentar-komentar semacam ini. Saya muslim, tapi saya meragukan pernyataan othak-athik-gathuk macam ini. Apalagi di sini juga ada beberapa warga P yang getol mengkampanyekan filosofi semacam. Pertanyaan saya sederhana, kalau soal maksiat, lebih maksiat mana kita dengan Belanda? Di negeri itu bukan hanya prostitusi dilegalkan, tapi juga perdagangan narkoba pun legal. Tapi negara itu maju pesat, nyaris tak ada bencana. Apa sebabnya? Bukan karena tak ada maksiat, tapi karena memang alamnya tidak dikelilingi "Sabuk Api" seperti negara kita.
     So, please be rational. Kita boleh berdo'a memohon keselamatan pada Tuhan, harus malah. Tapi menghubungkan bencana alam dengan kemaksiatan? Please deh... Mekkah saja pernah banjir, apa kita lantas berani bilang itu kota maksiat?

 [Tulisan ini semula diposting di Politikana, 27 Oktober 2010]

Minggu, 24 Oktober 2010

Membaca Arah Bola Video Papua

     Hari Kamis (21/10) lalu saya dikejutkan dengan message di Facebook dari seorang wartawan senior. Beliau menjawab pertanyaan saya mengapa postingnya di note Facebook tentang transkrip video interogasi dua orang Papua dihapus. Intinya, ia mengatakan kuatir keselamatan jiwanya terancam. Ia juga meminta agar namanya yang saya sebutkan di postingan blog dihapus. Saya heran juga, mengapa wartawan senior seperti dia yang merupakan koresponden berbagai media luar negeri harus merasa kuatir.
     Saya merasa, justru transkrip itu harus disebar-luaskan dengan perspektif berbeda. Seperti saya tulis di pengantar, penyebarluasan video itu justru untuk menjaga nama baik TNI dan negara kita. Maka, pada hari itu juga saya posting transkrip itu di blog.
     Meski begitu, saya sempat kuatir juga. Saya mencoba 'menenangkan diri' dengan mengirim sms kepada 'mentor' saya, seorang mantan pejabat tinggi negara yang kini lebih menyenangi peran sebagai "king maker". Dalam 5 menit, beliau segera membalas yang intinya mengatakan: "everything is ok." Bahasa militernya: "aman terkendali". Legalah saya.
     Makin lega saya ketika hari Jum'at (22/10)-nya ada berita bahwa TNI mengakui kebenaran video Papua (kompas.com). Menurut Menko Polhukam Djoko Suyanto, Presiden SBY juga sudah mengetahui hal itu. Di hari Jum'at itu pula digelar rapat khusus para menteri bidang politik, hukum dan keamanan. (vivanews.com). Pernyataan resmi pemerintah itu membantah 'analisa pakar IT' Roy Suryo yang sebelumnya meragukan isi video itu.
     Akankah para pelaku dalam video itu ditangkap? Bagaimana dengan perbedaan nama korban? Pemerintah -dan Komnas HAM- menyebut warga Papua yang diinterogasi dengan siksaan itu adalah Kindeman Gire. Sementara Aliansi Mahasiswa Papua menyebutkannya sebagai Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire. Apakah kedua nama Gire itu sama?
     Semua itu masih tanda tanya. Mungkin menunggu 'petunjuk' dari Pentagon, atau bagaimana. Yang jelas, Obama tampaknya hampir pasti datang tanggal 7 November 2010 mendatang. Lalu akan ada bantuan militer A.S. untuk kita yang rencananya ditandatangani Obama bulan depan setelah bulan Juli lalu diumumkan Menhan A.S. (U.S. Secretary of Defense) Robert Gates.
     Bagaimana membaca arah bola video Papua? Akankah Papua lepas dari pangkuan bumi Pertiwi? Justru kalau membaca 'sinergi' A.S. dengan pemerintahan SBY, tampaknya malah akan 'aman terkendali'. Tampaknya, setelah euforia kunjungan Obama dan beliau pulang ke negerinya, kasus ini akan terkubur. Sama seperti kasus-kasus lainnya yang masih jadi "dark number".
     Bagaimana menurut Anda?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 24 Oktober 2010]

Kamis, 21 Oktober 2010

Ibas Ganteng...?

     Ada yang baca tulisan kecil 3 kolom di halaman 2 Kompas hari ini? Judulnya "Anggota DPR: Saya Ibas, Bukan Agus Harimurti" yang ditulis oleh J. Osdar.
     Cuma komentar singkat saja, apa ya tujuan Kompas dan wartawannya yang setahu saya cukup senior itu membuat tulisan bernada menjilat Ibas -mungkin juga bapaknya- seperti itu?
     Apa indikasi menjilatnya?

Simak kutipan yang ada di paragraf 3 ini:
"Ibas tampak ganteng kalau dilihat langsung. Lebih ganteng ketimbang di foto."
Any comment, Politikaners?

 [Tulisan ini semula diposting di Politikana, 21 Oktober 2010]