Jumat, 02 April 2010

Lebih Penting Mana: Merasa Benar atau Tanggung Jawab?

     Artikel conscientizacao tentang lapak sebelah di sini, memicu pertanyaan di atas. Apalagi dari comment2 yg ada, saya menangkap ada nuansa kecaman terhadap tindakan admin Kompasiana. Saya sendiri termasuk yg menyemangati Faizal Assegaf, secara memang pernah bertemu langsung beberapa kali.
Dalam artikel saya di Kompasiana (baca di sini), saya sendiri menganggap penyematan titel "guru bangsa" itu sebagai:

agak terlalu menyanjung dan melebih-lebihkan
namun mencoba tetap proporsional mengingat konteks tulisan saya adalah liputan kejadian dari sudut pandang orang biasa atau jurnalisme warga. Kalau kita pernah belajar teori jurnalistik, harus diakui tulisan Faizal yang diduga memicu pem-ban-an ybs (tulisannya yang di Kompasiana sudah dihapus admin, tapi masih ada di sini) murni opini kritis ybs, sayangnya tanpa landasan argumen yg memadai. Tapi saya tetap tidak sependapat bila tulisan itu dianggap "keras" apalagi mengkritik boss Kompas itu. Maka, tak layak bila hanya karena tulisan itu Faizal di-ban. Apalagi cuma karena menolak titel "guru bangsa" sembari menyematkan titel lain yaitu "konglomerat pers".
     Setelah saya amati, tampaknya sudut pandang "Kompasianer" vis a vis secara frontal dengan "Warga P". Di sana, yg namanya "harmoni" lebih dikedepankan. Maka, jangan harap diskusi "die-hard" ala P bisa muncul di sana. Akan tetapi, ada sebuah hal positif pula yg terbangun, yaitu rasa saling menghormati, apalagi dengan cukup seringnya diadakan kopdar. Ini bisa muncul karena ada yg namanya "tanggung jawab", yaitu sebagian besar Kompasianer mencantumkan jati diri aslinya. Sementara di P, justru anonimitas yg dibela habis. Tulisan pertama saya di P misalnya (baca lagi di sini), mendapatkan reaksi penolakan yg luar biasa, apalagi saat itu jadi headline.
     Sementara di P, sebagai media yang mengklaim sebagai "sarana untuk belajar demokrasi", mempertahankan pendapatnya sendiri sebagai benar tampaknya dianggap penting sekali. Sehingga, kerapkali terjadi perdebatan yang "die-hard" tadi. Karena kerasnya argumentasi, bahkan kerap informasinya "off the record" dan "A-1", maka "tanggung jawab" berupa pencantuman identitas asli pun menjadi nomor sejuta alias tidak dianggap penting. Karena ternyata dianggap lebih penting melindungi diri dari "tangan-tangan jahil" yang mungkin tersinggung atas nama hukum kita yang mengakomodir "pencemaran nama baik" dan "tindakan tidak menyenangkan".
     Saya lantas menyadari perbedaan karakter "warga P" dengan "Kompasianer". Maka, sejak itu saya mempelajari jenis tulisan di dua lapak ini. Dan, jadi jarang mem-publish (cross posting) tulisan yang sama di keduanya, kecuali tentu yang saya anggap cocok misalnya seperti tulisan tentang Gus Dur ini.
     Karena itu, saya kembali pada pertanyaan yang menjadi judul:
"Lebih Penting Mana: Merasa Benar atau Tanggung Jawab?"

[Tulisan ini semula di posting di Politikana, 2 April 2010]

Ilustrasi Foto: Dari laman tulisan Faizal Assegaf. 
Sumber Foto: http://visibaru.com/index.php?option=com_content&view=article&id=486:jacob-oetama-bukan-guru-bangsa-06&catid=45:blog-faizal-assegaf&Itemid=83

Lebih Penting Mana: Anti-Kritik atau Anti-Hacker?

     Admin Kompas hari Rabu (31/3) lalu menggunakan hak prerogatifnya terhadap salah satu member Kompasianer. Dia adalah Faizal Assegaf yang terkena ban. Tulisannya di sini pun dihapus, sehingga menyisakan pesan “Error 404 Page Not Found”. Faizal mencoba masuk lagi dengan akun lain, antara lain mengatasnamakan istrinya. Namun juga gagal membuat admin membuka kembali akun miliknya. Kolom komentar di tulisan Faizal melalui akun yang katanya milik temannya pun ditiadakan.
     Sebenarnya, artikel Faizal tersebut (versi lain ada di sini) masih dalam taraf biasa saja. Yang bersangkutan tidak menjelek-jelekkan Pak J.O., namun sekedar menjuluki saja. Bila Omjay dan yang lain menggelari beliau dengan “guru bangsa”, Faizal menyebutnya “konglomerat pers”. Inti artikelnya sih itu saja. Saya pikir, dengan membacanya citra publik yang sudah positif terhadap Pak J.O. tidak akan ternodai setitik pun. Namun, entah ada di tata tertib yang mana, karena itulah Faizal di-ban. Padahal, sebelumnya ia gemar mengkritik banyak orang, termasuk SBY, tapi dibiarkan admin. Ini, saat bos-nya disentil, admin langsung menjewer. Apakah bisa diartikan Pak J.O. lebih tinggi derajatnya dari Presiden Republik Indonesia?
     Tindakan ini memicu perbincangan cukup seru. Bukan hanya di Kompasiana, tapi juga di blog-site portal opini lain, yaitu Politikana. Bahkan, di sana tindakan admin Kompasiana dikecam dan ditertawakan (baca di sini).
     Pada hari yang sama, saya menerima pesan di profil saya yang berisi link. Ternyata, link tersebut merupakan tipuan belaka. Ia adalah mirror yang langsung di-redirect ke laman situs yang sudah dirusak (defacement page website) di sebuah situs gratisan berdomain co.cc. Setiap yang mengklik laman itu akan mendapati browser-nya berlari-lari tak karuan di sepanjang layar. Saat saya mengklik profil yang bersangkutan, ternyata tidak hanya saya korbannya. Saya spontan mengirim e-mail ke admin serta melaporkan user bersangkutan dengan fitur “Laporkan Kompasianer Ini” di profil yang bersangkutan. Saya meminta user bersangkutan di-ban. Tapi apa lacur, saat hari ini saya buka kembali Kompasiana, ternyata ia masih sehat-wal-afiat.
     Ini memicu pertanyaan: “Lebih penting mana, anti kritik atau anti-hacker?” Tindakan admin Kompasiana yang cepat kepada Faizal Assegaf, padahal yang bersangkutan “cuma” mengkritik bisa diberikan apresiasi atas kecepatannya. Sebagai yang punya rumah, tentu admin Kompasiana berhak mengusir tamu yang tidak dikehendakinya. Walau sebenarnya dialog saling menghormati bisa lebih dikedepankan.
     Akan tetapi, bagaimana dengan hacker yang saya laporkan? Bukankah tindakannya lebih berbahaya daripada sekedar mengkritik? Ia membahayakan sistem komputer Kompasianer lain, bahkan bukan tidak mungkin di waktu mendatang juga membahayakan sistem di server Kompas sendiri. Upaya peretasan bukan tidak mungkin dilakukan mengingat yang bersangkutan tampaknya “tidak punya belas kasihan”. Saya mencermati tulisan-tulisannya, sangat tendensius anti agama tertentu di Indonesia, termasuk komentarnya di artikel saya. Ini sebenarnya juga mengkuatirkan di samping kemampuan programming-nya yang berbahaya.
     So, bila mengkritik seseorang bisa membuat marah orang bersangkutan, bukankah hacking bisa membuat marah banyak orang? Maka seyogyanya admin Kompasiana responsif kepada laporan member yang mengharapkan Kompasiana benar-benar jadi “rumah sehat” seperti diutarakan Linda DJalil. Apabila menjadi “anti-kritik” justru jadi bahan tertawaan orang, kalau “anti-hacker” dijamin jadi pujian orang. :)

     Tabik!

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Kompasiana, 2 April 2010]

Ilustrasi Foto: Dari laman tulisan Faizal Assegaf. 
Sumber Foto: http://visibaru.com/index.php?option=com_content&view=article&id=486:jacob-oetama-bukan-guru-bangsa-06&catid=45:blog-faizal-assegaf&Itemid=83