Jumat, 28 Januari 2011

Lipstik dan Gincu

     Apa sih bedanya lipstik dan gincu? Mungkin secara tekstual harfiah artinya sama. Tapi konotasinya yang berbeda. Kalau lipstik terkesan lebih elit dan buatan pabrik, sementara gincu terkesan murahan. Di zaman Belanda dulu, rakyat miskin bahkan bisa menggunakan tumbukan bata merah. Tapi fungsinya sama, untuk memerahkan bibir -terutama perempuan- agar makin menarik dan sensual. Begitu...
     Entah mengapa, itulah yang teringat di benak saya saat membaca kepala berita (headline) di harian Seputar Indonesia (Sindo) hari ini. Di situ tertulis besar-besar: "100 Tokoh Lawan Mafia Hukum". Dilengkapi pula foto gagah sebagian dari 100 tokoh itu. Mereka membentuk Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum (Geram Hukum).
     Meski gerakan itu bertujuan "mulia", namun secara pribadi saya meragukan efektifitasnya. Minimal, gerakan macam itu seharusnya bisa jadi kelompok penekan (pressure group). Akan tetapi, tampaknya akan sulit karena formatnya cair. Di samping itu justru 100 tokoh itu heterogen. Belum lagi soal waktu yang pastinya sulit karena mereka semua "orang sibuk". Ditambah lagi masalah "ego" yang pasti besar, sebesar nama tokoh-tokoh itu.
     Saya tidak meragukan kualitas perseorangan individu yang terlibat, namun semata menyoroti soal pembentukan gerakan ini. Meski dilandasi niat mulia, kalau tidak ada efektifitasnya, buat apa juga bergenit-genit seperti itu? Misalnya saja muncul pertanyaan begini di benak saya: Apa sih programnya? Bagaimana cara kerjanya? Dari mana dananya? Di manakah kantornya? Ke mana tujuan yang hendak dicapai?
     Saya teringat pada "Geram" yang lain, yaitu Gerakan Rakyat Anti Madat. Gerakan ini secara formal berbentuk LSM bahkan sampai membentuk cabang-cabang di daerah. Sehari-hari mereka pun berkolaborasi dengan Polri. Apakah Geram Hukum berniat jadi LSM atau sekedar deklarasi lalu bubar?
     Maka, tak heran saya langsung teringat pada lipstik dan gincu. Apalagi di dalam gerakan ini juga ada artis yang memang sehari-hari gemar berlipstik dan bergincu...

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 28 Januari 2011]

Selasa, 25 Januari 2011

Penelitian Dicabut Dengan Upacara Adat?

     Kasus video mesum Nazriel "Ariel Peterpan" Ilham rupanya punya cerita "sampiran". Cerita itu adalah diprotesnya saksi ahli dalam persidangan kasus tersebut yaitu Tamrin Amal Tomagola. Dalam persidangan yang berlangsung tanggal 3 Desember 2010 tersebut Tamrin menyatakan, "Dari hasil penelitian saya di Dayak itu, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah, hal itu dianggap sebagai pembelajaran seks."(kutipan dari sini). Karuan saja pernyataan yang dianggap melecehkan suku bangsa Dayak itu diprotes keras. Di Politikana pun sempat muncul tulisan yang menentangnya. Bahkan digelar pula demonstrasi di Kalimantan Barat, Tengah dan Jakarta untuk menolak pernyataan Tamrin itu.
     Pada hari Sabtu (22/1) kemarin, akhirnya sosiolog Universitas Indonesia itu menjalani sidang adat yang disebut Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu. Dalam sidang yang berlangsung di Palangkaraya-Kalimantan Tengah itu Tamrin divonis oleh majelis sidang bersalah melanggar adat. Ada enam poin putusan yang dijatuhkan dalam sidang adat tersebut (lengkapnya baca di sini).
     Yang meresahkan saya adalah, poin kelima dalam putusan itu menuntut Tamrin memusnahkan hasil penelitiannya soal masyarakat adat Dayak. What?
     Bagaimana ini bisa terjadi? Sebuah penelitian ilmiah kemudian harus dimusnahkan gara-gara ada elemen masyarakat yang menjadi subyek penelitian tak setuju? Cara itu justru menunjukkan kalau isi penelitian bisa jadi memang benar.
     Sebenarnya kalau masyarakat adat Dayak ingin menunjukkan bahwa mereka merupakan suku bangsa tua yang berbudaya luhur, biarkan saja hasil penelitian itu. Kalau memang ragu dengan penelitian tersebut, buat penelitian lain dan publikasikan hasilnya. Siapa tahu memang ada perbedaan metode, pengambilan sampel dan sebagainya yang membuat hasilnya berbeda. Memusnahkan hasil penelitian identik dengan pembakaran buku. Dan membakar buku sama saja dengan memusnahkan budaya manusia.

[Foto Tamrin Amal Tomagola dari eramuslim.com]

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 25 Januari 2011]

Surat Pembaca Lim Ping Kiat


Ini surat pembaca yang ada di tulisan saya kemarin (tulisan yang ini lho)...

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 25 Januari 2011]

Senin, 24 Januari 2011

Menggugat Gerakan Koin

     Setelah sukses dengan gerakan "Koin untuk Prita", hari ini diluncurkan pula gerakan "Koin untuk Presiden". Meski tujuannya kali ini berbeda. Bukan untuk membantu, tapi malah menyindir.
     Kita semua warga P tahu, bahwa beberapa dedengkot dan warga di sini terlibat aktif dalam gerakan "Koin untuk Prita". Namun sudahkah hal itu dipertanggungjawabkan? Saya sendiri merasa, kita semua "tertipu" olehnya. Informasi yang saya dapat tentang citra beliau ternyata "tidak seindah warna aslinya". Hasil pengumpulan koin simpati masyarakat itu ternyata kemudian dipergunakan untuk kepentingan pribadi (konon untuk membangun rumah baru). Apalagi setelah pengadilan memenangkannya.
     Koin untuk Presiden yang merupakan imbas dari pernyataan Presiden di depan Rapat Pimpinan TNI/Polri di gedung Balai Samudra hari Jum'at (21/1) lebih merupakan "kegenitan politik". Dimulai di media jejaring sosial internet seperti Twitter dan Facebook, kini sudah ada 17 gerakan serupa yang muncul. Tadi siang juga sudah ada deklarasi di Bundaran Hotel Indonesia (H.I.).
     Bagi saya, ini merupakan "manuver" dari para lawan politik SBY. Di sini, saya merasa kita harus bertindak adil. Apa yang diungkapkan SBY bukan merupakan curhat. Cermati saja gaya bicara dan pemilihan kalimatnya. Itu sebenarnya lebih merupakan motivasi. Anda yang rajin mengikuti P mungkin tahu bahwa saya bahkan terlibat aktif dalam tim sukses pasangan calon lain saat Pilpres lalu. Dan hati saya belum berubah. Dalam arti belum 'tobat' untuk jatuh cinta pada SBY seperti 'dianjurkan Wisnu Nugroho, wartawan Kompas penulis buku tetralogi tentang SBY itu. Namun untuk soal tersebut, 'serangan' kepada SBY terasa kurang adil. Karena konteks bicaranya tidak seperti itu.
     Lantas tadi pagi, saya membaca di surat pembaca harian Republika, bahwa ada orang lain yang mengalami nasib persis Rita. Ia dipidanakan oleh pengembang Era karena menulis surat pembaca. Nama orang itu adalah Lim Ping Kiat.
     Pertanyaan saya: kenapa kita tidak membelanya? Kenapa tidak ada gerakan Koin untuk Lim Ping Kiat? Apakah karena dia -maaf- keturunan China? Apakah kita sudah jadi rasis di sini? Kalau mau repot-repot bermanuver politik untuk SBY, kenapa kita tidak mengulang gerakan koin untuk Prita bagi Lim Ping Kiat?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 24 Januari 2011]

Jumat, 21 Januari 2011

Revolusi? Memangnya Gampang?

     Hari ini, di media massa terbetik kabar soal pernyataan Jenderal TNI (Purn.) Tyasno Sudarto -mantan KSAD- yang menyerukan revolusi. Meski dibungkus dengan kalimat diperhalus "Gerakan Revolusi Nurani", namun toh tetap ada kata "revolusi"nya. Bisa jadi, ia merupakan satu dari beberapa elemen yang merencanakan "Revolusi 2011". Mereka tidak ingin menunggu hingga Pemilu 2014 dengan berbagai alasan.
      Terkait pernyataan Tyasno tadi, selain soal rekam-jejak sang jenderal, ada masalah lain. Yaitu sebuah pertanyaan besar: memangnya gampang mencetuskan revolusi? Ada banyak unsur kompleks saling terkait dalam revolusi. Tidak hanya pemerintah yang dianggap tidak kompeten, tapi juga reaksi massa terhadap ketidakkompetenan itu, kesiapan intelektual, peran gerakan penggalangan massa, fungsi kelompok penekan, bahkan -believe it or not- dana yang amat memadai. Dalam hal terakhir ini, peran kelompok oposisi atau pihak yang tidak sependapat dengan pemerintahan sekarang sangat dibutuhkan.
     Karena itulah, harus diingat, meski hampir selalu mengatasnamakan "kepentingan rakyat" dan dalih "menyelamatkan negara", setiap revolusi selalu berujung pada perebutan kekuasaan. Baik itu revolusi damai atau kudeta berdarah, ujung-ujungnya adalah bergantinya pemerintahan. Pada kasus ekstrem memang sampai ada yang berujung pada perubahan konstitusi bahkan hancurnya sebuah negara. Sebutlah seperti revolusi Turki saat Mustafa Kemal Pasha "Attaturk" merebut kekuasaan negara dari Sultan Abdul Hamid II tahun 1923.  Saat itu imperium kekhalifahan Islam terakhir Turki Otsmani hancur dan digantikan Republik Turki.
     Revolusi memang hampir selalu dikaitkan dengan politik dan pemerintahan. Meski arti kata dasarnya adalah "perubahan secara cepat" sebagai antinomi dari "evolusi" atau "perubahan secara bertahap/gradual". Maka, bila muak dengan kondisi Indonesia, memang revolusi satu-satunya cara. Karena evolusi berarti akan makan waktu amat lama (ingat evolusi manusia ala Darwin?) dan bisa jadi hasilnya tidak sesuai harapan. Ini karena ada proses adaptasi sehingga bisa jadi ada penyiasatan dari mereka yang seharusnya tergusur.
     Namun, dalam menyerukan revolusi, memang seharusnya ada prakondisi atau situasi sebelumnya yang seyogyanya dipenuhi. Sara Robinson menulis, setidaknya ada tujuh prasyarat menuju revolusi. (lengkapnya bisa dibaca di sini), yaitu:
  1. Membubung, Lalu Hancur
  2. Adanya Perang Kelas
  3. Intelektual yang diabaikan
  4. Pemerintah yang tidak kompeten
  5. Pengecut di Kelas Penguasa
  6. Ketidakbertanggungjawaban dalam Bidang Pajak
  7. Penggunaan Kekuatan Yang Tidak Konsisten
Sudahkah di Indonesia hal itu terpenuhi?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 21 Januari 2011]

Selasa, 18 Januari 2011

Nusron Wahid dalam Ingatan Saya

     Hari ini, saya membaca berita di harian Kompas (p.3) tentang terpilihnya Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP-Ansor) periode 2011-2016. Sang ketua terpilih bernama Nusron Wahid. Dia adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Golkar. Sewaktu mahasiswa, ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB-PMII) periode 2000-2003.
     Apa yang jarang diketahui orang adalah Nusron juga sempat menjadi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia juga sempat aktif di organisasi pers mahasiswa sewaktu berkuliah di Universitas Indonesia (UI). Di organisasi bernama Suara Mahasiswa UI ini Nusron muda mengasah kemampuan jurnalistiknya sebelum bergabung menjadi wartawan harian Bisnis Indonesia.
     Di dua organisasi itu jualah saya bertemu dengannya. Bukannya SKSD (Sok Kenal Sok Dekat), namun dulu memang kami pernah saling kenal. Kalau sekarang, saya tidak yakin apakah beliau yang sudah punya posisi tawar tinggi dalam politik nasional masih ingat pada saya.
     Satu yang saya tahu, jalan hidup teman saya ini cukup berliku. Karena lahir di Kauman-Kudus, Nusron sewaktu mahasiswa sering menambahkan kata "Kauman" di belakang namanya. Jadi nama panjangnya: "Nusron Wahid Kauman". Dahulu ia cukup taat beribadah. Antara lain yang saya ingat  sewaktu kuliah ia sempat berpuasa tanpa putus selama 5 tahun (tentu kecuali di hari-hari haram berpuasa).  Toh itu tak membuatnya berhasil meminang seorang gadis buruannya, yang saat itu menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Suara Mahasiswa UI. Btw, gadis itu kemudian menikah dengan seorang rekan saya yang lain, yang juga aktivis. Saya sendiri sempat menjadi Pemimpin Redaksi Suara Mahasiswa UI tiga periode setelah kepemimpinan gadis buruan Nusron itu ;) .
     Nusron tak menyerah. Ia terus berjalan. Gagal menjadi Ketua Umum Pengurus Cabang HMI Depok, ia mengalihkan "karir"-nya ke PMII. Di sini ia melesat. Selain mendirikan PMII cabang Depok yang waktu itu belum ada, ia kemudian berhasil menjadi pucuk pimpinan tertinggi organisasi massa pemuda onderbouw NU itu.
     Saya tak tahu lagi kiprahnya setelah ia lulus dari jurusan sejarah UI. Apalagi setelah ia aktif di Partai Golkar. Beberapa teman memang sempat bertemu dengannya. Dan komentar yang saya dengar dan ingat cuma dua: "Nusron makin gendut" dan "sekarang mobilnya BMW". Komentar yang naif menurut saya.
Tapi, itulah hidup. Jalan hidup seseorang kadang tak terduga. Seorang teman yang tadinya bisa dibilang "teman tidur" saking dekatnya, kini sudah jauh di atas langit. Ia sudah bertahta di puncak ketenaran. Tentu saja, kerja keras, kelihaian dan kecerdikan seorang Nusron bisa dicontoh. Walau saya tahu, ada sisi-sisi lain dari kehidupannya yang tidak perlu saya ambil.
     Yang jelas, saya berusaha tidak memanfaatkan masa lalu dalam konteks kedekatan dengan seorang teman untuk kepentingan saya sendiri. Karena itu, secara langsung saya tak pernah kontak lagi dengan Nusron dan teman-teman lain yang sudah duduk di DPR. Karena saya tak mau nepotisme merajalela. Bila satu saat kami harus bertemu dan bekerja bersama lagi, biarlah itu terjadi secara alami.

Catatan:
[Tulisan ini dimuat di blog pribadi saya -LifeSchool-, dan diposting di Politikana, 18 Januari 2011]


Foto Nusron Wahid diambil dari official website-nya.