Senin, 22 Februari 2010

Jusuf Kalla: Jadikan Donor Darah Sebagai LifeStyle

Dalam acara Kompasiana Monthly Discussion (MoDis) hari Senin (22/2) pagi tadi, sekitar tiga puluhan blogger Kompasiana berkumpul di Markas PMI provinsi DKI Jakarta. Acara utama adalah mendengarkan pemaparan dari Ketua Umum Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia, Drs. H.M. Jusuf Kalla. Beliau, selain sebagai mantan Wakil Presiden R.I. 2009-2014 juga seorang blogger di Kompasiana.

Bagi saya sendiri, pertemuan dengan beliau pasca Pilpres 2009 lalu adalah yang pertama kali. Saat itu, saya dipercaya oleh Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto untuk memimpin pembuatan blog resmi pasangan itu (http://www.jk-wiranto-2009.com). Beberapa kali saya terlibat dalam rapat, dan satu kali berada di belakang mendampingi beliau saat sedang diwawancara media pasca peringatan Hari Anak Nasional di TMII. Terus terang, saya senang bertemu beliau kembali dalam jarak sedekat ini. Walau tentu beliau sama sekali tidak akan ingat saya yang cuma ’sekrup kecil’ saja dari tim raksasa pendukung beliau.

Terus terang, kalau tidak sedang bicara politik, JK sepertinya kurang ‘menyentil’. Akan tetapi, terlihat jelas kesungguhan beliau untuk bergiat di kegiatan sosial. Ini persis seperti janjinya saat Debat Capres 2009 lalu. Karena saat ditanya ketika itu beliau menjawab: “akan pulang kampung, mengurus kegiatan pendidikan, agama dan sosial” saat diandaikan akan kalah dalam Pilpres. Dan ternyata memang beliau kalah. Dan tak lama, datanglah PMI “menagih janji” beliau untuk berkiprah di ranah sosial.

Tak main-main, segala hal tentang PMI dipelajarinya dengan cepat. Dalam satu bulan saja, JK sudah berkeliling ke 14 provinsi untuk memantau kesiapan PMI di daerah. Ini persis seperti gaya beliau saat menjadi Wapres, cepat dan cekatan. Beliau juga mencanangkan target agar PMI mampu memproduksi sendiri kantong darah yang sekarang masih impor. Sekaligus juga meningkatkan ketersediaan darah di bank darah PMI atau Unit Transfusi Darah menjadi 4 juta kantong. Beliau tak lupa mengungkapkan data, hingga tahun lalu, ketersediaan darah ini hanya 1,7 juta kantong. Padahal, angka 4 juta itu seharusnya adalah minimal cadangan, yaitu 2 % dari total penduduk.

Agar persediaan darah ini dianggap penting, JK bahkan mengilustrasikan bagaimana kalau Indonesia tiba-tiba dilanda perang. Sementara cadangan darah cuma ada untuk dua hari. Belum lagi kantong yang masih impor. Celaka kita!

Karena itu, JK mengajak segenap pengurus dan relawan PMI untuk bekerja lebih keras. Ia juga meminta dukungan masyarakat terutama blogger khususnya blogger Kompasiana untuk mengkampanyekan gerakan mendukung PMI, terutama dalam hal donor darah. JK bahkan meminta agar donor darah dijadikan life style. Sehingga nantinya akan ada chatting atau perbincangan antar blogger:

“Hei, kamu sudah donor darah berapa kali?”
“10.”
“Ah, kalah sama aku. Sudah 15 kali aku donor darah!”
Ah, JK bisa aja. Memang selalu penuh guyon bahkan saat membahas masalah serius!

[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana, 22 Februari 2010]

Rabu, 17 Februari 2010

Awas, Pengalihan Isu!

Pasca ditetapkannya vonis terhadap Antasari Azhar dan disampaikannya pandangan umum sementara fraksi-fraksi dalam Pansus Bank Century, media massa sempat istirahat dengan adanya Hari Valentine dan Imlek yang datang berbarengan pada 14 Februari 2010 lalu. Akan tetapi, pasca itu, sontak muncul isyu akan dirilisnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia. Meski masih dalam bentuk Rancangan (RPM=Rancangan Peraturan Menteri), suara kontra langsung terdengar lantang dari komunitas internet Indonesia.

Betapa tidak, RPM itu jelas akan memasung kebebasan informasi dan berekspresi di dunia maya. Mengerikan sekali isi RPM itu, mungkin bisa disetarakan dengan upaya pemerintah RRC menyeleksi informasi yang bisa ditampilkan mesin pencari Google. Bagi saya pribadi, apabila RPM itu jadi diterapkan, malah akan lebih mengerikan dibandingkan sekedar menyensor Google. Itu karena RPM memberi hak pada suatu tim khusus yang akan dibentuk untuk melakukan penyensoran. Kendali wewenang penyensoran isi suatu situs atau konten multimedia sendiri ditumpuk ke tangan Menkominfo.

Jelas, sebagai blogger, saya sama sekali tidak setuju dengan isi RPM itu. Kalau alasannya cuma sekedar menghalangi pornografi, bukankah sudah diatur di peraturan lain? Karena penilaian terhadap konten multimedia sangat subyektif, bisa jadi RPM itu kelak akan dipakai pula memberangus suara-suara kontra terhadap kebijakan pemerintah, seperti halnya hatzaai artikelen di KUHP.

Selain persoalan RPM itu, muncul pula rencana Kementerian Agama untuk mempidanakan pelaku nikah sirri. Ini juga berbahaya. Saya sama sekali tidak pro pada nikah sirri. Akan tetapi, konteksnya adalah di sini negara terlalu jauh mencampuri urusan pribadi warganya. Pernikahan adalah ranah privat, bukan ranah publik. Negara hanya bisa memfasilitasi pernikahan dengan melakukan pengesahan surat-suratnya saja. Apabila dalihnya hendak melindungi kaum perempuan, lagi-lagi sudah diatur di peraturan lain. Misalnya saja bila terjadi KDRT, maka selain KUHP juga sudah ada UU Perlindungan Perempuan.

Bagi saya, khusus untuk rencana memidanakan nikah sirri, ini tampak seperti pengalihan isu dari rencana penyelidikan pengelolaan dana haji di Kementerian Agama. Seperti kita tahu, pengelolaan dana ini diduga tidak transparan. Indonesian Corruption Watch (ICW) bahkan sudah melaporkan dugaan korupsi itu kepada KPK pada 13 Juli 2009. Berdasarkan penelusuran ICW, Departemen Agama diduga melakukan korupsi terhadap biaya penerbangan serta biaya operasional di Indonesia dan Arab Saudi senilai US$ 127,7 juta atau setara Rp 1,28 Triliun.

Jadi, selain sibuk menolak RPM dan rencana pemidanaan pelaku nikah sirri, kita juga harus mewaspadai pengalihan isyu. Bagi media massa, tetap kawal kasus Antasari Azhar dan Bank Century sampai tuntas!

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Kompasiana, 17 Februari 2010]

Rabu, 10 Februari 2010

Kebahagiaan Hidup & Adversity Quotient

Lord Layard mengatakan bahwa rumus bahagia adalah bersosialisasi, membuat koneksi, bergerak secara aktif, terus belajar dan biasakan memberi sesuatu untuk orang lain.

Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan hidup semua orang. Aristoteles bahkan menempatkannya sebagai tujuan utama dari keseluruhan sistem etika filsafatnya. Ia menyebutnya “Eudaimonia”. Kata ini berarti kebahagiaan dalam bahasa Yunani, dimana filsuf itu mendefinisikannya “sesuatu yang paling baik, paling mulia, dan paling menyenangkan di dunia.”

Semua orang pasti ingin merasa bahagia. Akan tetapi, banyak yang tidak menyadari bahwa kemampuan meraih kebahagiaan sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal ini terkait dengan kekuatan kepribadian dan kemampuan masing-masing dalam merespon dan bertahan menghadapi hidup. Dalam istilah psikologi, Dr. Paul Stoltz menciptakan istilah “Adversity Quotient” (AQ). Menurut definisi beliau, Adversity Quotient adalah “the capacity of the person to deal with the adversities of his life. As such, it is the science of human resilience,” atau bila diterjemahkan “kemampuan seseorang untuk menghadapi tantangan kesengsaraan dalam hidupnya. Singkatnya, ini adalah ilmu tentang daya kenyal manusia.” Istilah “daya kenyal” sendiri mungkin terdengar aneh, karena itulah terjemahan yang saya dapat dari Kamus Inggris-Indonesia “standar” yang disusun oleh John M. Echols dan Hassan Shadily. Istilah itu sendiri maksudnya adalah kelenturan. Jadi, AQ merupakan intelejensi khusus yang berkaitan dengan kelenturan seseorang menghadapi problema kehidupan. Makin lentur ia, makin mampu ia menghadapi kesulitan hidup.

Sayangnya, seringkali seseorang begitu rendah AQ-nya, meski mungkin dianugerahi IQ tinggi. Karena itu, seringkali kita melihat ada orang yang pintar namun miskin. Ini karena ia tidak mampu menyiasati hidup. Sementara banyak orang tidak pintar namun kaya. Akan tetapi, jangan salah, pendidikan formal tetap perlu. Karena ada yang lebih penting daripada ilmu yang dipelajari dalam pendidikan formal, yaitu wawasan, logika dan jaringan. Itulah yang dikembangkan oleh orang-orang hebat yang sukses di bidangnya.

Bill Gates boleh putus kuliah dari Harvard. Akan tetapi ia punya jaringan teman-teman sevisi yang mewujudkan mimpinya membuat sistem operasi komputer dengan antar-muka berbasis grafis yang ramah dan mudah digunakan. Wawasannya pun jelas terasah karena ia tahu saat itu belum ada yang mewujudkan idenya. Demikian pula logikanya, baik logika algoritma numerik maupun logika bisnisnya pun jalan seiring. Maka terciptalah Microsoft Windows yang mendunia dan nyaris memonopoli pasar sistem operasi dengan GUI-nya yang indah dan disukai pengguna.

Banyak yang mengidentikkan kebahagiaan dengan kesuksesan. Sementara kesuksesan dianggap setali tiga uang dengan kekayaan. Padahal, itu tidak betul.

Kebahagiaan juga tidak berarti kita harus selalu tersenyum atau tertawa. Karena itu berarti kebahagiaan identik dengan kesenangan dan rasa senang. Padahal, kebahagiaan jauh lebih luas daripada itu.

Kebahagiaan bisa didapat dari banyak hal. Salah satu aspek yang sering diajarkan orang-orang tua di Jawa adalah sikap “nrimo ing pandum”. Dalam Islam, dikenal istilah “qona’ah”. Ini merupakan perwujudan sikap menerima apa yang kita dapat -dengan pengertian dianugerahkan oleh Tuhan sebagai berkah- setelah berikhtiar. Jadi, semua harus didahului ikhtiar atau usaha, bukan dengan berpangku tangan dan berkeluh-kesah.

Adversity Quotient adalah kemampuan untuk “nrimo ing pandum” atau “qona’ah” tadi. Dalam segala yang kita hadapi dan terima, kita harus mampu mencari “blessing in disguise”-nya. Dalam setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Ini berarti, pribadi dengan AQ tinggi akan mampu mencari jalan keluar atau solusi dari masalahnya dengan berupaya memecahkan sumber masalahnya langsung, bukan dengan berkeluh-kesah dan menyalahkan orang lain. Ia akan tangguh berjuang menghadapi hidup dan menaklukkannya. Dalam proses itulah kebahagiaan diraih. Dengan menyikapi hidup sebagai arena perjuangan, pembelajaran, pertemanan dan berbagi tanpa henti, niscaya kebahagiaan  hidup itu akan tampak realistis dan bisa dicapai segera tanpa perlu menunggu sukses atau kaya lebih dulu.

[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana, 10 Februari 2010]