Kamis, 12 November 2009

Sang Sutradara

Dalam setiap lakon, baik itu sekedar sandiwara sekolahan atau film ala Hollywood, selalu ada sutradara yang berhak mengatur mulai jalannya cerita hingga penentuan pemain. Demikian pula dalam setiap lakon politik di panggung kenegaraan kita, tak heran bila masyarakat bertanya-tanya, setelah semua aktor menampilkan diri, maka, siapakah sang sutradara? Bila di panggung sandiwara atau teater sang sutradara akan tampil dengan bangga saat diperkenalkan di akhir acara, atau menampilkan diri dalam credit title di akhir film, maka dalam konteks sutradara di panggung politik kenegaraan malah sebaliknya, sang sutradara malah ‘ngumpet’.
Kenapa ngumpet? Karena sebagai ‘aktor intelektual’ ia memiliki peran paling besar dan merupakan otak dari segalanya, maka, ia pun kemudian memiliki tanggung jawab paling besar dibandingkan aktor biasa. Apalagi bila kemudian drama nasional yang dipertontonkan merupakan perbuatan yang merugikan pihak lain.
Terkadang, sang sutradara memang tidak tersingkap sampai lakon berakhir. Akan tetapi, itu tak sering. Bahkan, andaikata tak disebutkan gamblang, biasanya ada tindakan yang terindikasi bahwa seseorang adalah sutradaranya. Seperti tulisan saya kemarin di Politikana (baca kembali di sini), dalam skandal Watergate misalnya, Richard Nixon memang tidak terbukti sebagai sang sutradara. Ia mundur dari jabatannya sebelum pemeriksaan, yang berarti akan mengungkap segalanya termasuk jati diri sang sutradara. Meski tidak pernah ada pernyataan resmi tentang jati diri sang sutradara kasus Watergate, publik tetap bisa menduga, bisa jadi Nixon-lah  sang sutradara itu sendiri.
Dalam kasus kekisruhan yang menimpa KPK dan Polri, yang semula merupakan kasus Bank Century dan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang terpisah, publik hanya bisa meraba, siapa kira-kira sutradaranya. Dalam tulisan di internet termasuk di P ini, berseliweran berbagai skenario terutama dugaan tentang sang sutradara, namun semua hanya dugaan dan prasangka belaka. Tidak ada bukti yang bisa disampaikan. Hanya saja, seharusnya otak yang waras bisa meraba, kemana sebenarnya arah kasus ini. Karena bila memang sekecil itu skalanya, saya pikir tak mungkin sampai dibentuk Tim 8 segala. Sekarang, tinggal menunggu siapa yang akan dikorbankan dan “diberi cap” sebagai sutradara. Padahal, mungkin yang bersangkutan cuma figuran belaka.
Sudah lama sekali banyak kasus yang tergolong ‘dark number’. Jangankan sutradaranya, wong aktor pelakunya saja masih gelap atau ‘digelapkan’ kok. Misalnya kasus penculikan aktivis 1997-1998, Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Petrus di dekade 1980-an, atau Tragedi Tanjung Priok 1984. Meski ada dugaan dari publik atau pengamat ahli, semua itu cuma dugaan tanpa bukti faktual. Memang, ada aktor yang tercatat sejarah, namun belum tentu aktor utama. Terkadang, seperti halnya dalam Peristiwa Malari 1974, aktor utamanya yaitu Ali Moertopo dan Soemitro tidak mendapatkan hukuman resmi dalam pengadilan, melainkan ‘hanya’ hukuman berupa pencopotan jabatan saja. Malah, para pengamat ahli menduga dalam banyak kasus konflik di era Orde Baru, sang sutradara justru yang berhak mencopot jabatan para aktor utama itu tadi. Namun, sekali lagi itu hanya dugaan tanpa bisa terungkap.
Pertanyaan saya: akankah kekisruhan KPK vs Polri ini akan berujung pada dark number? Kalau memang begitu, memang repot. Ujungnya kita tinggal menunggu kiamat dan menanti pengadilan Tuhan saja. Akan tetapi harus diingat, kita tidak bisa ‘menonton’ pengadilan Tuhan, karena tiap kita akan diadili sendiri-sendiri. Dan pengadilan Tuhan tidaklah mengadili kasus, melainkan mengadili perbuatan pribadi saja. Sehingga, kita pun tidak akan bisa memastikan hal itu, selain orang itu sendiri dan Tuhan tentunya. Akankah semua ini kita serahkan ke Tuhan saja?

{Tulisan ini dimodifikasi sedikit dari tulisan yang dimuat di LifeSchool, dimuat bersamaan di Politikana, 12 November 2009}

[Gambar diambil dari actorguru]

Rabu, 11 November 2009

All The President's Men

Kemarin, saya iseng-iseng sambil nunggu waktu ketemu klien nonton bareng All The President's Men di IGJ. Yang nonton sedikit, yang kenal malah cuma 1 orang. Maklum, saya bukan "anak gaul" lagi di dunia aktivis. Begitu malamnya buka P, kaget, lho, tadi ada Mr. Presiden di sana? (baca ini). Hebat banget dia, nyamar jadi apa ya kok saya bisa ndak lihat? :D
Film itu, tentu banyak warga P yang sudah nonton. Tapi sepintas saja bagi yang belum nonton atau sekedar mengingatkan, film itu merupakan kisah nyata dari skandal Watergate (1972-1974) yang pada akhirnya menjatuhkan Presiden Richard Nixon. Dimulai dari tertangkapnya 5 orang saat hendak menyadap kantor pusat Partai Demokrat, lawan Partai Republik yang sedang berkuasa. Kejadian kecil yang semula dikira percobaan pencurian biasa itu ternyata mengarah pada banyak hal, termasuk dalam hal ini yang paling berat adalah penyalahgunaan kekuasaan dari Nixon. Karena kelima orang itu ternyata terhubung dengan Tim Sukses Pemenangan Kembali Pemilu Presiden AS 1972 untuk Nixon. Dan Nixon sendiri terbukti memiliki rekaman pembicaraan hasil sadapan dari berbagai tempat. Selain bergulir di pengadilan, kasus ini mencuat dan menjadi perhatian publik berkat ketekunan dan keberanian dua wartawan muda The Washington Post yaitu Bob Woodward dan Carl Bernstein. Mereka kemudian jadi legendaris dan tekniknya yaitu menggunakan "Deep Throat" kemudian jadi lazim digunakan oleh para wartawan investigasi seluruh dunia.
Andai benar Presiden SBY menonton acara itu kemarin, tentu semua peserta akan bertanya, kenapa Presiden tidak menyerahkan pengusutan perkara ini kepada "Grand Jury" seperti Watergate. Bisa jadi beliau berkata sudah, karena sistem hukum kita kan memulai proses peradilan dari awal, dari tingkat Pengadilan Negeri dimana kasusnya diajukan oleh Kejaksaan Negeri. Lagipula tidak ada sistem juri di peradilan kita. Dan beliau bisa pula berkata bahwa sebagai Presiden yang eksekutif beliau tak mau mencampuri wewenang peradilan yang yudikatif. Yeah, penerapan murni Trias Politica-lah.... Apalagi, di sini SBY sudah membentuk Tim 8 yang bekerja untuk menggelar perkara secara publik walau hasilnya cuma berbentuk rekomendasi tanpa kekuatan hukum tetap. Semua tindakan SBY itu secara teoretis bisa saja dibenarkan. Namun, di sini ada opini publik yang terbentuk dan rasa keadilan rakyat yang terkoyak. Sama halnya dengan kasus Watergate atau penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa mana pun, sebenarnya kalau mau dijustifikasi ya tidak ada yang salah. Wong aturannya yang buat ya si penguasa sendiri kan? Hanya saja selain justifikasi legal formal, asas etika dan keadilan universal harus pula diperhatikan.
Selain soal keterlibatan Nixon, ada satu hal lagi yang menggelitik saya dari film tersebut, yaitu keberanian media mengungkap kasus itu. Bahkan The Washington Post dan The New York Times berlomba menggali lebih dalam, dan sejarah mencatat Post akhirnya unggul. Resikonya tidak sedikit, Pemrednya pun harus siap "pasang badan", tapi setelah yakin faktanya benar-benar valid. Mereka berani melawan penguasa, yaitu Presiden AS dan aparatnya termasuk FBI dan CIA. Di Indonesia saat ini, malah ada TV yang memberi kesempatan pada "musuh negara" untuk diwawancara eksklusif, seraya berupaya mendistorsi informasi, bukannya menggali informasi yang valid untuk rakyat.
Nixon sendiri mundur guna menghindari impeachment oleh House of Representatives dan pemeriksaan mendalam dari Senat. Penggantinya yang nota bene adalah Wakil Presidennya sendiri yaitu Gerald Ford kemudian memberikan maaf dan pengampunan secara resmi. Maka, ia terhindar dari pemeriksaan lebih lanjut yang jelas berpotensi menghancurkan reputasinya dan ada pula kemungkinan ia akan dipenjara, walau skandal Watergate-nya sendiri sebenarnya sudah menamatkan karir politiknya.
Artinya, sebagai Presiden ia cukup berani mengambil alih tanggung-jawab anak buahnya, walau belum terbukti ia yang memerintahkan. Artinya, meminjam istilah Hendarman Supandji, belum ada bukti mutlak Presiden terlibat, tapi sudah ada bukti kuat bahwa Nixon minimal mengetahui perbuatan "orang-orang"-nya, All The President's Men. Dan pembiaran tindakan kejahatan adalah termasuk konspirasi kejahatan yang dikategorikan kejahatan juga.
Nah, bagaimana di sini? Tampaknya para pemimpin kita justru sebaliknya. Mereka malah sebisa mungkin berlindung dengan segala cara setelah melempar batu. Kalau ada yang harus dihukum dan disalahkan, bukan pimpinannya, tapi malah anak buahnya. Sampai-sampai ada istilah "dikorbankan".
Saya tidak menuduh bahwa ada orang yang lebih tinggi lagi yang terlibat dalam skandal Bank Century dan pembunuhan Nasrudin yang kemudian berkembang jadi KPK vs Polri ini. Saya hanya berharap, keadilan akan ditegakkan dan kasus ini menjadi yurisprudensi yang akan dikenang oleh generasi mendatang sebagai pengungkapan satu kejadian memalukan yang berefek memurnikan sistem ketatanegaraan termasuk sistem hukum negara kita.
Pada akhirnya, paling tidak dari film ini ada pelajaran yang bisa dipetik:
  • Institusi peradilan harus independen dan tidak takut atau terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif atau tekanan mana pun termasuk dari publik. 
  • Pimpinan atau seseorang berjabatan tinggi selayaknya berani mengakui tanggung-jawabnya dan rela diberikan hukuman sesuai proporsi kesalahannya. Tanpa harus "mengorbankan" anak buahnya semata.
  • Pihak-pihak yang terlibat mau jujur berterus-terang menyebutkan kejadian yang dialaminya tanpa ada rekayasa atau pengaturan skenario lebih dulu.
  • Media bisa mengambil peran lebih menelisik lebih dalam daripada penyidik resmi. Setidaknya, fungsi watchdog dijalankan, bukan jadi puppies peliharaan yang menggoyangkan ekornya kesenangan saat diberi santapan penangkapan teroris...
Gambar diambil dari Moviefone

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 11 November 2009]

Selasa, 10 November 2009

Pahlawan & Tanda Jasa

10 November. Hari Pahlawan.
Itulah hafalan kita sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar (S.D.). Tentu kita semua tahu riwayatnya, kenapa hari ini dijadikan Hari Pahlawan oleh pemerintah Indonesia. Ya, dahulu di masa Revolusi Fisik mempertahankan kemerdekaan, arek-arek Suroboyo menolak perintah menyerah dari Inggris selaku pimpinan pasukan Sekutu yang menduduki kota itu. Sekutu, selaku pemenang Perang Dunia II merasa berhak mengambil alih Indonesia dari tangan Jepang yang sebelumnya menguasai wilayah yang bernama Hindia Belanda itu. Namun, rakyat Indonesia mencium gelagat bahwa negerinya akan diberikan kembali sebagai jajahan Belanda, terbukti dengan ikut sertanya NICA dalam rombongan tentara Sekutu. Maka, saat otoritas tentara pendudukan Inggris meminta rakyat Surabaya menyerah, serta-merta dilawan dengan angkat senjata. Segala elemen rakyat bahu-membahu berperang melawan tentara Inggris dan Belanda yang bersenjata jauh lebih modern.
Meski tak seimbang dan jatuh korban amat banyak di pihak Indonesia yang baru saja memerdekakan diri 3 bulan sebelumnya, perlawanan rakyat Surabaya mengejutkan Inggris dan dunia. Heroisme mereka diliput luas dan diberitakan di luar negeri. Terlebih, tentara Inggris harus merelakan kehilangan salah satu pimpinan mereka yaitu Brigadir Jenderal Mallaby yang tewas tertembak. Itu memaksa Inggris kemudian perlahan hengkang dari Indonesia seraya mendorong Belanda memasuki meja perundingan. Meski Belanda tidak langsung mengakui bahkan berupaya 2 kali lagi melakukan agresi, namun pada 19 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, mantan penjajah itu akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Ada dua kejadian historis yang heroik yang masih diingat hingga kini. Pertama adalah pidato Bung Tomo, tokoh pemuda Surabaya yang membakar semangat arek-arek Suroboyo melalui RRI. Dalam pidatonya yang bersejarah itu beliau telah mampu menghilangkan keraguan dan ketakutan rakyat, sekaligus memompa semangat juang segala lapisan masyarakat. Sementara kejadian historis kedua adalah perobekan kain bendera di bagian warna biru bendera Belanda yang berkibar di Hotel Oranje, untuk kemudian bendera yang tinggal warna merah-putihnya itu dikerek naik kembali. Itulah yang kita kenang. Nilai-nilai inilah yang kita junjung...
Keluhuran.
Kebanggaan.
Kepahlawanan.
Nasionalisme.
Patriotisme.
Itulah yang harus dipertanyakan kembali di saat republik ini menua. Republik yang untuk mendirikannya ditebus dengan darah, nyawa, harta dan air mata para pahlawan. Para pahlawan yang bahkan banyak mati dalam kondisi tak dikenal dan tanpa tanda jasa.
Sementara, kini kita menyaksikan parade mengerikan di media massa kita. Parade di mana ada sejumlah orang dengan tanda jasa bertaburan di dadanya namun patut dipertanyakan nilai-nilai keluhuran, kebanggaan, kepahlawanan, nasionalisme dan patriotisme-nya. Orang-orang yang rela ‘menjual murah’ tanda-tanda jasa yang seharusnya hanya layak dimiliki para pahlawan itu dengan rumah mewah, pendidikan anak di luar negeri, kesehatan terjamin, mobil sport terbaru, dan hal-hal duniawi lainnya.
Tidakkah kita semua malu pada para pahlawan yang berteriak lantang seperti dituliskan oleh Chairil Anwar dalam sajak terkenalnya “Krawang-Bekasi” (1949):
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Semoga kita sekarang tidak berkata:
“Pahlawan, maafkan kami. Negeri hasil perjuanganmu luluh lantak oleh para penjahat bertanda jasa, yang dibeli oleh para penjajah gaya baru bersaku penuh uang seraya berkata: kamilah Pahlawan!”

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan Politikana, 10 November 2009]

Senin, 09 November 2009

Akhirnya... Ada Demo Dukung Polri

Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis "usul" agar mengadakan demo anti KPK (baca di sini). Ternyata, hari ini hal itu benar-benar terjadi. Bahkan di dua kota sekaligus: Jakarta dan Medan. Mereka mengaku berasal dari Pemuda Penerus Amanat Proklamasi Republik Indonesia, Gempita, Persaudaraan Muslim Sedunia, Lembaga Hukum Proklamasi dan Humanis.
Selain mendukung Polri, di depan Mahkamah Konstitusi mereka menuntut Ketua MK Mahfud MD mundur. Mereka juga mengecam Chandra-Bibit yang mereka katakan bukan pahlawan. Selain di depan MK, massa serupa juga berdemo di depan gedung DPR, Mabes Polri, dan kantor Wantimpres
Tanpa harus jadi pengamat, asal mau sekedar memperhatikan, demo ini jelas termasuk demo yang patut dipertanyakan. Sebabnya:
  • Nama lembaga/institusi yang katanya mereka atasnamakan tidak pernah terdengar sebelumnya. Mungkin malah baru dibentuk tadi pagi.
  • Bendera dan atributnya terlihat seragam dan masih kinclong.
  • Spanduk putih polos dengan sablonan tidak rapih mirip spanduk yang banyak beredar saat konflik atau Pemilu.
  • Peserta demo terlihat awam, ada yang anak-anak, orang-orang tua dan mukanya polos. Terlihat sekali mereka itu "massa bayaran". 
Yeah, beginilah kalau yang punya uang marah. Mereka seolah bisa bikin apa saja. Apa sebaiknya negeri ini dijual saja sekalian ya kepada mereka?

[Tulisan ini diposting pertama kali di Politikana, 9 November 2009]

Kamis, 05 November 2009

Asal Mula Kisruh "Cicak vs Buaya"

Ini hanyalah sebuah pertanyaan kecil. Saya justru meminta bantuan apabila ada warga Politikana yang mengetahui duduk persoalan sebenarnya (mungkin dengan link sekalian). Saya mencoba merangkai mozaik, apa sebenarnya asal mula kisruh "Cicak vs Buaya" ini? Saya mendapatkan informasi bahwa upaya "pengerdilan KPK" justru bukan bermula dari kasus Bank Century, akan tetapi adanya niatan KPK untuk mengaudit sistem Teknologi Informasi (TI) yang digunakan KPU. Bila dilakukan, ada yang kuatir hasil Pemilu 2009 kemarin akan dipertanyakan ulang. Tentu saja, ada pihak yang paling dirugikan di sini, yaitu mereka yang karena Pemilu tersebut kemudian meraih kekuasaan. Mungkin ada kaitannya bila kemudian muncul pidato yang mengingatkan agar KPK tidak menyalahgunakan kekuasaan besar yang dimilikinya.
Pengangkatan pejabat yang jelas berperan dalam pengucuran dana ke Bank Century menduduki posisi lebih tinggi juga perlu dipertanyakan. Mengingat kompetensinya untuk jabatan politis meragukan. Apalagi, semua pejabat terkait dengan pengucuran dana ke Bank Century ternyata tetap dipertahankan di posisinya. Apakah kasus penghentian penyidikan oleh Kejagung ala BLBI akan kembali terjadi?
Bila memang semua ini ternyata saling terkait, semoga ada pemimpin di masa depan yang mampu menyeret pelakunya ke persidangan terbuka. Itu kalau kita asumsikan sistem dan pejabat yang ada sekarang kesulitan mengungkapnya karena alasan apa pun, terutama karena takut pada kekuasaan. Kita lihat teori motif sajalah, siapa sih yang paling diuntungkan dari kasus ini? Namun ini masih sekedar info tanpa dasar, atau sebutlah isyu. Apakah warga Politikana bisa memberikan pencerahan?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 5 November 2009]

Rabu, 04 November 2009

Demo Massa: Bubarkan KPK!

Kalau ada yang ingat masa-masa awal reformasi atau pasca Orde Baru, kita tahu bahwa untuk 'mengawal' suatu polemik yang jadi perhatian publik pihak yang bersengketa gemar mengerahkan massa. Bahkan tak jarang massa yang berseberangan kepentingan bertemu di lapangan. Jadilah ada demo pro dan kontra. Lucunya, kebanyakan massa yang ikut demo sama-sama awam atau orang suruhan. Pendeknya, orang bayaran-lah.
Mungkin nggak ya, untuk mendulang opini publik ujug-ujug ada demo di KPK oleh massa "jadi-jadian"? Sebutlah misalnya Aliansi Rakyat Anti KPK (ARAK) atau Jaringan Uang Danai Indonesia (JUDI) ? Kan kalau gitu 'rekayasa' Anggodo untuk "menutup KPK" bakal mangkin manstab toh? Jadi ndak perlu takut lagi gak dapat pemberitaan atau kalah sama konferensi pers-nya Bibit dan Chandra kan?
Hayo! Bubarkan KPK Anggoro! Sekalian saja sebarkan duit 3,5 milyar-mu dari pesawat terbang, biar lebih terkenal dari Tung Desem Waringin yang 'cuma' nyebarin 100 juta doang!

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 4 November 2009]