Rabu, 31 Maret 2010

Mendeteksi Mafia di Indonesia

Saya terinspirasi oleh tulisan Pak Prayitno Ramelan kemarin di Kompasiana yang berjudul Mafia dan Mafioso Indonesia, di mana di dalamnya beliau membahas mengenai lontaran dugaan adanya makelar kasus Susno Duadji, KPK, tindakan korupsi dengan ilustrasi dari kelompok Mafia. Di sini, saya hanya hendak memperkenalkan “logika pembuktian terbalik” untuk mendeteksi mafia di Indonesia. Semoga saya ’selamat’ dan ‘tidak dihabisi’ karena tulisan ini. ;)
Mafia, seperti ditulis oleh Pak Pray, arti awalnya adalah perkumpulan “pria terhormat” (mafiosi-tunggal  atau mafioso-jamak). Di Italia sendiri, istilahnya adalah “Cosa Nostra”. Asal kata “mafia” secara etimologis ada beberapa versi. Namun yang paling kuat adalah dugaan bahwa kata kerja Sisilia “mafiusu” merupakan derivatif atau turunan dari bahasa Arab tidak resmi (slang) “mahyas” (مهياص) yang berarti menyombongkan diri secara agresif atau dari kata “marfud”  (مرفوض) yang berarti “tertolak”. Bila diterjemahkan lebih bebas, maknanya bisa berubah menjadi “angkuh” atau malah “pemberani.”

Anggota mafia terdiri dari kelompok-kelompok yang awalnya berdasarkan kekerabatan atau kesamaan daerah asal. Sehingga, tiap kelompok menyebut dirinya “keluarga” (cosca). Meski sama-sama berasal dari Sicilia -sebuah pulau yang meski termasuk Italia namun terpisah dari Italia daratan, sehingga memiliki kekhasan tersendiri-, namun para anggota mafia hanya setia pada ikatan keluarga mafianya. Setelah terjadinya migrasi besar-besaran warga Italia ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19, terjadi pula eksodus mafia ke berbagai negara terutama A.S., Kanada dan Australia.

Pimpinan tertingginya disebut oleh Pak Pray dengan istilah Capo Dei Capi”, namun secara pelafalan dalam bahasa Italia yang lebih tepat adalah “Capo di tutti Capi“. Arti harfiahnya “Boss dari segala Boss”, ia mengepalai keluarga besar mafia yang terdiri dari keluarga-keluarga yang lebih kecil. Namun seiring perkembangan zaman, terjadi konotasi pergeseran makna mafia. Akhirnya semua kelompok kejahatan terorganisir kemudian disebut juga mafia. Kita kemudian kenal istilah mafia Jepang atau Yakuza, mafia China atau Triad, atau juga mafia Rusia (Русская мафия) yang aslinya bernama Bratva (Братва), tapi kemudian juga sering diterjemahkan menjadi Mafiya.

Dari sinilah kemudian kejahatan terorganisir beranak-pinak. Harap diingat, kejahatan terorganisir pada dasarnya merupakan manipulasi dan eksploitasi sistem terutama sistem hukum di negara bersangkutan. Meski terkenal sebagai pembunuh tanpa ampun, kelompok mafia juga adalah pebisnis ulung dan negosiator handal. Anggotanya bukan cuma geng jalanan berandalan, tapi juga kelompok masyarakat kelas atas. Sebutlah kepala polisi, senator, gubernur, petugas pajak, dan golongan lain sesuai keperluan. Ada yang menjadi anggota mafia dulu baru berprofesi macam-macam, itu berarti penyusupan. Tapi ada juga orang di luar keluarga yang didekati untuk kerjasama. Bisa dengan imbalan uang, atau malah ancaman terhadap keselamatan diri dan keluarganya.

Karena itu, tak heran dalam novel-novel Mario Puzo yang sangat akurat tentang kehidupan mafia digambarkan bahwa mafia itu manusia biasa juga. Mereka bahkan rajin beribadah dan melakukan kegiatan sosial! Banyak bos mafia -seperti digambarkan dengan karakter Don Vito Corleone dan putranya Don Michael Corleone dalam trilogi film Godfather (1972) karya sutradara Francis Ford Copolla- yang menempatkan diri dalam posisi terhormat dan memang dihormati masyarakat tempatnya tinggal.

Akan halnya di Indonesia, terdapat banyak kelompok kejahatan terorganisasir, namun tidak dalam satu wadah tunggal. Maka, diragukan ada Capo di tutti Capidi sini. Meski begitu, saya pernah mendengar sejumlah nama disebut sebagai bosnya bos mafia di Indonesia, namun saya tak bisa menyebutnya bahkan cuma inisialnya sekali pun. Dia terlalu kuat bagi seorang saya, karena konon ia bahkan bisa membuat seorang jenderal aktif sungkem cium tangan kepadanya.

Bisnis mafia pada dasarnya adalah bisnis jaringan. Mereka mengandalkan jaringan kepercayaan. Karena itu ada credo khusus bagi anggotanya angggotanya yang tertangkap, yaitu “Omerta” atau sumpah tutup mulut. Karena kalau ia berani “bernyanyi”, meski selamat dari aparat keamanan, ia pasti dihabisi rekan-rekan anggota keluaga mafianya sendiri. Kerahasiaan amat rapi, bahkan mungkin lebih rapi dari jaringan teroris. Seringkali antar sel tidak kenal satu sama lain. Apalagi bisa menjangkau Capo di tutti Capitadi.

Akan tetapi, di Indonesia keberadaan mafia tidaklah seseram itu. Pembunuhan fisik amat jarang dilakukan, walau bukan berarti pembunuhan dengan cara lain tidak dilakukan. Menghancurkan bisnis lawan dengan tindakan kekerasan atau menghentikan pasokan untuk membuat bangkrut sama saja dengan membunuh orang secara perlahan. Organisasinya pun tidak serapi itu, walau koordinasinya bisa dibilang rapi.

Sebenarnya keberadaan mafia terkait erat dengan perizinan. Makin rumit dan panjang rantai perizinan, makin mudah disisipi mafia. Segala macam surat yang dibutuhkan warga negara, hampir pasti di-mark up dari harga resminya. Apalagi yang membutuhkan waktu lama, pasti ada mafia yang menawarkan jasa mempercepat urusan.

Dengan begitu, seolah mafia identik dengan calo. Padahal tidak. Mafia ‘bermain’ di playground yang jauh lebih luas. Di luar negeri mereka bahkan bisa mempengaruhi ditetapkannya suatu Undang-Undang! Di sini, kasus hilangnya dua ayat tentang Tembakau dari RUU Kesehatan beberapa waktu lalu ditengarai karena ulah mafia rokok dan tembakau. Walau hingga kini kasus itu masih belum jelas.

Dalam kegiatannya, mafia menjalankan bisnis apa saja yang dimungkinkan. Akan tetapi, favoritnya adalah hotel yang dilengkapi tempat perjudian. Selain itu mafia juga biasanya menjalankan bisnis perdagangan obat terlarang, penyelundupan barang dan orang, namun yang paling penting adalah pencucian uang (money laundering). Untuk keperluan terakhir inilah kemudian mafia juga menguasai aneka bisnis penting yang legal secara hukum negara bersangkutan.

Kembali ke Indonesia, logika pembuktian terbalik yang saya sebutkan di awal tulisan justru bisa diterapkan kepada pihak-pihak yang membantu mafia. Dengan menjatuhkan pihak-pihak di luar keluarga mafia yang membantunya, mafia akan kehilangan orang kepercayaan. Siapa mereka? Biasanya adalah pejabat yang duduk di pemerintahan. Mafia tak akan segan menyuap atau memaksa pejabat melakukan manipulasi dan korupsi demi melancarkan kolusi yang dibangun.

Oleh karena itu, sebenarnya kepedulian warga dan keberanian aparat keamanan yang bersih harus ditingkatkan. Apabila ada “keajaiban” seperti Gayus Halomoan Tambunan yang dalam waktu singkat bisa punya rumah mewah -karena tabungan tak terlihat orang lain- maka warga sekitarnya sepatutnya bertanya-tanya. Apalagi bila ia dikenal tidak kaya sewaktu kecil atau orangtuanya termasuk miskin. Termasuk seorang yang pekerjaannya adalah salah satu dari tripartit  penegak hukum (hakim, jaksa, polisi)  atau aparat keamanan dari angkatan lain yang hidup mewah juga sangat layak dicurigai. Aparat yang terkait dengan pengurusan segala jenis izin pun sangat rentan dipengaruhi mafia.

Bahkan untuk hal-hal publik seperti kesehatan, asuransi, tenaga kerja, parkir bahkan hingga pengemis pun diorganisir oleh mafia masing-masing. Apalagi jasa keamanan partikelir yang diserahkan pada organisasi massa, biasanya juga rentan disusupi mafia. Keberadaan mafia ini menggelisahkan, karena kerapkali mereka begitu berkuasanya bak “warlord” tanpa tersentuh aparat keamanan setempat yang bisa jadi sudah ‘dijadikannya kawan’. Di samping itu jelas menyebabkan negara tempat hinggapnya mafia terpaksa menanggung ekonomi biaya tinggi karena mark-up yang dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa, baik oleh institusi pemerintah maupun sektor swasta.

Karena itu, keberanian pemerintah memberantas mafia harus ditingkatkan. Memang, mencari alat bukti sulit. Akan tetapi bukan tidak mungkin misalnya dengan modus jebakan seperti halnya kasus penyuapan kepada Mulyana W. Kusumah -anggota KPU periode lalu- yang tertangkap tangan oleh KPK. Di luar negeri terutama di A.S., pemerintahnya juga secara konsisten memberantas mafia,  sehingga kini organisasi mafia secara teknis bisa dibilang sudah dalam kondisi “hidup segan mati tak mau”. Walau yang namanya kejahatan terorganisirnya masih berlangsung. Toh, itu lebih baik daripada mereka dibiarkan berkeliaran merugikan rakyat dan bangsa.

[Tulisan ini semula diposting di Kompasiana, dan LifeSchool pada 31 Maret 2010]

Selasa, 30 Maret 2010

Merenungkan Bom di Rusia

Seorang rekan saya, asli Rusia namun kini tinggal di Finlandia, kemarin mengirim link via FaceBook. Link itu dari koran berbahasa Finlandia (kalau iseng mau lihat, klik di sini),  foto dan judulnya coba saya posting di sini. 
Tällaisia olivat metropommit: Rautaromua ja kiloja TNT:tä | Ulkomaat | Iltalehti.fi

Karena saya tidak mengerti bahasa Finlandia (Finnish), maka saya jelas tak mengerti arti berita itu. Tapi karena ada tulisan TNT (Tri Nitro Toluene) yang jelas merupakan bahan peledak, saya menduga ada ledakan di suatu tempat di negeri itu. Barulah tadi pagi saat koran langganan keluarga kami datang (di rumah kami berlangganan 5 jenis koran pagi), baru saya sadar apa arti berita itu.

Terjadi ledakan bom di stasiun kereta api di Rusia. Setidaknya 37 orang tewas dan 65 orang luka-luka (dari berita foto headline harian Kompas). Saya ikut berduka dan simpati pada para korban, semoga Tuhan mengampuni mereka. Menariknya, dalam berita yang dituliskan, otoritas keamanan Rusia sama sekali tidak menuding siapa pun sebagai pelaku bom bunuh diri tersebut.

Meski ini termasuk tindakan terorisme, tidak serta merta langsung ada tertuduh. Walau ada dugaan pelaku adalah dari kelompok perlawanan di Kaukasus Utara, tapi tidak ada secuil pun pernyataan dari pemerintah atau pun aparat keamanan yang mengatakan hal itu. Itu adalah dugaan wartawan. Aparat dan pemerintah menunggu ada pernyataan dari pihak yang mengklaim bertanggung-jawab atas ledakan itu.

Ada fakta-fakta yang digali pers dari ledakan itu. Seperti adanya dugaan pelakunya dua orang wanita, dan kemungkinan merupakan kelanjutan dari gerakan “Black Widow”. Namun isi beritanya -seperti saya baca di koran Indonesia- tidaklah menghakimi sebelum bukti-bukti nyata ditemukan. Ini agak berbeda dengan di Indonesia. Di mana seringkali dalam kasus semacam ini tuduhan pada pihak yang bertanggungjawab segera dilansir setelah terjadinya peledakan. Padahal, penyelidikan belum lagi dimulai karena masih membersihkan puing-puing dan memprioritaskan penyelamatan korban.

Hal paling menggelikan adalah pidato Presiden SBY seusai peledakan bom di J.W. Marriot 17 Juli 2009 lalu. Pernyataan pers resmi seorang Presiden ternyata didasari info yang tidak akurat, bahkan foto yang ditunjukkan adalah foto lama. Ini menjadi bulan-bulanan lawan-lawan politiknya. Sehingga kerja keras aparat keamanan sepertinya menjadi sia-sia. Padahal, tentunya untuk mengungkap kasus terorisme bukan kerja mudah dan perlu waktu lama. Demikian pula dalam kasus terorisme akhir-akhir ini. Cerita lengkap segera beredar di media massa kita. Sumbernya siapa lagi kalau bukan dari aparat keamanan.

Bagi analis yang kritis, tentu akan mengernyitkan dahi, mengapa aparat keamanan seakan begitu mengenali musuhnya? Apakah mereka sudah mahir menerapkan filosofi perang Sun-Tzu: “kenali musuhmu seperti engkau mengenali dirimu sendiri?” Pertanyaan seperti dilontarkan Hidayat Nur Wahid tentu akan terlintas: kalau aparat memang sudah tahu tentang kelompok teroris yang berlatih di Aceh -saya tidak mau mengulang kesalahan banyak media yang menggampangkan dengan menyebut mereka “teroris Aceh”, padahal sebagian besar justru berasal dari luar Aceh-, kenapa proses penggeberekannya seakan ditepatkan dengan momentum Presiden SBY berkunjung ke Australia? Mengapa tidak dari dulu-dulu saja? (berita baca di sini).Pertanyaan ini sampai sekarang belum terjawab dan seakan dibiarkan menjadi misteri.

Satu hal yang bisa dipelajari dari peledakan bom di Rusia adalah aparatnya benar-benar bisa memisahkan motivasi para pembom. Meski ada dugaan bom dilakukan oleh kelompok di Kaukasus Utara, termasuk dari Chechnya yang mayoritas Islam, namun motivasinya bukanlah agama. Kelompok tersebut adalah kelompok perjuangan separatis, yang ingin menjadikan negara mereka merdeka kembali, lepas dari Federasi Rusia. Karena memang sebagai federasi, sebenarnya baik Federasi Rusia maupun ‘orangtua’nya yaitu Uni Sovyet terdiri dari negara-negara berdaulat yang bergabung. Tapi setelah bergabung, tampaknya kedaulatan mereka kurang diakomodir oleh negara induk terbesar sebagai pemimpin federasi. Maka, pembom bunuh diri di Rusia itu meski mungkin dilatari pula pada keyakinan akan mati syahid, namun motivasinya adalah separatis untuk mendirikan negara merdeka.

Sementara, kelompok teroris di Indonesia -apalagi yang sekarang katanya berlatih di Aceh- agak tidak jelas motivasinya, tapi lantas berimbas pada dimarginalkannya Islam kembali seperti pada masa Komando Jihad-nya Ali Moertopo. Imbas yang seperti ini yang harus dikurangi agar tidak terjadi friksi antar kelompok masyarakat secara horizontal. Caranya tentu pemerintah terutama aparat keamanan harus menghadirkan bukti nyata, alih-alih terburu-buru melansir pernyataan kepada publik sementara penyelidikan belum selesai. Dalam hal ini, wacana bahwa Islam identik dengan terorisme terlanjur mengemuka. Malah jadi seperti mengikuti orkestrasi hawkish yang dipimpin A.S. pasca 9/11 (11 September 2001).

Bila dulu orang-orang berpenampilan Islami (berbaju koko & berjenggot misalnya) dihormati di tempat umum, kini malah dicurigai. Hal itu tampak misalnya dari tayangan di televisi, saat ada razia aparat keamanan justru kerap memprioritaskan pada orang-orang seperti ini. Alangkah baiknya di tengah kondisi bangsa yang terancam disintegrasi, perekonomian yang belum pulih, tarik-menarik kepentingan politik, persoalan seperti terorisme jangan dijadikan ‘komoditi’ bagi pihak-pihak tertentu.

Karena terorisme sebenarnya merupakan ekses atau akibat, maka akar atau sebab permasalahannya-lah yang harus dicari dan dituntaskan. Seperti di Rusia, peledakan bom justru sebagai akibat dari masalah dalam negerinya yang tidak selesai. Yaitu aspirasi rakyat di sebagian wilayahnya yang tidak dipenuhi pemerintah pusat. Maka, dari kejadian peledakan bom di Rusia, kita tahu bahwa apa pun bisa dijadikan latar belakang bagi tindakan terorisme. Bukan cuma dalil agama saja. 

[Tulisan ini dimuat di LifeSchool dan Kompasiana dengan sedikit perbedaan, 30 Maret 2010]


Minggu, 28 Maret 2010

Cinta dan Benci

Saya teringat suatu kali berkunjung ke rumah Bapak Ismail Marahimin bersama kekasih saya sewaktu kuliah dulu yang adalah mahasiswa beliau. Nama Ismail Marahaimin ini mungkin tak Anda kenal, namun bagi mahasiswa sastra Indonesia yang mengambil mata kuliah “Penulisan Populer”, tentu akan tahu karena beliaulah penulis buku teks standar ajar untuk mata kuliah tersebut. Pendeknya, beliau jago dalam hal menulis cerpen, novel dan sebangsanya.

Saat itu, iseng saya tanyakan pertanyaan ini: “Andaikata harus mengorbitkan seorang penulis baru, mana yang Bapak pilih: penulis yang tulisannya bagus namun orangnya tidak bapak sukai, atau sebaliknya penulis yang tulisannya biasa saja namun bapak sukai orangnya?” Jawabannya jujur, walau tidak saya duga. Beliau ternyata memilih yang kedua. Kalau beliau mau ‘membungkus’ jawabannya, atas nama obyektivitas dan prinsip keadilan, tentu akan memilih yang pertama.

Adil memang sulit. Seperti halnya saya gambarkan dalam tulisan hari Jum’at lalu di LifeSchool -blog pribadi saya- (klik di sini). Dan kesulitan kita berlaku adil kerap mewarnai kehidupan sehari-hari. Padahal, bila tidak berlaku adil, maka kita cuma punya pilihan sebaliknya, yaitu zalim. Tidak ada pilihan “tengah-tengah”.

Jakob Oetama saat menjawab pertanyaan peserta Kompasiana Monthly Discussion (Modis) hari Sabtu (27/3) lalu juga menyatakan prinsip bahwa di Kelompok Kompas Gramedia (KKG) tidak ada perlakuan kepada karyawan yang berdasarkan “like and dislike”. Meski dalam prakteknya, ia menyerahkan penilaian pada pihak lain di luar KKG. (untuk membaca hal lain yang beliau utarakan, baca tulisan saya di Kompasiana). Tentu saja, implementasi di lapangan tak mudah. Apalagi di bidang SDM, penilaian untuk pegawai kerapkali diserahkan kepada atasannya, yang tentu saja manusia. Dan sang atasan bisa jadi bertindak berdasarkan penilaian subyektifnya, yang didasari rasa suka atau tidak suka, cinta atau benci. Walau tentu ada formulir penilaian yang obyektif, hal itu kerapkali dikalahkan oleh perasaan ini. Bila suka, nilai bisa dikatrol. Sebaliknya bila benci, nilainya dijatuhkan.

Contoh dari kehidupan yang paling mudah justru datang dari kehidupan asmara. Ya, karena asmara identik dengan cinta yang menggelora (dalam istilah Erich Fromm disebut “amor”). Cinta ini akan membuat penampakan penampilan seseorang di mata yang mencintainya ibarat “tai kucing rasa coklat” (seperti lagunya alm. Gombloh). Ini membuat penilaian tidak lagi obyektif. Karena itu, di banyak perusahaan, pasangan suami istri dilarang bekerja di tempat yang sama. Bila ketemu jodohnya di kantor tersebut, salah satunya akan dipindah bagian atau malah diminta berhenti kerja. Ini untuk menghindari konflik kepentingan karena penilaian yang tak lagi obyektif tadi.

Itu berarti, cinta punya ekses negatif. Karena selama ini hampir semua lagu, novel, cerpen, film dan bentuk ekspresi seni lain tentang cinta seolah ia hanya berarti positif. Walau begitu, cinta tetap jelas berada berhadap-hadapan dengan benci di sisi lain. Bila cinta itu ibarat terang, benci itulah gelap. Karena bila membenci seseorang, maka segala yang ada di diri orang yang kita benci selalu jelek. Padahal, tidak mungkin ada manusia yang 100 % jelek. Karena kan katanya Sang Pencipta menciptakan manusia “dengan citra insaninya” (mengutip syair lagu Hey ciptaan Katon Bagaskara dan Adi Adrian), maka tentu tidak jelek sepenuhnya. Benci membuat kita memperlakukan orang lain seperti itu.

Maka, berusahalah menebarkan cinta -alih-alih menyuburkan benci- kepada sesama. Berlaku adil-lah, karena Tuhan menginginkan kita seperti “gambar dirinya” yang punya sifat Maha Adil.

[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana, 28 Maret 2010]

Sabtu, 27 Maret 2010

What Jakob Oetama “The Legend” Said…


Pemimpin Umum Harian Kompas Jacob Oetama/Admin (KompasImages/Kristianto Purnomo)
Jakob Oetama is the living legend. Not only for press or journalism in Indonesia, but also for Indonesia.

Itulah pandangan saya tentang beliau. Dan  pandangan itu cukup mendapatkan justifikasi saat bertemu beliau untuk kesekian kalinya, kali ini di Kompasiana Monthly Discussion (Modis) yang digelar di Hotel Santika-Jakarta Sabtu (27/3) pagi. Seorang Kompasianer yang hadir -Oom Jay- dan beberapa yang lain pun tak ragu menggelarinya “Guru Bangsa”.

Well, meski agak terlalu menyanjung dan melebih-lebihkan, namun boleh-boleh saja “titel” itu disematkan padanya. Satu perbedaan besar antara Jakob Oetama dengan Guru Bangsa lain yang sudah diakui rakyat Indonesia seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid ada dua: banyaknya pemikiran yang dijadikan buku yang mencerahkan dan pengikut. Untuk yang pertama, Pak J.O. -demikian beliau akrab dipanggil terutama di kalangan internal Kelompok Kompas Gramedia (KKG)- mengakuinya sendiri tadi pagi. Beliau mengatakan bahwa dirinya tak sempat-sempat menyelesaikan buku tentang pengalaman pribadinya. Meski saya tahu sudah ada beberapa buku tulisannya yang diterbitkan, misalnya Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus atau Perspektif Pers Indonesia, namun buku masterpiece dengan pemikiran utuh original sepertinya belum keluar dari otak brilyan beliau. Bisa jadi hal ini justru karena beliau sibuk menyejahterakan “pengikut”-nya, yaitu seluruh pegawai Kelompok Kompas Gramedia. Berbeda dengan Gus Dur atau Cak Nur, pengikut Pak J.O. bukanlah massa ormas atau lembaga nirlaba, tapi orang yang diberikannya mata pencaharian melalui perusahaan yang dimilikinya.

Ini pula yang membuatnya menjadi “the living legend” tadi. Di tengah-tengah kondisi bangsa dan dunia yang terus-menerus berubah, ternyata Kelompok Kompas Gramedia dengan harian Kompas sebagai barometernya mampu bertahan. Hal ini juga menjadi titik perhatian dalam paparannya tadi pagi. Beliau mengutarakan perjalanan Kompas sejak era Soekarno hingga saat ini melalui satu kata yang mewakili: “keringat”. Beliau menegaskan hal itu terutama kepada keluarganya dan keluarga besar Kompas. Koran terbesar yang kemudian juga jadi konglomerasi media terbesar di negeri ini bertahan bukan dengan modal besar, tapi dengan keringat.

Mengingat sejarahnya, pada 28 Juni 1965 bersama dengan I.J. Kasimo, Frans Seda, dan F.C. Palaunsuka, Jakob Oetama menggandeng P.K. Ojong (Peng Koen Auwjong) untuk mendirikan Yayasan Bentara Rakyat, setelah sebelumnya pada tahun 1963  menerbitkan majalah dua bulanan Intisari. Sebelum terjadinya peristiwa 30 September 1965, pengurus yayasan sempat menemui Presiden Soekarno dan beliau memberikan nama Kompas untuk harian yang akan diterbitkan. “Modal keringat” tadi benar-benar nyata karena harian Kompas didirikan dengan modal hanya Rp 100.000,- saja! Bahkan P.K. Ojong dikenang sebagai pemimpin yang justru rajin menjemput karyawan dengan Opel Caravannya.

Dalam hal hubungannya dengan P.K. Ojong ini, Jakob Oetama dalam diskusi tadi pagi mengibaratkan Pak Ojong lebih dekat (karakter) ke Mochtar Lubis, sementara dia sendiri mengaku lebih dekat ke Rosihan Anwar. Artinya, bila P.K. Ojong kerap memandang persoalan hitam-putih dan cenderung keras, Jakob Oetama justru melihatnya dalam perspektif hitam-putih-abu-abu. Dalam hal ini Pak J.O. mencontohkan saat rezim Orde Baru mengharuskan pimpinan Kompas menandatangani pernyataan pasca pelarangan terbit pada 21 Januari 1978, P.K. Ojong menolak, namun Pak J.O. membujuk dan menyatakan dirinyalah yang akan menandatangani. Kalau tidak begitu, tentu Kompas akan mati, bukan sekedar ‘mati suri’ lagi.

Karena “keringat” itulah, maka beliau lebih mengutamakan “keberlangsungan” usaha daripada membuat skenario untuk melestarikan “family business”. Ini menjawab pertanyaan saya kepada siapa usaha ini akan diwariskan, apakah kepada anak-anaknya atau diserahkan kepada profesional. Ini tentu menjelaskan komitmen kuat beliau kepada kesejahteraan “pengikutnya” tadi.

Beliau pun menekankan pada tiga hal yang dipandangnya mutlak harus dimiliki “pengikut” beliau, pegawai KKG, yaitu: all-out, kejujuran dan kerja keras. Ini pun menjawab pertanyaan saya tentang visi beliau dalam pengembangan SDM di KKG. Ini kembali menggarisbawahi komitmen beliau tentang pluralisme dan kesamaan kesempatan yang coba dikembangkannya. Sebagai koran yang kelahirannya dibidani Partai Katolik, Kompas tidak lantas anti agama lain atau berat sebelah. Terbukti, selama ini Kompas selalu berupaya menghadirkan jurnalisme yang “teduh”. Menurut Pak J.O., itu karena dalam dirinya terdapat nuansa abu-abu tadi, selain beliau menyenangi keselarasan dan ketenangan.

Komitmen kuat Kompas terhadap ke-Indonesia-an pun ditegaskan berkali-kali. Dalam hal ini, beliau memastikan Kompas tak akan meninggalkan pluralisme, yang dalam bahasa lain dapat kita beri nama “ke-bhinneka-an”. Tak heran, Kompas menolak memihak dalam setiap konflik yang terjadi di negeri ini, kecuali kepada kebenaran yang diinginkan rakyat. Sudah terbukti, Kompas adalah satu-satunya media massa yang bertahan terbit sejak zaman pemerintahan Presiden Pertama hingga sekarang Presiden ke-6. Kesiapan bertahan di masa depan juga ditunjukkan dengan pernyataan dukungan Pak J.O. kepada kemajuan teknologi media termasuk teknologi internet, yang antara lain memfasilitasi Kompasiana.

Menurutnya, “print media” tidak akan mati. Namun lebih luas lagi, beliau menggarisbawahi bahwa bukan sekedar media cetaknya yang tidak akan mati, tapi juga format jurnalisme tulisan -vis a vis jurnalisme gambar bergerak dari TV- justru akan berkibar. Ini menurutnya terbukti hanya di Eropa media cetak mengalami penurunan, tapi di Asia -seperti diwakili oleh koran Times of India yang beroplah 4 juta eksemplar per hari, sebagai bandingan Kompas saat ini sekitar 600.000 per hari- justru mengalami grafik menanjak.

Elektronik atau cetak, menurutnya hanya medium. Dan dengan adanya format blog seperti Kompasiana, membuatnya yakin bahwa format jurnalisme tulisan justru makin berkibar dengan memakai medium baru yaitu internet. KKG juga berniat akan kembali mendirikan stasiun televisi, setelah beberapa waktu lalu sempat “kehilangan” TV-7 (sekarang Trans-7) yang ternyata disesalinya. Apalagi jurnalisme tulisan membuat orang lebih memiliki waktu untuk meresapi dan merenungkan makna yang dibacanya, daripada sekedar dilihat seperti dalam televisi.

Pendek kata, Pak J.O. meyakinkan audiens bahwa Kompas akan senantiasa berupaya hadir dan mengikuti perkembangan zaman. Inovasi mengikuti kemajuan teknologi terus digelar. Demikian pula kehendak pembaca pun coba diakomodasi, meski tentu tak bisa seluruhnya. Maka, kata kunci dari apa yang dikatakan sang legenda adalah “kerja keras dan inovasi tanpa henti”, untuk memastikan Kompas bertahan di tengah laju perubahan. Terutama sekali menghadapi situasi “dunia yang rata” seperti digambarkan oleh Thomas L. Friedman dalam bukunya The World is Flat (2007), di tengah suasana menuju suatu perkampungan global atau Global Village, suatu istilah yang dipopulerkan oleh Marshall McLuhan.

Maka, bak film yang dibintangi Will Smith, sebenarnya Jakob Oetama telah pantas untuk mengatakan: “I am a Legend”. Tapi tak pernah dikatakannya, justru karena kerendah-hatian membuatnya tidak pernah mengatakan hal itu. Orang lainlah -termasuk saya- yang mengatakan dan mengakuinya.

Foto: KompasImages/Kristianto Purnomo

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Kompasiana, 27 Maret 2010]

Kamis, 18 Maret 2010

"Wis, jan tenane, dasar pulisi!"

Artikel ini bukan ditulis karena pas hari raya Nyepi saya kena terkam polisi -eh, oknum polisi- yang 'ngobyek' di jalan sekitar Taman Suropati, tapi lebih karena beberapa waktu lalu saya sempat bertamu ke rumah seorang teman. Teman ini bukan sembarang teman, karena dia anaknya seorang jenderal polisi yang bintangnya sama banyaknya dengan Pak Susno.
Beliau yang namanya baru saya sebut itu kan hari ini membeberkan tentang dugaan adanya "markus" di kepolisian. Ia memilih memberikan keterangan kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum daripada kepada tim bentukan Kepala Polri yang terdiri dari Divisi Propam dan Bareksrim Polri.
Saya lantas teringat teman saya itu. Bukan urusan "markus" memang, tapi urusan polisi -eh, oknum polisi- yang meminta uang alias pungli kepada suaminya. Itu karena suaminya yang direktur berbagai perusahaan memang sedang membutuhkan izin dari berbagai instansi termasuk kepolisian.
Sehabis menceritakan hal itu komentar teman saya itu miris dan ironis didengar:
"Kok bisa ya mereka minta ke suamiku? Padahal kan bapakku polisi juga gitu lho?"
(dalam hati saya menambahi, bukan cuma polisi kali, wong bintangnya juga berderet gitu ya?)
Kalau sudah begini, saya jadi ingat pada almarhum mbah saya yang purnawirawan polisi. Beliau kalau komentar soal polisi selalu diakhiri dengan kalimat:
"Wis, jan tenane, dasar pulisi!"

Catatan: Gambar diambil dari eggie.wordpress.com

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 18 Maret 2010]