Selasa, 30 Maret 2010

Merenungkan Bom di Rusia

Seorang rekan saya, asli Rusia namun kini tinggal di Finlandia, kemarin mengirim link via FaceBook. Link itu dari koran berbahasa Finlandia (kalau iseng mau lihat, klik di sini),  foto dan judulnya coba saya posting di sini. 
Tällaisia olivat metropommit: Rautaromua ja kiloja TNT:tä | Ulkomaat | Iltalehti.fi

Karena saya tidak mengerti bahasa Finlandia (Finnish), maka saya jelas tak mengerti arti berita itu. Tapi karena ada tulisan TNT (Tri Nitro Toluene) yang jelas merupakan bahan peledak, saya menduga ada ledakan di suatu tempat di negeri itu. Barulah tadi pagi saat koran langganan keluarga kami datang (di rumah kami berlangganan 5 jenis koran pagi), baru saya sadar apa arti berita itu.

Terjadi ledakan bom di stasiun kereta api di Rusia. Setidaknya 37 orang tewas dan 65 orang luka-luka (dari berita foto headline harian Kompas). Saya ikut berduka dan simpati pada para korban, semoga Tuhan mengampuni mereka. Menariknya, dalam berita yang dituliskan, otoritas keamanan Rusia sama sekali tidak menuding siapa pun sebagai pelaku bom bunuh diri tersebut.

Meski ini termasuk tindakan terorisme, tidak serta merta langsung ada tertuduh. Walau ada dugaan pelaku adalah dari kelompok perlawanan di Kaukasus Utara, tapi tidak ada secuil pun pernyataan dari pemerintah atau pun aparat keamanan yang mengatakan hal itu. Itu adalah dugaan wartawan. Aparat dan pemerintah menunggu ada pernyataan dari pihak yang mengklaim bertanggung-jawab atas ledakan itu.

Ada fakta-fakta yang digali pers dari ledakan itu. Seperti adanya dugaan pelakunya dua orang wanita, dan kemungkinan merupakan kelanjutan dari gerakan “Black Widow”. Namun isi beritanya -seperti saya baca di koran Indonesia- tidaklah menghakimi sebelum bukti-bukti nyata ditemukan. Ini agak berbeda dengan di Indonesia. Di mana seringkali dalam kasus semacam ini tuduhan pada pihak yang bertanggungjawab segera dilansir setelah terjadinya peledakan. Padahal, penyelidikan belum lagi dimulai karena masih membersihkan puing-puing dan memprioritaskan penyelamatan korban.

Hal paling menggelikan adalah pidato Presiden SBY seusai peledakan bom di J.W. Marriot 17 Juli 2009 lalu. Pernyataan pers resmi seorang Presiden ternyata didasari info yang tidak akurat, bahkan foto yang ditunjukkan adalah foto lama. Ini menjadi bulan-bulanan lawan-lawan politiknya. Sehingga kerja keras aparat keamanan sepertinya menjadi sia-sia. Padahal, tentunya untuk mengungkap kasus terorisme bukan kerja mudah dan perlu waktu lama. Demikian pula dalam kasus terorisme akhir-akhir ini. Cerita lengkap segera beredar di media massa kita. Sumbernya siapa lagi kalau bukan dari aparat keamanan.

Bagi analis yang kritis, tentu akan mengernyitkan dahi, mengapa aparat keamanan seakan begitu mengenali musuhnya? Apakah mereka sudah mahir menerapkan filosofi perang Sun-Tzu: “kenali musuhmu seperti engkau mengenali dirimu sendiri?” Pertanyaan seperti dilontarkan Hidayat Nur Wahid tentu akan terlintas: kalau aparat memang sudah tahu tentang kelompok teroris yang berlatih di Aceh -saya tidak mau mengulang kesalahan banyak media yang menggampangkan dengan menyebut mereka “teroris Aceh”, padahal sebagian besar justru berasal dari luar Aceh-, kenapa proses penggeberekannya seakan ditepatkan dengan momentum Presiden SBY berkunjung ke Australia? Mengapa tidak dari dulu-dulu saja? (berita baca di sini).Pertanyaan ini sampai sekarang belum terjawab dan seakan dibiarkan menjadi misteri.

Satu hal yang bisa dipelajari dari peledakan bom di Rusia adalah aparatnya benar-benar bisa memisahkan motivasi para pembom. Meski ada dugaan bom dilakukan oleh kelompok di Kaukasus Utara, termasuk dari Chechnya yang mayoritas Islam, namun motivasinya bukanlah agama. Kelompok tersebut adalah kelompok perjuangan separatis, yang ingin menjadikan negara mereka merdeka kembali, lepas dari Federasi Rusia. Karena memang sebagai federasi, sebenarnya baik Federasi Rusia maupun ‘orangtua’nya yaitu Uni Sovyet terdiri dari negara-negara berdaulat yang bergabung. Tapi setelah bergabung, tampaknya kedaulatan mereka kurang diakomodir oleh negara induk terbesar sebagai pemimpin federasi. Maka, pembom bunuh diri di Rusia itu meski mungkin dilatari pula pada keyakinan akan mati syahid, namun motivasinya adalah separatis untuk mendirikan negara merdeka.

Sementara, kelompok teroris di Indonesia -apalagi yang sekarang katanya berlatih di Aceh- agak tidak jelas motivasinya, tapi lantas berimbas pada dimarginalkannya Islam kembali seperti pada masa Komando Jihad-nya Ali Moertopo. Imbas yang seperti ini yang harus dikurangi agar tidak terjadi friksi antar kelompok masyarakat secara horizontal. Caranya tentu pemerintah terutama aparat keamanan harus menghadirkan bukti nyata, alih-alih terburu-buru melansir pernyataan kepada publik sementara penyelidikan belum selesai. Dalam hal ini, wacana bahwa Islam identik dengan terorisme terlanjur mengemuka. Malah jadi seperti mengikuti orkestrasi hawkish yang dipimpin A.S. pasca 9/11 (11 September 2001).

Bila dulu orang-orang berpenampilan Islami (berbaju koko & berjenggot misalnya) dihormati di tempat umum, kini malah dicurigai. Hal itu tampak misalnya dari tayangan di televisi, saat ada razia aparat keamanan justru kerap memprioritaskan pada orang-orang seperti ini. Alangkah baiknya di tengah kondisi bangsa yang terancam disintegrasi, perekonomian yang belum pulih, tarik-menarik kepentingan politik, persoalan seperti terorisme jangan dijadikan ‘komoditi’ bagi pihak-pihak tertentu.

Karena terorisme sebenarnya merupakan ekses atau akibat, maka akar atau sebab permasalahannya-lah yang harus dicari dan dituntaskan. Seperti di Rusia, peledakan bom justru sebagai akibat dari masalah dalam negerinya yang tidak selesai. Yaitu aspirasi rakyat di sebagian wilayahnya yang tidak dipenuhi pemerintah pusat. Maka, dari kejadian peledakan bom di Rusia, kita tahu bahwa apa pun bisa dijadikan latar belakang bagi tindakan terorisme. Bukan cuma dalil agama saja. 

[Tulisan ini dimuat di LifeSchool dan Kompasiana dengan sedikit perbedaan, 30 Maret 2010]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar