Sabtu, 27 Maret 2010

What Jakob Oetama “The Legend” Said…


Pemimpin Umum Harian Kompas Jacob Oetama/Admin (KompasImages/Kristianto Purnomo)
Jakob Oetama is the living legend. Not only for press or journalism in Indonesia, but also for Indonesia.

Itulah pandangan saya tentang beliau. Dan  pandangan itu cukup mendapatkan justifikasi saat bertemu beliau untuk kesekian kalinya, kali ini di Kompasiana Monthly Discussion (Modis) yang digelar di Hotel Santika-Jakarta Sabtu (27/3) pagi. Seorang Kompasianer yang hadir -Oom Jay- dan beberapa yang lain pun tak ragu menggelarinya “Guru Bangsa”.

Well, meski agak terlalu menyanjung dan melebih-lebihkan, namun boleh-boleh saja “titel” itu disematkan padanya. Satu perbedaan besar antara Jakob Oetama dengan Guru Bangsa lain yang sudah diakui rakyat Indonesia seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid ada dua: banyaknya pemikiran yang dijadikan buku yang mencerahkan dan pengikut. Untuk yang pertama, Pak J.O. -demikian beliau akrab dipanggil terutama di kalangan internal Kelompok Kompas Gramedia (KKG)- mengakuinya sendiri tadi pagi. Beliau mengatakan bahwa dirinya tak sempat-sempat menyelesaikan buku tentang pengalaman pribadinya. Meski saya tahu sudah ada beberapa buku tulisannya yang diterbitkan, misalnya Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus atau Perspektif Pers Indonesia, namun buku masterpiece dengan pemikiran utuh original sepertinya belum keluar dari otak brilyan beliau. Bisa jadi hal ini justru karena beliau sibuk menyejahterakan “pengikut”-nya, yaitu seluruh pegawai Kelompok Kompas Gramedia. Berbeda dengan Gus Dur atau Cak Nur, pengikut Pak J.O. bukanlah massa ormas atau lembaga nirlaba, tapi orang yang diberikannya mata pencaharian melalui perusahaan yang dimilikinya.

Ini pula yang membuatnya menjadi “the living legend” tadi. Di tengah-tengah kondisi bangsa dan dunia yang terus-menerus berubah, ternyata Kelompok Kompas Gramedia dengan harian Kompas sebagai barometernya mampu bertahan. Hal ini juga menjadi titik perhatian dalam paparannya tadi pagi. Beliau mengutarakan perjalanan Kompas sejak era Soekarno hingga saat ini melalui satu kata yang mewakili: “keringat”. Beliau menegaskan hal itu terutama kepada keluarganya dan keluarga besar Kompas. Koran terbesar yang kemudian juga jadi konglomerasi media terbesar di negeri ini bertahan bukan dengan modal besar, tapi dengan keringat.

Mengingat sejarahnya, pada 28 Juni 1965 bersama dengan I.J. Kasimo, Frans Seda, dan F.C. Palaunsuka, Jakob Oetama menggandeng P.K. Ojong (Peng Koen Auwjong) untuk mendirikan Yayasan Bentara Rakyat, setelah sebelumnya pada tahun 1963  menerbitkan majalah dua bulanan Intisari. Sebelum terjadinya peristiwa 30 September 1965, pengurus yayasan sempat menemui Presiden Soekarno dan beliau memberikan nama Kompas untuk harian yang akan diterbitkan. “Modal keringat” tadi benar-benar nyata karena harian Kompas didirikan dengan modal hanya Rp 100.000,- saja! Bahkan P.K. Ojong dikenang sebagai pemimpin yang justru rajin menjemput karyawan dengan Opel Caravannya.

Dalam hal hubungannya dengan P.K. Ojong ini, Jakob Oetama dalam diskusi tadi pagi mengibaratkan Pak Ojong lebih dekat (karakter) ke Mochtar Lubis, sementara dia sendiri mengaku lebih dekat ke Rosihan Anwar. Artinya, bila P.K. Ojong kerap memandang persoalan hitam-putih dan cenderung keras, Jakob Oetama justru melihatnya dalam perspektif hitam-putih-abu-abu. Dalam hal ini Pak J.O. mencontohkan saat rezim Orde Baru mengharuskan pimpinan Kompas menandatangani pernyataan pasca pelarangan terbit pada 21 Januari 1978, P.K. Ojong menolak, namun Pak J.O. membujuk dan menyatakan dirinyalah yang akan menandatangani. Kalau tidak begitu, tentu Kompas akan mati, bukan sekedar ‘mati suri’ lagi.

Karena “keringat” itulah, maka beliau lebih mengutamakan “keberlangsungan” usaha daripada membuat skenario untuk melestarikan “family business”. Ini menjawab pertanyaan saya kepada siapa usaha ini akan diwariskan, apakah kepada anak-anaknya atau diserahkan kepada profesional. Ini tentu menjelaskan komitmen kuat beliau kepada kesejahteraan “pengikutnya” tadi.

Beliau pun menekankan pada tiga hal yang dipandangnya mutlak harus dimiliki “pengikut” beliau, pegawai KKG, yaitu: all-out, kejujuran dan kerja keras. Ini pun menjawab pertanyaan saya tentang visi beliau dalam pengembangan SDM di KKG. Ini kembali menggarisbawahi komitmen beliau tentang pluralisme dan kesamaan kesempatan yang coba dikembangkannya. Sebagai koran yang kelahirannya dibidani Partai Katolik, Kompas tidak lantas anti agama lain atau berat sebelah. Terbukti, selama ini Kompas selalu berupaya menghadirkan jurnalisme yang “teduh”. Menurut Pak J.O., itu karena dalam dirinya terdapat nuansa abu-abu tadi, selain beliau menyenangi keselarasan dan ketenangan.

Komitmen kuat Kompas terhadap ke-Indonesia-an pun ditegaskan berkali-kali. Dalam hal ini, beliau memastikan Kompas tak akan meninggalkan pluralisme, yang dalam bahasa lain dapat kita beri nama “ke-bhinneka-an”. Tak heran, Kompas menolak memihak dalam setiap konflik yang terjadi di negeri ini, kecuali kepada kebenaran yang diinginkan rakyat. Sudah terbukti, Kompas adalah satu-satunya media massa yang bertahan terbit sejak zaman pemerintahan Presiden Pertama hingga sekarang Presiden ke-6. Kesiapan bertahan di masa depan juga ditunjukkan dengan pernyataan dukungan Pak J.O. kepada kemajuan teknologi media termasuk teknologi internet, yang antara lain memfasilitasi Kompasiana.

Menurutnya, “print media” tidak akan mati. Namun lebih luas lagi, beliau menggarisbawahi bahwa bukan sekedar media cetaknya yang tidak akan mati, tapi juga format jurnalisme tulisan -vis a vis jurnalisme gambar bergerak dari TV- justru akan berkibar. Ini menurutnya terbukti hanya di Eropa media cetak mengalami penurunan, tapi di Asia -seperti diwakili oleh koran Times of India yang beroplah 4 juta eksemplar per hari, sebagai bandingan Kompas saat ini sekitar 600.000 per hari- justru mengalami grafik menanjak.

Elektronik atau cetak, menurutnya hanya medium. Dan dengan adanya format blog seperti Kompasiana, membuatnya yakin bahwa format jurnalisme tulisan justru makin berkibar dengan memakai medium baru yaitu internet. KKG juga berniat akan kembali mendirikan stasiun televisi, setelah beberapa waktu lalu sempat “kehilangan” TV-7 (sekarang Trans-7) yang ternyata disesalinya. Apalagi jurnalisme tulisan membuat orang lebih memiliki waktu untuk meresapi dan merenungkan makna yang dibacanya, daripada sekedar dilihat seperti dalam televisi.

Pendek kata, Pak J.O. meyakinkan audiens bahwa Kompas akan senantiasa berupaya hadir dan mengikuti perkembangan zaman. Inovasi mengikuti kemajuan teknologi terus digelar. Demikian pula kehendak pembaca pun coba diakomodasi, meski tentu tak bisa seluruhnya. Maka, kata kunci dari apa yang dikatakan sang legenda adalah “kerja keras dan inovasi tanpa henti”, untuk memastikan Kompas bertahan di tengah laju perubahan. Terutama sekali menghadapi situasi “dunia yang rata” seperti digambarkan oleh Thomas L. Friedman dalam bukunya The World is Flat (2007), di tengah suasana menuju suatu perkampungan global atau Global Village, suatu istilah yang dipopulerkan oleh Marshall McLuhan.

Maka, bak film yang dibintangi Will Smith, sebenarnya Jakob Oetama telah pantas untuk mengatakan: “I am a Legend”. Tapi tak pernah dikatakannya, justru karena kerendah-hatian membuatnya tidak pernah mengatakan hal itu. Orang lainlah -termasuk saya- yang mengatakan dan mengakuinya.

Foto: KompasImages/Kristianto Purnomo

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Kompasiana, 27 Maret 2010]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar