Rabu, 20 Januari 2010

Suami, Pemuka Agama dan Tuhan

 


Semalam, seorang karyawati saya “curhat” tentang keluarganya. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak bahagia dalam kehidupan pernikahannya. Menurut pengamatan saya dan partner saya yang berlatar belakang psikologi, sejatinya yang bersangkutan sudah mengalami “KDRT psikis”. Artinya, ia memang tidak ditampar atau semacamnya, tapi direndahkan derajatnya sebagai istri dan manusia dengan kata-kata dan perbuatan yang menghina.

Apa sebabnya?

Sang suami merasa begitu dekatnya dengan Tuhan, sehingga sang istri harus “patuh bongkokan” kepadanya.  Setiap perkataan dan tindakannya adalah benar karena sang suami merasa dialah yang paling tahu tentang Tuhan dan hukum-hukumnya. Hal itu diterapkan di setiap konteks kehidupan sehingga sang istri senantiasa berada dalam posisi “selalu salah”. Ya, siapa lagi yang Maha Benar selain Tuhan kan?

Peran sebagai “wakil Tuhan” atau “juru bicara Tuhan” inilah yang kerap diambil pula oleh para pemuka agama di bumi, dari agama apa pun. Sayangnya, kerapkali kekuasaaan Tuhan yang diambil hanyalah yang berupa kekuasaan untuk bertindak. Artinya, sifat Tuhan yang direnggut hanyalah yang berupa Maha Kuasa, Maha Raja, Maha Penentu, Maha Benar, Hakim Tertinggi, dan semacamnya. Akan tetapi sifat Tuhan yang lain dimana di dalamnya terdapat dimensi welas asih justru tidak diminati. Sebutlah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Memelihara dan sebagainya. Bisa jadi ini manusiawi, apalagi merujuk pada Nietzsche, tiap manusia memang memiliki “kehendak untuk berkuasa”.

Dalam konteks inilah kemudian saya merasa suami karyawati saya itu dan sementara pemuka agama yang mengklaim mewakili umat lantas bisa diletakkan dalam keranjang yang sama. Mereka sama-sama merasa berhak untuk mengatur hidup orang lain. Bila suami karyawati saya itu merasa berhak mengatur peri kehidupan istrinya hingga ke detail terkecil “atas nama Tuhan”, maka para pemuka agama beranjak ke tataran lebih luas: merasa berhak mengatur peri kehidupan umatnya. Mereka merasa perlu dan berhak mengatur peri kehidupan umatnya hingga ke masalah rambut dan cara berpakaian. Karena mereka yakin itu bagian dari kebenaran yang dianut.

Masalahnya, kita tahu bahwa kebenaran itu relatif. Konon, hanya kebenaran Tuhan yang mutlak. Namun pertanyaan filosofis akan mengemuka lagi: Tuhan yang mana atau Tuhan-nya siapa yang benar?

Artinya, dipandang dari kacamata hermeneutika, kita harus memperlakukan setiap dalil agama sebagai teks belaka. Sementara dalil agama itulah yang dijadikan landasan bagi para pemuka agama untuk menetapkan hukum. Dalil itu merupakan buah karya manusia dan jelas relatif kebenarannya. Sayangnya, kerapkali dalil itu diperlakukan sesuci Tuhan sendiri. Padahal, kerapkali dalil jelas-jelas dibuat oleh manusia. Dalam hal ini, kemudian para pembuat dalil memposisikan dirinya sebagai yang paling tahu mengenai kehendak Tuhan. Padahal, sebagai teks, dalil itu paling jauh merupakan tafsir dari kehendak Tuhan saja. Dus, itu belum tentu benar. Akan tetapi, dengan studi dan prasyarat ketat, pada akhirnya akan tercapai konsensus tentang adanya hukum yang harus ditetapkan. Meminjam istilah Jean Jacques Rousseau, momentum itu kemudian akan menjadi “kontrak sosial”. Dan “kontrak sosial” itu kemudian akan menjadi sesuatu yang mengikat dan diikuti umat. Sama halnya dengan hukum negara, meski tidak sempurna, toh tetap harus diikuti oleh warga negara bersangkutan.

Namun ada perbedaan karakter antara hukum negara dengan hukum agama, yaitu pada dalil tadi. Dalil hukum agama dinisbahkan kepada Tuhan, maka lantas dianggap sebagai mutlak. Dan para pelaksananya terutama para pemuka agama merasa pula sebagai bagian dari kemutlakan itu.

Saya lantas teringat film Bruce Almighty (2003) yang pemeran utamanya Jim Carrey. Di situ, Bruce ‘dipinjamkan’ kekuatan Tuhan, namun ternyata, ia menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan untuk skala yang sangat kecil, seperti demi menarik hati kekasihnya saat kencan, Bruce menarik bulan mendekat ke bumi. Akibatnya, terjadi kekacauan cuaca termasuk terjadi tsunami di Jepang. Saat ditegur Tuhan (diperankan oleh Morgan Freeman), barulah Bruce sadar bahwa ia telah memilih sifat Tuhan yang menyenangkan saja. Beban tanggung-jawab sebagai Tuhan Yang Maha Pemelihara, Maha Adil dan sifat-sifat yang seperti ‘kewajiban’ diabaikannya.

Apabila ‘gaya’ Bruce itu diterapkan dalam kehidupan nyata, niscaya akan terjadi ‘musibah’. Ada korban yang akan jatuh. Dalam rumah tangga karyawati saya di atas, korbannya adalah sang istri dan anak-anaknya. Sementara dalam konteks para pemuka agama yang merasa mewakili Tuhan tadi, tentu korbannya adalah umat, baik yang beragama sama dengan para pemuka agama maupun yang tidak. Karena dalam konteks bangsa, sesungguhnya kita semua berada dalam satu bahtera rumah tangga yang sama, seperti halnya suami dan istri yang semestinya saling mendukung dalam menerjemahkan kehendak Tuhan.

[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana, 20 Januari 2010]

Selasa, 12 Januari 2010

Curcol alias Curhat Colongan

 
Warning! Curcol alert!

Itu tulisan peringatan yang biasa saya cantumkan saat hendak menulis di blog pribadi saya bila isinya berkaitan dengan permasalahan pribadi yang hendak saya sharing sebagai pelajaran bagi semua. Ini saya lakukan karena blog saya adalah blog yang berisikan aneka hal yang bisa kita pelajari dari kehidupan. Makanya, namanya Life School alias sekolah kehidupan. Namun, saya tak ingin orang merasa membuang waktu membaca tulisan saya yang nyatanya cuma berisi curhat alias curahan hati, istilah populer untuk “mengeluh” yang kalau dihaluskan bisa juga berarti “berbagi”. Saya tak ingin mereka kecewa atau “illfeel”. Karena saya juga merasakan hal ini saat membaca blog atau note di FaceBook dari beberapa teman yang isinya cuma “curcol” belaka. Misalnya ia cerita sedang sedih karena ikan koinya mati. Yeah, kita memang bisa sok simpati. Tapi jujur saja, who the hell will really care about his/her fish actually? :D

Akan tetapi, saya berupaya memberikan suatu sharing yang dapat berguna buat semua. Minimal, ada hikmah atau penyadaran yang bisa diperoleh dengan membacanya. Misalnya saya bercerita bagaimana pengalaman saya saat menjadi tim sukses salah satu pasangan calon presiden/wakil presiden dalam Pilpres 2009 lalu (baca lagi artikelnya di sini). Tentu ini menarik karena tidak semua orang memiliki kesempatan tersebut. Hanya saja terkadang ada luapan emosi di dalamnya seperti kesulitan saya mendapatkan akses ke tim pendukung lain, padahal sesama pendukung capres/cawapres yang sama. Di sisi ini saya melakukan “curcol” yang bisa jadi tidak semua orang suka membacanya. Maka, terkadang saya merasa perlu melakukan “warning”.

Dalam dunia nyata, seringkali saya mendapati orang-orang yang saya temui juga kerap melakukan “curcol”. Padahal, tak jarang mereka baru bertemu saya untuk kali pertama. Dan seringnya juga mereka melakukan itu tanpa permisi. Misalnya dalam perjalanan melakukan survei ke suatu lokasi, pegawai dari klien yang mengantarkan saya bercerita tentang anaknya yang nakal. Walah, padahal kami sedang bekerja. Dan rupanya itu sering terjadi di Indonesia. Masalah pribadi yang termasuk ranah privat malah diumbar sendiri oleh yang bersangkutan ke orang lain yang berarti melemparkannya ke ranah publik.

Padahal, di luar negeri orang mati-matian mempertahankan privasinya. Apalagi kalau mereka orang termasyhur. Tapi di sini, malah sepertinya ‘berlomba’ agar orang lain mengetahui masalah pribadi mereka. Dan itu kerapkali juga dilakukan melalui blog.

Saya bukan tak pernah melakukan itu. Mungkin malah sering. Tapi saya mencoba tidak “curcol” ke sembarang orang. Kalau pun saya melakukannya melalui tulisan di blog yang jelas ranah publik, tentu saya berharap agar ada manfaatnya bagi orang lain. Tapi kalau begitu pribadinya ya saya akan cari waktu bertemu dengan sahabat untuk “curhat beneran” yang bukan colongan. Artinya, saya sudah minta izin kepada yang bersangkutan untuk curhat dan bukan ‘nyolong’ seperti pegawai klien saya tadi. Karena kalau dicolong kan jelas kita mengambil hak orang lain toh? Itu berarti kita zalim. Makanya ,saya berusaha sedapat mungkin tidak curcol. Meminjam lirik lagu “Begadang”-nya Bang Rhoma Irama, ia berkata “jangan begadang kalau tak ada perlunya”. Maka juga jangan “curcol” kalau tak ada manfaatnya. Begitu…

[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana, 12 Januari 2010]

Sabtu, 09 Januari 2010

Headline Kompasiana & Google Search Rank

being-kompasiana-headline-google-search

Dua hari lalu, tepatnya hari Kamis (7/1) tulisan saya yang mengulas mengenai buku ‘tandingan’ atas buku George Junus Aditjondro diposting di Kompasiana.com. Tanpa dinyana, cuma dalam hitungan beberapa menit ternyata tulisan tersebut dianggap pantas untuk ditempatkan sebagai headline di blog milik situs portal berita terbesar di Indonesia tersebut.

Sebagai blog yang merupakan bagian inheren dari situs Kompas.com sebagai media terbesar di tanah air, Kompasiana memang lebih baru. Blog ini baru didirikan pada 22 Oktober 2008. Jumlah pengunjung blog site ini seperti ditulis Pepih Nugraha -admin Kompasiana- menurut Google Analytics terhitung sejak 28 Desember 2008 hingga 27 Januari 2009 sebanyak 125.542 dengan jumlah halaman yang dibaca 228.980 (klik di sini). Kalau dirata-rata, per hari pengunjung blog Kompasiana dikunjungi 4.000 kali. Saya tidak bilang 4.000 orang karena jumlah hits dihitung dari jumlah kunjungan ke halaman (page) tertentu. Sehingga, satu orang dari satu alamat I.P. (Internet Protocol) bisa berkunjung berkali-kali. Walau menurut tulisan Pepih ada 92.160 unique visitor -pengunjung tetap yang memang selalu membuka dan membaca Kompasiana- namun tetap saja itu merupakan hitungan dari alamat I.P. Selain adanya proxy, seseorang mungkin saja mengakses  dari berbagai tempat. Maka, angka unique visitors pun tetap hanya bisa dihitung sebagai angka pengakses per alamat I.P., bukan sebagai orang.

Angka besar ini penting apalagi bagi sebuah situs internet yang bertujuan promosi. Walau blog bersifat social community site, namun tingginya hits menunjukkan makin pentingnya blog tersebut bagi para web surfer. Makin tinggi hits suatu situs, baik itu web site atau blog site, maka makin tinggi pula popularity rank-nya. Dengan demikian kans untuk terindeks di urutan atas mesin pencari makin tinggi.

Saya pun penasaran mengecek google search rank atas tulisan saya tersebut. Karena Kompasiana sudah terindeks di google, maka pasti dalam hitungan detik semua tulisan di sana akan terindeks pula di google. Benar saja, dengan kata kunci (keyword): “resensi hanya fitnah” (”hanya fitnah” adalah dua kata awal dari judul buku tandingan tersebut. Baca postingan hari Kamis kemarin di sini), tulisan saya sudah terindeks di google, mesin pencari paling populer dan terbanyak digunakan di jagat maya.

Hanya saja saya agak heran, kenapa tautan (link) atas tulisan saya tersebut hanya berada di peringkat keempat (lihat gambar yang dilingkari merah)? Ternyata setelah saya cermati, ketiga tautan lain di atas tautan tulisan saya ternyata cuma tautan pemancing. Ini adalah trik yang lazim digunakan dalam SEO (Search Engine Optimization). Dengan algoritma khusus, software mencari keyword yang sedang banyak digunakan web surfer. Lantas, keyword tadi segera dijadikan tautan di situs yang sebenarnya hanya berfungsi sebagai landing page. Kalau pengunjung mendatangi situs-situs itu, cuma akan mendapati situs kosong berisi aneka tautan belaka. Kebanyakan tautan justru iklan yang isinya menawarkan aneka program “cepat kaya tanpa kerja”. Karena efektifnya software tersebut, mereka mampu memanfaatkan glitch yang terdapat di search engine bot.

Saya pun mengurut dada. Kini mencari uang tampaknya seperti menghalalkan segala cara. Termasuk melakukan penipuan melalui teknologi canggih seperti website. Pengunjung yang tertipu mendatangi situs pemancing tadi untuk mencari tulisan tertentu, diharapkan mengklik tautan lain yang akan berujung pada situs yang menawarkan program “cepat kaya tanpa kerja” tadi. Apalagi di banyak negara, ranah maya ini belum masuk jangkauan hukum secara memadai. Indonesia walau punya UU ITE, jelas masih jauh dari mampu untuk menjerat “kejahatan terselubung” semacam ini.

Padahal, fungsi SEO sejatinya mulia. Ia merupakan alat pemasaran di dunia maya, sebagai bagian dari viral marketing. Namun, karena jatuh ke tangan para ‘bandit maya’, maka alat itu pun berubah jadi berbahaya. Karena itu, bila mencari tulisan dengan mesin pencari, perhatikan benar kemana tautan itu berlabuh. Hanya klik jika tautannya ke situs terpercaya (ditandai dengan tulisan tautan berupa http://www……… berwarna biru dengan font lebih kecil di bawah penjelasan isi judul yang didapat mesin pencari). Seringkali situs yang cuma situs pemancing berciri ada kata “money”, “click”, “SEO”, “rating”, atau semacamnya. Maka, dalam kasus tulisan postingan saya di Kompasiana, sejatinya tulisan saya berada di rank pertama dalam google search di atas. Karena tiga tautan lain di atas tautan tulisan saya cuma landing page kosong. Abal-abal belaka!

[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 9 Januari 2010]

Kamis, 07 Januari 2010

Hanya Fitnah & Cari Sensasi: George Revisi Buku (Resensi/Ulasan Pribadi)

Kalau meresensi buku ini, sebenarnya lucu. Kenapa? Karena isi buku ini sebenarnya hanyalah resensi. Jadinya, ya resensi atas resensi. Memang, menurut penulisnya sendiri Setiyardi Negara saat launching kemarin, mulanya tulisannya memang resensi. Tapi karena panjang lantas dijadikan buku. Rupanya, buku itu dimaksudkan sebagai jawaban atau bantahan “tidak resmi” atas buku George Junus Aditjondro yang kontroversial: Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Bank Century (resensi bisa klik di sini). Sebabnya buku ini ditulis oleh seorang wartawan, bukan dari pihak yang merasa dirugikan akibat penulisan buku George, walau saat peluncuran penulisnya didampingi oleh Direktur Riset & Publikasi Akbar Tandjung Institute Alfan Alfian. Dalam kata pengantarnya di halaman 4, penulis buku ini menyatakan jelas maksud ini: “Secara singkat, buku ini ingin memberikan sudut pandang berbeda atas buku karya George. Saya menilai George terlalu gegabah dalam menarik kesimpulan hanya berdasar data sekunder yang belum diverifikasi. Secara serampangan dia menganggap sumber informasinya, yang berupa kliping media massa yang masih sumir, sebagai kebenaran.”

Kalau buku George dibilang tidak bermutu oleh sebagian kalangan, saya tidak tahu musti memakai kata apa untuk menilai isi buku ini. Sebagai resensi, penulisnya memang cukup awas dalam mengamati halaman per halaman buku yang diresensinya. Akan tetapi, sebagai sebuah buku, apalagi dimaksudkan sebagai “jawaban” atas buku lain, buku setebal hanya 31 halaman ini sangat jauh dari memadai. Saya sampai tertawa saat membaca isi buku ini (mohon maaf saya ilustrasikan dengan foto di atas :D ). Walau saya harus mengacungkan jempol atas kemasan lux buku ini. Tidak hanya dicetak di atas kertas art paper 120 gr, tapi juga seluruh halamannya berwarna! Informasi yang saya dapat buku ini akan dijual seharga Rp 15.000,00 per edisi. Menjadi pertanyaan bagi saya karena ada statement dari penulis buku ini bahwa ia membuat buku untuk cari untung. Secara finansial, apalagi dengan rabat toko buku sebesar 35 %, rasanya kecil kemungkinan ada keuntungan dari penjualan buku ini. Malah, bisa jadi defisit. So, pertanyaannya, dari mana defisit itu ditutup? Apalagi penulis buku ini sekaligus adalah pimpinan penerbit buku ini sendiri atau istilahnya “self publishing”. Hebat!

Sekarang, mari kita lihat isi buku ini.

Dimulai dengan prolog yang berupa kronologis penerbitan buku karya George yang dipaparkan dalam bentuk narasi, bukan pointers. Cukup rinci walau penulis buku ini justru kembali mengulang kesalahan George, banyak mengutip dari media. Satu contoh dari halaman 6, dituliskan pendapat Amien Rais tentang buku ini: “Seperti dikutip berbagai media, mantan Ketua MPR RI ini mengaku…”. Kata “seperti dikutip berbagai media” pun sulit diverifikasi, media yang mana? Hanya saja, untuk kredit foto, saya acungkan jempol bagi penulisnya karena ia dengan gentle menyebutkan sumbernya yang semuanya dari situs internet.

Bagian berikutnya setelah prolog diberi judul “Fenomena Isi Buku”. Setelah mengawali kalimatnya di bagian ini dengan kembali menegaskan bahwa buku George “tidak didukung data dan fakta yang akurat”, penulis cukup cermat merangkum adanya tiga fenomena dalam buku George (p.10):

  1. Tudingan jaringan bisnis dan politik Presiden dan keluarganya.
  2. Tudingan pemanfaatan jaringan, untuk pemenangan Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009.
  3. Tudingan keterkaitan jaringan dengan dengan kasus Bank Century.

Sayangnya, setelah cukup cermat membuat pointers tadi, dalam bagian selanjutnya yaitu “Meninjau Isi”, penulis tidak membangun argumen jawaban atau bantahan atas buku George yang dianggapnya “hanya bersumber pada data sekunder belaka” dengan data lagi. Ia hanya mengulang-ulang berbagai kalimat senada seperti kalimat barusan. Misalnya, “Entah dari mana George tahu tentang uang simpanan Boedi Sampoerna dan Hartati Moerdaya di Bank Century?” (p. 12.), atau “Penulis bahkan tidak melampirkan sumber referensi dari laporan tersebut. Sehingga informasi ini sama sekali tidak dapat dipercaya. Tingkat distorsi atas data ini sangat kuat.” (p. 13). Intinya penulis menyerang banyak digunakannya kalimat hipotesis dalam buku George, yang menurutnya diakibatkan oleh ketidakyakinannya pada opininya sendiri.

Menurut hemat saya, bila memang buku ini hendak dijadikan jawaban atau bantahan yang lebih “ilmiah” daripada buku George, semestinya ketiadaan atau kekurangan data dalam buku George dibalas dengan data. Misalnya untuk pernyataan di halaman 12 yang saya kutip di atas, ia menuliskan “berdasarkan data yang diperoleh dari Divisi Pelayanan Nasabah Bank Century seperti ditunjukkan oleh Mr.X selaku kepala divisinya kepada penulis, uang simpanan Boedi Sampoerna di bank tersebut hanya 18 juta dollar saja.” Dengan begitu, maka sontak bangunan argumen prasangka George akan runtuh berantakan. Karena tidak ada data tandigan, maka keseluruhan buku cuma seolah hanya mengatakan satu hal saja: “George bohong! Tidak ada data valid untuk isi bukunya!”

Bahkan tanpa disadarinya, penulis terkesan menulis buku ini agak tergesa-gesa sehingga gaya George pun juga dipakainya. Misalnya di halaman 19-20 ia melakukan bantahan terhadap “keterkaitan promosi Batik Allure dengan Ibu Negara Any Yudhoyono” dengan kalimat “Publik tahu, Allure Batik memulai suksesnya berawal dari sebuah garasi di Kawasan Simpruk, Jakarta. Modal awalnya Rp100juta”. Wait a minute, publik mana yang tahu soal Allure Batik? Saya saja yang merasa cukup “beredar” baru tahu soal Allure Batik dari buku George. Meski ada kalimat “Begitu Ade Kartika, Wakil Direktur sekaligus co-owner Allure Batik bercerita (p.20) yang menandakan penulis melakukan wawancara, namun disayangkan ada asumsi yang terkesan pembelaan bertubi-tubi. Coba baca kalimat berikut: “Bukankah tugas setiap warga negara, apalagi sebagai Ibu Negara untuk mempromosikan karya anak bangsa. Batik jelas merupakan milik bangsa Indonesia. Dan setiap produsen yang ingin mempromosikan barang dagangannya, pasti akan menggunakan bintang iklan yang layak jual. Ini teori promosi yang sederhana. kalau ada produk yang membutuhkan ikon atau bintang iklan untuk sebuah tema provokasi dan sensasional, mungkin George Aditjondro akan dipilih produsen untuk ikonnya.” (p.20). Kalimat ini yang diakhiri dengan kalimat sinis kepada George adalah asumsi dari “logika berpikir ala simsalabim”, sebuah istilah yang oleh penulis justru diterakan kepada George (p.18).

Batik memang milik Indonesia. Tapi siapa bilang batik hanya bisa diwakili oleh satu produsen saja bernama “Allure Batik” ? Logikanya, kalau memang ingin memajukan batik Indonesia saja, tidak perlu memilih satu merek (brand) tertentu, namun justru menyebutkan kalau batik yang dipakai asal daerah mana. Misalnya batik Pekalongan, atau menyebut pola motif seperti batik Kawung atau Sido Mukti asal Yogyakarta. Di sini penulis jatuh pada argumen yang terkesan tendensius, terlalu bersemangat membela satu pihak seraya menjatuhkan pihak lain.

Meski saya setuju pada argumen dasarnya bahwa buku Aditjondro sangat kekurangan data dan rujukan, seperti juga saya tuliskan dalam resensinya, namun disayangkan buku jawaban atau bantahan ini juga tidak menyertakan data, rujukan atau refernsi pembanding. Sehingga 12 halaman “resensi” tentang isi buku Aditjondro semata pengulangan atas argumen dasar itu saja. Masih untung fotonya besar-besar dan berwarna, sehingga menyejukkan mata memandangnya. :) Saya juga memuji kerajinan penulis mengikuti dan mencatat kapan jadwal penayangan bantahan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh tulisan George di berbagai stasiun televisi. Sayangnya isi bantahan pihak-pihak itu saat bicara di televisi malah tidak ditulis dengan jelas.

Di akhir buku, ada bagian “Epilog” sebelum “Tentang Penulis”. Di sini malah penulis dengan fatal justru cuma copy-paste berita internet, dengan sumber cuma tiga: VIVAnews, ANTARA News, dan detikNews. Padahal, kalau mau sedikit rajin, penulis bisa membuat epilog berupa argumen pamungkas yang akan meruntuhkan argumen buku George secara total. Apalagi, penulis berpengalaman sebagai wartawan Tempo sama dengan George. Seharusnya sebagai “saudara seperguruan” penulis bisa tahu teknik penulisan yang efektif untuk membantah tulisan orang lain.

Kesimpulannya, baik buku George maupun jawabannya ini sama-sama kurang data primer. Hanya saja sebagai pionir, buku George memiliki daya kejut lebih di pasaran. Apalagi isinya kontroversial yang bisa jadi bahan gosip di warung kopi. Maka, kalau buku jawaban lain akan ditulis, akan lebih baik bila bisa “menghabisi” buku George dengan data primer yang telak. Dengan begitu, maka citra SBY dan pemerintahannya serta para pendukungnya yang “dicemarkan” buku George akan terkoreksi signifikan.

[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 7 Januari 2010]

Selasa, 05 Januari 2010

Ajari Aku Membaca

Hanya gara-gara menulis dan memposting tulisan di Kompasiana yang meminta agar kita semua bersikap bijak saat menilai pemberian gelar pahlawan bagi Gus Dur, seorang Kompasianer memberi tanggapan ‘bijak’: “saya sarankan anda banyak baca dulu baru nulis……” Sebuah serangan langsung kepada pribadi penulis, bukan materi tulisannya.

Tadinya, saya sempat tersentak, tapi cuma beberapa detik karena kemudian saya tertawa. Kenapa? Karena seperti biasa, tanggapan berupa kritik pedas bahkan cenderung menyerang di forum apa pun termasuk di Kompasiana dan situs social blog serupa berasal dari nickname beridentitas tidak jelas dan tanpa foto pula. Jadi, kalau saya marah, marah sama siapa? Wong orangnya ngumpet gitu kok… Hehehe

Tapi lantas saya jadi merenung, berapa banyak buku yang saya baca akhir-akhir ini? Saya memang alhamdulillah senang mengkoleksi buku. Hingga kini, rasanya sudah lebih dari 1.000 buku yang saya miliki (saya punya setidaknya empat lemari setinggi 2 meter penuh buku). Kalau seorang perokok punya ‘prinsip’ lebih baik tidak makan daripada mulut asem tidak merokok, saya justru lebih baik menghemat uang makan untuk membeli buku. Biasanya, setiap ada pameran buku besar, saya akan memborong karena itulah kesempatan mendapatkan buku dengan harga murah, meski terkadang banyak yang kedaluarsa. Alhamdulillah juga saya punya sejumlah kenalan yang bekerja untuk sebuah korporasi pemilik jaringan buku terbesar di Indonesia, sehingga saat beli buku ada discount karyawan yang bisa dipakai (dengan cara titip beli tentunya). Tapi sebagian besar buku justru saya dapat dari membeli tanpa discount karena masalah updatenya. Kalau menunggu discount keburu basi. Hehe.

Buku terbaru yang saya baca tentu adalah Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century yang resensinya telah pula saya tulis di sini. Sebelumnya, karena saya hadir saat launching, pada bulan Desember 2009 saya juga telah melahap 2 buku karya Chappy Hakim dan 2 buku karya Eileen Rachman. Selain itu juga ada 4-5 buku -ada yang berbahasa Inggris- bersifat teknis kompetensi berkaitan dengan profesi saya sebagai konsultan SDM. Jadi di bulan Desember 2009 saja setidaknya saya membaca sekitar 10 buku. Itu belum dihitung buku sumber -berbahasa Indonesia, Inggris, Arab dan Parsi- yang harus saya baca untuk menyelesaikan tesis saya. Saya jadi ingat, dulu waktu menyelesaikan skripsi saya yang setebal 300 halaman lebih (sampai kini masih memegang “rekor” skripsi paling tebal di jurusan saya), saya harus melahap sekitar 100 buku berbahasa Indonesia, Inggris dan Jerman.

Kalau dihitung bacaan dari koran, majalah dan situs internet, wah saya tak tahu lagi kuantitasnya. Karena di rumah saya berlangganan empat koran setiap hari. Itu pun terkadang masih nambah lagi dengan beli eceran di jalan. Internet, kalau sedang bisa buka komputer dan koneksinya bagus, pasti banyak tulisan saya baca.
Teknik membaca saya adalah “fast reading”, bukan “linear reading” (ada buku yang khusus membahas soal teknik ini). Artinya, dengan kecepatan ala scanner saya mencoba menangkap ide tulisan. Karena kalau baca satu-satu kata per kata, jelas saya tidak punya waktu. Apalagi profesi saya menuntut banyak detail yang harus diselesaikan dan perjalanan ke luar kantor. Banyak klien yang hanya mau ditemui langsung oleh saya selaku pimpinan perusahaan. Sayangnya, saya belum punya cukup sumber daya untuk memiliki “executive summary”. Walau ada karyawan yang sempat saya tugaskan untuk itu, tapi belum optimal.

Karena merasa kurang optimal itu, mungkin saya harus kembali “belajar membaca”. Apalagi, menurut Kompasianer pengkritik saya tadi, saya kurang banyak membaca. Saya malah berterima kasih. Karena dengan begitu, saya lantas membongkar koleksi saya untuk mencari buku-buku yang ditulis Gus Dur maupun tentang Gus Dur. Malah jadi tercetus ide untuk menulis buku khusus soal ini. Andai dalam satu-dua pekan bisa selesai, mungkin bisa diterbitkan. Cuma kendalanya ya itu tadi… waktu.

Yeah…. Rasanya saya harus terus belajar membaca lebih banyak lagi… dan lagi… dan lagi…. Karena di dunia ilmu pengetahuan seluas ini, pengetahuan kita akan selalu seperti anak kecil belaka.

[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 5 Januari 2010 ]

Senin, 04 Januari 2010

Pantaskah Gus Dur Diangkat Sebagai Pahlawan?

Hari ini, dalam rapat paripurna DPR, sempat mencuat usul menjadikan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Pahlawan Nasional. Wacana ini memang telah muncul semenjak Presiden keempat negara kita itu wafat pada 30 Desember 2009 lalu. Uniknya, bukan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mengusulkannya, melainkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) dan Fraksi Partai Golongan Karya (FPG). Dalam kesempatan berbeda, ada pernyataan bahwa FPKB mengajukan usulan resmi melalui surat langsung kepada Presiden SBY. Jadi tidak melalui rapat paripurna DPR. Dalam usulan di rapat paripurna DPR itu, usulan anggota kedua fraksi tadi dimentahkan oleh Ruhut Sitompul dari Fraksi Partai Demokrat. Ia menganjurkan agar usulan itu diagendakan di kesempatan lain.

Terlepas dari adanya mekanisme teknis seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 200, kita patut mempertanyakan: Pantaskah Gus Dur diangkat sebagai Pahlawan?

Sebenarnya, apa saja sih jasa-jasa Gus Dur bagi negara? Ia menjabat Presiden keempat RI dalam waktu singkat (20 Oktober 1999-23 Juli 2001), hanya sekitar 22 bulan atau kurang dari 2 tahun. Dalam kurun waktu itu, prestasi yang banyak diingat orang adalah pemihakannya pada pluralisme dan multikulturalisme. Ia adalah Presiden yang membolehkan kembali pertunjukan budaya China/Tionghoa di hadapan publik. Gus Dur juga menjadikan Imlek sebagai hari libur resmi nasional sekaligus mengakui Khong Hu Cu (Konfusianisme) sebagai agama resmi negara. Gus Dur juga mengganti nama provinsi Irian Jaya menjadi Papua, nama awalnya. Intinya, Gus Dur berupaya merangkul semua kalangan.

Namun harus diingat bahwa Gus Dur sendiri kerap tidak bijak semasa menjadi Presiden RI. Hampir setiap habis shalat Jum’at, publik dikagetkan dengan pernyataan-pernyataan kontroversial dari Gus Dur. Bahkan dalam kunjungan ke luar negeri yang luar biasa banyak itu (Gus Dur melakukan tak kurang dari 21 kali perjalanan ke lebih dari 50 negara) Gus Dur seringkali berkomentar pedas tentang situasi dalam negeri. Ia bahkan pernah mengeluarkan statemen akan adanya rencana makar terhadap dirinya yang dirancang di jalan Lautze-Jakarta Pusat. Sebuah statemen yang kemudian tak terbukti.

Dalam konteks PKB, partai yang dibidani kelahirannya olehnya sendiri, Gus Dur juga kerap kurang mampu bersikap bijak dan demokratis. Berkali-kali ia melakukan pemecatan sepihak kepada Ketua Umum Dewan Tanfidz (sama dengan Ketua Umum DPP). Memang, menurut AD/ART partai itu, sebagai Ketua Dewan Syuro’ (setara dengan Dewan Pembina) ia berhak melakukan itu. Akan tetapi, konflik itu menunjukkan bahwa Gus Dur tidaklah sedemokratis seperti dicitrakan.

Saya malah curiga, jangan-jangan upaya “mempahlawankan” Gus Dur hanya upaya mengambil simpati dari kaum nahdliyin. Ingat, karena tidak berhasil memenangkan konflik terakhir di PKB dimana keponakannya Muhaimin Iskandar tetap duduk sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz meski sudah dipecatnya, Gus Dur menyerukan golput dalam Pemilu 2009 dan menganjurkan agar warga nahdliyin tidak memilih PKB. Kalau memang tindakan itu bisa dijadikan ukuran, massa nahdliyin pengagum Gus Dur bisa dianggap sebagai “massa mengambang” yang patut diperebutkan simpatinya.

Kecurigaan lain adalah ini merupakan upaya agar sekaligus dapat menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional juga. Terbukti, Golkar sudah mengajukan usulan itu di DPR, meski baru berupa wacana dan belum berupa usulan resmi. Kalau kita mau adil, sebenarnya jasa-jasa Soeharto jauh lebih banyak daripada Gus Dur. Akan tetapi, rakyat masih belum lupa mengapa Presiden terlama Indonesia itu dilengserkan dalam Reformasi 1998. Masih ada luka yang belum terobati. Karena itu, jangan sampai usulan menjadikan Gus Dur sebagai pahlawan menjadi legitimasi pula untuk “mempahlawankan” Soeharto.

Janganlah ini menjadi euforia sesaat. Euforia sama yang muncul saat Paus Yohanes Paulus II wafat tahun 2005. Banyak bermunculan wacana agar menjadikannya sebagai Santo. Padahal, dalam tradisi dan hukum gereja Katolik, tidak mudah menjadikan seseorang sebagai Santo/Santa. Selain harus melalui proses pengusulan dan pembuktian, ada tahap beatifikasi (menjadikan seseorang sebagai beato/beata) yang diratifikasi oleh uskup sedunia. Maka, hingga kini pun Paus yang dianggap berjasa banyak bagi dunia itu belum juga dijadikan Santo, yang notabene adalah “pahlawan” bagi umatnya. Maka, seyogyanya kita juga tidak terburu-buru menjadikan almarhum Gus Dur dan Soeharto sebagai Pahlawan, apalagi cuma demi meraih simpati rakyat pemujanya. Semua harus dikaji lebih dulu dengan baik, bijak dan hati-hati demi kepentingan bangsa.

[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana dan Politikana, 4 Januari 2010]