Hanya gara-gara menulis dan memposting tulisan di Kompasiana yang meminta agar kita semua bersikap bijak saat menilai pemberian gelar pahlawan bagi Gus Dur, seorang Kompasianer memberi tanggapan ‘bijak’: “saya sarankan anda banyak baca dulu baru nulis……” Sebuah serangan langsung kepada pribadi penulis, bukan materi tulisannya.
Tadinya, saya sempat tersentak, tapi cuma beberapa detik karena kemudian saya tertawa. Kenapa? Karena seperti biasa, tanggapan berupa kritik pedas bahkan cenderung menyerang di forum apa pun termasuk di Kompasiana dan situs social blog serupa berasal dari nickname beridentitas tidak jelas dan tanpa foto pula. Jadi, kalau saya marah, marah sama siapa? Wong orangnya ngumpet gitu kok… Hehehe
Tapi lantas saya jadi merenung, berapa banyak buku yang saya baca akhir-akhir ini? Saya memang alhamdulillah senang mengkoleksi buku. Hingga kini, rasanya sudah lebih dari 1.000 buku yang saya miliki (saya punya setidaknya empat lemari setinggi 2 meter penuh buku). Kalau seorang perokok punya ‘prinsip’ lebih baik tidak makan daripada mulut asem tidak merokok, saya justru lebih baik menghemat uang makan untuk membeli buku. Biasanya, setiap ada pameran buku besar, saya akan memborong karena itulah kesempatan mendapatkan buku dengan harga murah, meski terkadang banyak yang kedaluarsa. Alhamdulillah juga saya punya sejumlah kenalan yang bekerja untuk sebuah korporasi pemilik jaringan buku terbesar di Indonesia, sehingga saat beli buku ada discount karyawan yang bisa dipakai (dengan cara titip beli tentunya). Tapi sebagian besar buku justru saya dapat dari membeli tanpa discount karena masalah updatenya. Kalau menunggu discount keburu basi. Hehe.
Buku terbaru yang saya baca tentu adalah Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century yang resensinya telah pula saya tulis di sini. Sebelumnya, karena saya hadir saat launching, pada bulan Desember 2009 saya juga telah melahap 2 buku karya Chappy Hakim dan 2 buku karya Eileen Rachman. Selain itu juga ada 4-5 buku -ada yang berbahasa Inggris- bersifat teknis kompetensi berkaitan dengan profesi saya sebagai konsultan SDM. Jadi di bulan Desember 2009 saja setidaknya saya membaca sekitar 10 buku. Itu belum dihitung buku sumber -berbahasa Indonesia, Inggris, Arab dan Parsi- yang harus saya baca untuk menyelesaikan tesis saya. Saya jadi ingat, dulu waktu menyelesaikan skripsi saya yang setebal 300 halaman lebih (sampai kini masih memegang “rekor” skripsi paling tebal di jurusan saya), saya harus melahap sekitar 100 buku berbahasa Indonesia, Inggris dan Jerman.
Kalau dihitung bacaan dari koran, majalah dan situs internet, wah saya tak tahu lagi kuantitasnya. Karena di rumah saya berlangganan empat koran setiap hari. Itu pun terkadang masih nambah lagi dengan beli eceran di jalan. Internet, kalau sedang bisa buka komputer dan koneksinya bagus, pasti banyak tulisan saya baca.
Teknik membaca saya adalah “fast reading”, bukan “linear reading” (ada buku yang khusus membahas soal teknik ini). Artinya, dengan kecepatan ala scanner saya mencoba menangkap ide tulisan. Karena kalau baca satu-satu kata per kata, jelas saya tidak punya waktu. Apalagi profesi saya menuntut banyak detail yang harus diselesaikan dan perjalanan ke luar kantor. Banyak klien yang hanya mau ditemui langsung oleh saya selaku pimpinan perusahaan. Sayangnya, saya belum punya cukup sumber daya untuk memiliki “executive summary”. Walau ada karyawan yang sempat saya tugaskan untuk itu, tapi belum optimal.
Karena merasa kurang optimal itu, mungkin saya harus kembali “belajar membaca”. Apalagi, menurut Kompasianer pengkritik saya tadi, saya kurang banyak membaca. Saya malah berterima kasih. Karena dengan begitu, saya lantas membongkar koleksi saya untuk mencari buku-buku yang ditulis Gus Dur maupun tentang Gus Dur. Malah jadi tercetus ide untuk menulis buku khusus soal ini. Andai dalam satu-dua pekan bisa selesai, mungkin bisa diterbitkan. Cuma kendalanya ya itu tadi… waktu.
Yeah…. Rasanya saya harus terus belajar membaca lebih banyak lagi… dan lagi… dan lagi…. Karena di dunia ilmu pengetahuan seluas ini, pengetahuan kita akan selalu seperti anak kecil belaka.
[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 5 Januari 2010 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar