Hari ini, dalam rapat paripurna DPR, sempat mencuat usul menjadikan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Pahlawan Nasional. Wacana ini memang telah muncul semenjak Presiden keempat negara kita itu wafat pada 30 Desember 2009 lalu. Uniknya, bukan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mengusulkannya, melainkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) dan Fraksi Partai Golongan Karya (FPG). Dalam kesempatan berbeda, ada pernyataan bahwa FPKB mengajukan usulan resmi melalui surat langsung kepada Presiden SBY. Jadi tidak melalui rapat paripurna DPR. Dalam usulan di rapat paripurna DPR itu, usulan anggota kedua fraksi tadi dimentahkan oleh Ruhut Sitompul dari Fraksi Partai Demokrat. Ia menganjurkan agar usulan itu diagendakan di kesempatan lain.
Terlepas dari adanya mekanisme teknis seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 200, kita patut mempertanyakan: Pantaskah Gus Dur diangkat sebagai Pahlawan?
Sebenarnya, apa saja sih jasa-jasa Gus Dur bagi negara? Ia menjabat Presiden keempat RI dalam waktu singkat (20 Oktober 1999-23 Juli 2001), hanya sekitar 22 bulan atau kurang dari 2 tahun. Dalam kurun waktu itu, prestasi yang banyak diingat orang adalah pemihakannya pada pluralisme dan multikulturalisme. Ia adalah Presiden yang membolehkan kembali pertunjukan budaya China/Tionghoa di hadapan publik. Gus Dur juga menjadikan Imlek sebagai hari libur resmi nasional sekaligus mengakui Khong Hu Cu (Konfusianisme) sebagai agama resmi negara. Gus Dur juga mengganti nama provinsi Irian Jaya menjadi Papua, nama awalnya. Intinya, Gus Dur berupaya merangkul semua kalangan.
Namun harus diingat bahwa Gus Dur sendiri kerap tidak bijak semasa menjadi Presiden RI. Hampir setiap habis shalat Jum’at, publik dikagetkan dengan pernyataan-pernyataan kontroversial dari Gus Dur. Bahkan dalam kunjungan ke luar negeri yang luar biasa banyak itu (Gus Dur melakukan tak kurang dari 21 kali perjalanan ke lebih dari 50 negara) Gus Dur seringkali berkomentar pedas tentang situasi dalam negeri. Ia bahkan pernah mengeluarkan statemen akan adanya rencana makar terhadap dirinya yang dirancang di jalan Lautze-Jakarta Pusat. Sebuah statemen yang kemudian tak terbukti.
Dalam konteks PKB, partai yang dibidani kelahirannya olehnya sendiri, Gus Dur juga kerap kurang mampu bersikap bijak dan demokratis. Berkali-kali ia melakukan pemecatan sepihak kepada Ketua Umum Dewan Tanfidz (sama dengan Ketua Umum DPP). Memang, menurut AD/ART partai itu, sebagai Ketua Dewan Syuro’ (setara dengan Dewan Pembina) ia berhak melakukan itu. Akan tetapi, konflik itu menunjukkan bahwa Gus Dur tidaklah sedemokratis seperti dicitrakan.
Saya malah curiga, jangan-jangan upaya “mempahlawankan” Gus Dur hanya upaya mengambil simpati dari kaum nahdliyin. Ingat, karena tidak berhasil memenangkan konflik terakhir di PKB dimana keponakannya Muhaimin Iskandar tetap duduk sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz meski sudah dipecatnya, Gus Dur menyerukan golput dalam Pemilu 2009 dan menganjurkan agar warga nahdliyin tidak memilih PKB. Kalau memang tindakan itu bisa dijadikan ukuran, massa nahdliyin pengagum Gus Dur bisa dianggap sebagai “massa mengambang” yang patut diperebutkan simpatinya.
Kecurigaan lain adalah ini merupakan upaya agar sekaligus dapat menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional juga. Terbukti, Golkar sudah mengajukan usulan itu di DPR, meski baru berupa wacana dan belum berupa usulan resmi. Kalau kita mau adil, sebenarnya jasa-jasa Soeharto jauh lebih banyak daripada Gus Dur. Akan tetapi, rakyat masih belum lupa mengapa Presiden terlama Indonesia itu dilengserkan dalam Reformasi 1998. Masih ada luka yang belum terobati. Karena itu, jangan sampai usulan menjadikan Gus Dur sebagai pahlawan menjadi legitimasi pula untuk “mempahlawankan” Soeharto.
Janganlah ini menjadi euforia sesaat. Euforia sama yang muncul saat Paus Yohanes Paulus II wafat tahun 2005. Banyak bermunculan wacana agar menjadikannya sebagai Santo. Padahal, dalam tradisi dan hukum gereja Katolik, tidak mudah menjadikan seseorang sebagai Santo/Santa. Selain harus melalui proses pengusulan dan pembuktian, ada tahap beatifikasi (menjadikan seseorang sebagai beato/beata) yang diratifikasi oleh uskup sedunia. Maka, hingga kini pun Paus yang dianggap berjasa banyak bagi dunia itu belum juga dijadikan Santo, yang notabene adalah “pahlawan” bagi umatnya. Maka, seyogyanya kita juga tidak terburu-buru menjadikan almarhum Gus Dur dan Soeharto sebagai Pahlawan, apalagi cuma demi meraih simpati rakyat pemujanya. Semua harus dikaji lebih dulu dengan baik, bijak dan hati-hati demi kepentingan bangsa.
[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana dan Politikana, 4 Januari 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar