Warning! Curcol alert!
Itu tulisan peringatan yang biasa saya cantumkan saat hendak menulis di blog pribadi saya bila isinya berkaitan dengan permasalahan pribadi yang hendak saya sharing sebagai pelajaran bagi semua. Ini saya lakukan karena blog saya adalah blog yang berisikan aneka hal yang bisa kita pelajari dari kehidupan. Makanya, namanya Life School alias sekolah kehidupan. Namun, saya tak ingin orang merasa membuang waktu membaca tulisan saya yang nyatanya cuma berisi curhat alias curahan hati, istilah populer untuk “mengeluh” yang kalau dihaluskan bisa juga berarti “berbagi”. Saya tak ingin mereka kecewa atau “illfeel”. Karena saya juga merasakan hal ini saat membaca blog atau note di FaceBook dari beberapa teman yang isinya cuma “curcol” belaka. Misalnya ia cerita sedang sedih karena ikan koinya mati. Yeah, kita memang bisa sok simpati. Tapi jujur saja, who the hell will really care about his/her fish actually? :D
Akan tetapi, saya berupaya memberikan suatu sharing yang dapat berguna buat semua. Minimal, ada hikmah atau penyadaran yang bisa diperoleh dengan membacanya. Misalnya saya bercerita bagaimana pengalaman saya saat menjadi tim sukses salah satu pasangan calon presiden/wakil presiden dalam Pilpres 2009 lalu (baca lagi artikelnya di sini). Tentu ini menarik karena tidak semua orang memiliki kesempatan tersebut. Hanya saja terkadang ada luapan emosi di dalamnya seperti kesulitan saya mendapatkan akses ke tim pendukung lain, padahal sesama pendukung capres/cawapres yang sama. Di sisi ini saya melakukan “curcol” yang bisa jadi tidak semua orang suka membacanya. Maka, terkadang saya merasa perlu melakukan “warning”.
Dalam dunia nyata, seringkali saya mendapati orang-orang yang saya temui juga kerap melakukan “curcol”. Padahal, tak jarang mereka baru bertemu saya untuk kali pertama. Dan seringnya juga mereka melakukan itu tanpa permisi. Misalnya dalam perjalanan melakukan survei ke suatu lokasi, pegawai dari klien yang mengantarkan saya bercerita tentang anaknya yang nakal. Walah, padahal kami sedang bekerja. Dan rupanya itu sering terjadi di Indonesia. Masalah pribadi yang termasuk ranah privat malah diumbar sendiri oleh yang bersangkutan ke orang lain yang berarti melemparkannya ke ranah publik.
Padahal, di luar negeri orang mati-matian mempertahankan privasinya. Apalagi kalau mereka orang termasyhur. Tapi di sini, malah sepertinya ‘berlomba’ agar orang lain mengetahui masalah pribadi mereka. Dan itu kerapkali juga dilakukan melalui blog.
Saya bukan tak pernah melakukan itu. Mungkin malah sering. Tapi saya mencoba tidak “curcol” ke sembarang orang. Kalau pun saya melakukannya melalui tulisan di blog yang jelas ranah publik, tentu saya berharap agar ada manfaatnya bagi orang lain. Tapi kalau begitu pribadinya ya saya akan cari waktu bertemu dengan sahabat untuk “curhat beneran” yang bukan colongan. Artinya, saya sudah minta izin kepada yang bersangkutan untuk curhat dan bukan ‘nyolong’ seperti pegawai klien saya tadi. Karena kalau dicolong kan jelas kita mengambil hak orang lain toh? Itu berarti kita zalim. Makanya ,saya berusaha sedapat mungkin tidak curcol. Meminjam lirik lagu “Begadang”-nya Bang Rhoma Irama, ia berkata “jangan begadang kalau tak ada perlunya”. Maka juga jangan “curcol” kalau tak ada manfaatnya. Begitu…
[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana, 12 Januari 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar