Kamis, 25 November 2010

Selamat Buat Mas Ibas!

     Setelah berhasil menjadi "juara" dalam hal pengumpulan suara di Pemilu 2009 lalu, Edhie Baskoro Yudhoyono duduk menjadi anggota Komisi I di DPR-RI. Kesibukan Ibas -nama panggilan putra bungsu kesayangan Presiden kita itu- bertambah setelah dalam struktur kepengurusan Partai Demokrat yang baru, ia didudukkan sebagai Sekertaris Jenderal. Yah, tidak heran sih, itu kan partai bikinan bapaknya.
     Namun ternyata, itu belum cukup. Dalam struktur pengurus KADIN periode 2010-2015 yang dipimpin Ketua Umumnya yang baru yaitu Suryo Bambang Sulistyo, Ibas juga diberi kursi. Ia diberi posisi sebagai Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Promosi Internasional, Pariwisata, Seni dan Budaya (artikel ada di sini).
     Sebagai badan yang berfungsi amat luas dalam hal penyelenggaraan kerjasama perdagangan dan perekonomian Indonesia dengan negara lain, KADIN (Kamar Dagang Indonesia-Indonesian Chamber of Commerce) tentu amat strategis. Pemosisian Ibas boleh-boleh saja, apalagi itu hak prerogratif Ketua Umum terpilih bersama tim formaturnya. Bila memang Ibas dianggap mampu sebagai pengurus KADIN, nggih sumonggo mawon.
     Namun ada pertanyaan sederhana mencuat, kenapa publik tidak tahu apa saja usaha yang sedang dijalankan Ibas? Teringat iklannya dalam Pemilu lalu, ia justru diposisikan sebagai "eksekutif muda" (seperti foto ilustrasi). Berarti, beliau punya bisnis atau usaha yang jalan dengan pesatnya dong? Sebagai pengurus KADIN, tentu akan sarat kepentingan memajukan bisnis sendiri, meski posisi yang diberikan kepadanya justru dikaitkan dengan bidangnya di Komisi I DPR.
     Pertanyaan kedua adalah, apakah ini bentuk "terima kasih" dari Ketua Umum KADIN yang baru kepada SBY atas restunya? Karena tak bisa dipungkiri, jabatan ini prestisius dan "basah". Sulit bisa duduk di "kursi panas" itu bila tak ada restu dari "ingkang mbaurekso".
     Transparansi tentang usaha Ibas rasanya perlu dilakukan. Apalagi jabatan di KADIN termasuk jabatan publik. Apakah benar tengara George Junus Aditjondro dalam buku "Membongkar Gurita Cikeas" bahwa SBY dan keluarganya punya aneka bisnis?
     Kalau itu terjadi, apa bedanya dengan keluarga Soeharto dan kroni-kroninya? Kalau dalihnya keluarga pejabat sah untuk berusaha, maka seharusnya kita tak boleh mengecam Soeharto dulu, apalagi memakai hal itu sebagai dalih menggulingkannya. Kalau itu memang dianggap rakyat tak sah atau minimal tak etis, masih pantaskah kita memberikan tabik pada "Gurita Cikeas"? 
     Apakah negara republik ini sedang digiring menuju negara kerajaan Cikeas?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 25 November 2010]

Rabu, 24 November 2010

Milana Mundur Dari PNS, Supaya Gampang Pelesiran?

     Hari ini, terbetik berita bahwa Milana Anggraeni telah mengajukan pengunduran diri sebagai PNS. (berita di sini). Padahal, yang bersangkutan sudah diberi "dispensasi" luar biasa, entah sengaja atau tidak, oleh institusi dan atasannya. Bayangkan saja, berbulan-bulan tak masuk, tak diberi sanksi apa pun. Malah seperti dilindungi dengan berbagai dalih.
     Pertanyaan orang awam sederhana saja, kalau dia diperkenankan mundur, bukannya malah lebih susah melacaknya? Gampangnya, apakah mundurnya Milana sebagai PNS supaya lebih gampang "mendampingi" suaminya saat harus pelesiran?
     Yah, siapa juga yang masih mau kerja, kalau suami sudah jadi milyarder kan? Apalagi ini jadi PNS yang gaji pokok satu bulan resminya seharusnya tak bakal cukup untuk beli tiket pesawat ke Bali apalagi menginap di Hotel Westin. Halah!

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 24 November 2010]

Jumat, 19 November 2010

Beda Perlakuan Antara Gayus dan Terduga Teroris

     Kasus Gayus yang bertambah 'menyenangkan' untuk diamati ini sebenarnya mencuatkan banyak tanda tanya baru. Seperti: apakah motif Gayus untuk pergi ke Bali? Apalagi dengan gagah berani Adnan Buyung Nasution (ABN) mengatakan akan membongkar pajak group Bakrie dan mengatakan pula bahwa bukan cuma Gayus yang sering keluar tahanan.
     'Keberhasilan' Gayus menyuap para petugas rutan hingga mengelabui petugas di bandar udara memberikan indikasi betapa buruknya moral para penegak hukum kita. Perlakuan terhadap pemilik uang yang bahkan ABN mengatakan tak tahu jumlahnya itu karena dianggap terlalu pintar hingga KPK dan PPATK pun tak tahu itu jelas berbeda dengan para terduga teroris.
     Harap diingat, tulisan saya bukan untuk membela terorisme, tapi membela perlakuan sama di hadapan hukum. Kepada para terduga teroris, kita tahu bahwa tindakan aparat kepolisian terutama Densus 88 sangat tegas. Dengan berlandaskan UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terduga teroris kerapkali segera ditembak mati. Saat ditangkap pun, kita bisa melihat perlakuan kepada mereka bak tahanan perang di Guantanamo. Bedanya, di Guantanamo para aktivis HAM internasional berterak lantang memprotes perlakuan terhadap tahanan, sementara untuk terduga teroris sepertinya mereka dianggap "bukan manusia". Padahal, seharusnya tetap dipegang prinsip "justice for all" dan "presumption of innocence".
     Sementara untuk Gayus, kita tahu justru diperlakukan dengan hormat dan istimewa. Padahal, kalau mau dihitung, kesengsaraan yang diakibatkan Gayus bisa jadi lebih besar daripada terorisme. Karena sederhananya adalah uang yang dikorupsinya seharusnya bisa dialokasikan untuk rakyat banyak, ini malah dimakan sendiri.  (eh, rame-rame dengan kelompoknya ding.hehehe)
     Istrinya Milana Anggraeni pun mendapatkan perlakuan istimewa. Meski sudah tidak masuk kerja selama berbulan-bulan tanpa keterangan alias bolos, menurut Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Noor Syamsu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tidak serta merta memberikan sanksi (kutipan dari sini). Bahkan dalam hal turut berperan serta dalam kaburnya Gayus yang berstatus tahanan ke Bali, ia pun dianggap oleh Polri tak bisa serta-merta dijerat hukum dengan pasal turut serta melakukan perbuatan pidana bersama suaminya, sebab apa yang dilakukan Gayus bukanlah perbuatan pidana. "Pergi ke Bali itu bukan tindak pidana," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen. Pol. I Ketut Untung Yoga ana, di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jl. Tirtayasa, Jakarta Selatan, Kamis (18/11/2010) (kutipan dari sini).
     Coba bandingkan dengan kerabat para terduga teroris. Mereka bisa ditangkap hanya karena tidak memberikan informasi mengenai keberadaan kerabat mereka. Misalnya Warsito yang ditangkap pada hari Minggu (18/7) di Indramayu, diutarakan oleh Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Wakadiv Humas) Polri, Brigjen Pol Zainuri Lubis ditangkap karena "Warsito menyembunyikan informasi tentang keberadaan Dulmatin dan menyembunyikan informasi tentang terorisme kemudian tidak melaporkan kepada polisi." (kutipan dari sini). Padahal, dalam KUHP dalam pasal 55 ayat 1 jelas disebutkan:

"Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: (1). mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;"
     Pergi ke Bali memang bukan tindak pidana, tapi itu kalau dilakukan orang biasa. Kalau tahanan yang seharusnya berada di dalam rumah tahanan bisa keluar bebas bahkan tanpa prosedur jelas, apakah itu bukan tindak pidana? Rupanya memang hukum kita itu memegang prinsip UUD sebagai landasan hukum paling tinggi. Tapi bukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara, melainkan  Ujung-Ujungnya Duit...

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 19 November 2010]

Selasa, 16 November 2010

Kiat Menumpas Maksus, Koruptor & Penjahat Negara Lain

     Setelah sidang bertele-tele, dengan pengacara bergelar doktor yang jago ngomong dan berdalih, menyiasati KUHP buatan kolonial penjajah, mencari celah hukum dan aturan, menyuapi orang-orang yang tidak kelaparan dengan uang yang bisa untuk makan banyak orang kelaparan, senggol sana senggol sini cari backing seperti bu guru Ayin, membeli berita media atau pemiliknya sekalian, dan akhirnya bebas juga.
     Membuat rakyat marah.

     Membuat wong cilik frustrasi.

     Maka kiat untuk menumpasnya adalah:
"Berlakukan hukuman mati untuk maksus, koruptor dan penjahat negara lain."
     Kalau perlu, sembelih mereka seperti kambing, sapi dan domba yang besok dijadikan kurban.
     Bahkan tak perlu mengucapkan asma Tuhan saat menyembelih para penjahat itu!

Gambar dari sini

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 16 November 2010]

Senin, 15 November 2010

Awas, Peminta Sumbangan Palsu!

     Bencana alam yang terjadi di Wasior, Mentawai dan terutama Gunung Merapi telah membuat kita terhenyak. Nurani kemanusiaan kita tersentuh. Namun, ternyata ada saja golongan masyarakat yang mencoba memanfaatkan dengan meminta sumbangan langsung di jalan-jalan. Memang, ada yang niatnya baik, namun justru saya mencurigai ada yang sejenis dengan "pebisnis kotak amal" yang tiap hari beredar di jalan, bus kota dan kereta api. Kita semua sama-sama tahu, mereka punya boss atau cukong yang mengkoordinir dan hampir bisa dipastikan kotal-kotak amal itu bukan berasal dari lembaga yang sah dan juga tidak memiliki izin penyelenggaraan kegiatan dari pemerintah.
     Sebenarnya, meminta sumbangan di masyarakat tidak bisa seenaknya. Ada peraturan pemerintah yaitu U No 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). Selain itu juga terdapat aturan tambahan yaitu Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan dan Kepmensos RI No 56/HUK/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat. Di situ, diatur bahwa setiap permintaan sumbangan selain harus dilakukan oleh organisasi berbadan hukum, juga mengantungi izin dari Kemensos. Bahkan peminta sumbangan juga harus membayar biaya penyelenggaraan PUB sebesar Rp 100 ribu/kegiatan seperti diatur dalam PP No 61 Tahun 2007 tertanggal 16 November 2007.
     Menghadapi peminta sumbangan di jalan memang tak mungkin menanyakan izin segala. Maka pedoman saya cuma apakah peminta sumbangan itu jelas identitasnya, misalnya dari lembaga atau senat mahasiswa kampus tertentu. Kalau tidak, ya tidak usah diberi. Misalnya saja foto hasil jepretan saya di wilayah Jakarta Timur hari Jum'at (12/11) lalu, dimana para peminta sumbangan ini bahkan berpakaian ala "anak jalanan" tanpa identitas jelas. Karena memang mudah saja meminta sumbangan semacam ini. Tinggal bermodal kardus air mineral bekas, lalu ditempeli sehelai kertas yang ditulisi dengan spidol atau ballpoint -kalau punya modal lebih bisa diprint-, jadi deh. Tinggal 'mejeng' saja di jalan mencegat pengendara lewat. Memang semua kembali kepada kita sendiri sebagai warga, apakah masih mau memberi "nafkah" kepada para peminta sumbangan palsu ini, di saat pemerintah seperti tak berdaya atau malah tak peduli menertibkannya.

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 15 November 2010]

Selasa, 09 November 2010

"Oknum" Tentara Berulah Lagi?

     Saat sejumlah "oknum" TNI pelaku interogasi dengan tindak kekerasan di Papua masih dalam pemeriksaan, di kawasan Merapi puluhan tentara berulah lagi. Kali ini para "pembuat ulah" berasal dari Yonif 403 Kentungan Yogyakarta. Cuma gara-gara serempetan, yang menurut korban malah dirinya ditabrak oleh truk tentara, seorang relawan tim Hidayatullah Peduli Merapi bernama Arif Rahman malah dipukuli oleh para "oknum" itu tadi malam. (berita selengkapnya ada di sini).
     Korban setelah dipukuli dan dipaksa mengaku salah serta memberikan ganti rugi, tetap menolak sehingga dibawa ke markas batalyon tersebut. Di sana ia mengaku diinterogasi. Tidak hanya itu, SIM dan STNK-nya pun dirampas.
    Bagaimana pula ini pak tentara? Wong rakyat sedang susah kok tambah dibikin susah?

Catatan: Ditunggu kabar dari sisi "seberang"-nya, yaitu pihak Yonif 403 Kentungan Yogyakarta.

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 9 November 2010]