Minggu, 28 Juni 2009

Orang Malaysia Memang Tricky!

Dibajaknya lagu Afghan menyusul upaya pencaplokan batik dan keris sebagai warisan budaya yang diakui milik mereka, sebenarnya cuma bagian dari sifat "tricky" bangsa itu. Sifat dan kebiasaan ini justru sudah umum di dunia bisnis.

Saya baru saja mendapatkan cerita dari rekan saya yang bekerja di sebuah perusahaan yang mengekspor produknya ke negeri jalang itu. (pelesetan dari jiran, he!). Di Indonesia, perusahan tempat teman saya bekerja itu termasuk top. Tapi, saat hendak memasarkan produknya di Malaysia, hingga saat ini belum mendapatkan partner bisnis yang tidak "tricky".

Bagaimana "tricky"nya? Mereka menolak produk yang dibuat di Indonesia langsung dipasarkan di sana. Sebagai gantinya, mereka mengharuskan label "made in Indonesia" diganti "made in Malaysia", tentunya ini berkonsekuensi perusahaannya pun harus punya "payung" di sana. Mereka menolak ada tulisan Indonesia di label kemasan.

Sudah begitu, begitu setelah produk dipasarkan pun, mereka juga "tricky" dalam menjatuhkan harga. Produk serupa atau malah persis sama (bajakan) bisa tiba-tiba muncul di pasar gelap (black market). Produk Indonesia yang sudah diganti labelnya tadi akan membanjiri kembali pasar Indonesia lewat jalur tidak resmi. Strategi itu akan menjatuhkan harga produk di kedua negara. Apalagi, kesannya produk itu adalah "made in Malaysia" sehingga malah produk asli kita jadi kelihatan meniru.

What a tricky people they are! Dasar Malaysial!

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 28 Juni 2009]

Jumat, 26 Juni 2009

Ulasan Debat Capres 25 Juni 2009

Mungkin banyak yang akan menulis soal ini, karena debat tadi malam memang menarik. Berbagai ulasan bernada positif langsung muncul di berbagai situs berita online. Intinya, debat tadi malam dinilai lebih seru karena para capres mulai saling sindir satu sama lain. Saya hanya menuliskan apa yang saya amati, sangat subyektif dan bisa saja ada yang lolos dari pengamatan. Silahkan saja Anda menulis ulasan lain agar makin berwarna.

Mengusung tema “Mengentaskan Kemiskinan dan Pengangguran”, Debat Capres II semalam diselenggarakan di studio Metro TV. Bertindak sebagai moderator adalah Aviliani, M.Si. yang secara mengejutkan justru tampil lebih bagus daripada Anies Baswedan, Ph.D. dan Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku pemandu Debat Capres I dan Debat Cawapres I. Aviliani mampu membuat suasana lebih nyaman sehingga capres tampak menjadi lebih leluasa berekspresi.

Kredit tersendiri patut diberikan kepada Jusuf Kalla. Seperti biasa dialah yang paling mampu melontarkan guyonan segar. Tadi malam, secara mengejutkan JK sempat meninggalkan podium, berjalan-jalan keliling panggung dan mendekati moderator saat menjawab pertanyaan. JK juga sempat menyindir SBY soal iklannya yang mengambil jingle Indomie. “Saya minta maaf ini Pak Bambang dengan jingle Bapak, Indomie itu,” JK menyindir. “Lebih banyak makan Indomie itu nanti impor gandum kita banyak,” sentilnya yang langsung disambut gelak tawa penonton di studio. JK menyatakan itu untuk menjawab pertanyaan soal kebijakan Bulog dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan. Selain itu, JK juga sempat ‘menggoda’ Megawati saat mantan atasannya di Kabinet Gotong Royong itu menyatakan, “Pak Jusuf bisa begitu karena ikut kerja sama saya.” JK menimpali dengan menyatakan, “Terima kasih Ibu. Tapi kerja saya bagus, kan Bu?” Pertanyaan itu tidak didengar Mega sehingga JK mengulangnya. Yang mengejutkan, Mega menjawab, “Ya nggaklah”.

Megawati, sebaliknya, menjatuhkan diri sendiri dengan pernyataan tadi. Selain tampak tidak mampu dan tidak mau menghargai orang lain -apalagi acara itu disiarkan langsung secara nasional- juga memperlihatkan sifat aslinya yang sinis saat bicara. Kalimat “ikut kerja sama saya” jelas menyamakan seorang menteri -JK di Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati menjabat sebagai Menko Kesra- laiknya pembantu rumah tangga saja. Walau begitu, secara umum Megawati juga tampil lebih baik daripada Debat Capres sebelumnya. Ia mampu mencerna pertanyaan dan cukup trampil mengolah kata. Kelemahan utamanya adalah ia kerap masih berputar saat menjawab sehingga sering kehabisan waktu. Antara lain saat ia dan JK saling meledek seperti disebutkan tadi, tanggapan Mega jadi tidak selesai di pertanyaan tersebut, yang membahas UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sementara SBY juga tampil jauh lebih baik. Dalam pernyataan penutupnya (closing statement), SBY sempat menyatakan, “SBY juga bisa cepat” yang dikatakannya sambil melirik JK. Saat beberapa kali adu sindir dengan JK, SBY juga tidak lama ‘mutung’nya. Untuk soal Indomie, SBY bahkan membalas dengan menyatakan, “Mungkin yang dimakan Pak JK adalah mie instan 100 persen gandum. Yang saya makan sudah ada campurannya, terigu, singkong, kurang gandumnya. Dan saya bisa tumbuh dengan baik.” Hadirin terkejut karena saat itu moderator sudah beralih ke pertanyaan lain, yaitu soal cara mengatasi kemiskinan dalam kaitannya dengan peningkatan taraf hidup perempuan. Namun toh balasan SBY itu  tetap disambut tawa hadirin. SBY sendiri sempat tertawa cukup lepas saat JK dan Mega saling ledek seperti diceritakan di awal tadi. Pernyataan-pernyataan SBY pun bernas dan tajam, sesekali menggunakan gaya pointers. Ini mengingatkan gaya cawapres dari kubu JK, yaitu Wiranto. Tak heran karena keduanya memang sama-sama mantan militer.

Secara keseluruhan, nuansa debat tadi malam memang lebih menggairahkan. Saling sindir dan ledek membuat suasana cair. Tidak ada kritikan tajam yang membuat marah kandidat seperti saat Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea pada Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati menggebrak meja dan meninggalkan studio Metro TV saat sedang talkshow di tahun 2003 dulu. Kandidat juga tidak selalu setuju satu sama lain, malah tampaknya berusaha tampil beda dengan menyatakan ketidaksetujuan atau sekedar menambahkan dari keterangan yang lain.

Jika harus saya berikan nilai dari penampilan ketiganya semalam, maka JK adalah pemenangnya dengan nilai 80, SBY di urutan kedua dengan 75, sementara Megawati di urutan terbawah dengan nilai 60 saja. Hanya saja, itu adalah penilaian subyektif saya. Anda tentu bisa berbeda, asal jangan fanatik buta saja. Bukankah sebaiknya semua capres adalah yang “pro rakyat” guna me”lanjutkan” kemajuan Indonesia dengan “lebih cepat lebih baik”?

[Tulisan ini juga diposting di Politikana, 26 Juni 2009]

Selasa, 23 Juni 2009

Dicari: Pemimpin Yang Memiliki Hati

Saya tidak sedang kampanye, karena itu tidak saya tambahi “Nurani” di belakangnya. Karena kata itu ditambah kata terakhir dari judul sekarang sudah jadi nama partai politik (parpol). Juga tidak sedang melantunkan lagu lawas dari Aa’ Gym, “Jagalah Hati”. Tapi di sini benar-benar hati yang kita kenal sebagai tempatnya “budi” yang bukan Budiono apalagi Budi Anduk. :)

Penyucian hati menjadi sarana bagi para pemeluk teguh (true believer) hampir semua agama. Cara ritualnya saja yang berbeda-beda. Yang saya herankan, kenapa semua pemimpin kita mengesankan begitu patuh pada agama di hadapan publik. Apakah pencitraan sebagai “orang saleh” merupakan sebuah keharusan?

Pertanyaan itu rupanya akan mendapat jawaban ya, meski untuk pastinya perlu survei. (Mungkin LSI berminat?) Namun singkatnya, jawabannya ya karena negara kita adalah negara yang “Berketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila ingin mendapat suara terbanyak dari pemilih yang mengaku beragama, maka kesalehan menjadi sebuah standar baku.

Meski kalau mengingat tulisan “mbah” Clifford Geertz, masyarakat Jawa (karena subyek penelitannya memang orang Jawa, tapi kita juga bisa menjustifikasi karena penduduk Jawa adalah mayoritas) sebagian besar adalah abangan dan bukan santri, namun ternyata para abangan ini tetap merasa dirinya beragama. Tidak ada orang suku tertentu yang pulaunya baru saja dibangunkan jembatan itu yang mau disebut bukan Islam misalnya, padahal ada saja yang gemar minum tuak dan main perempuan sejak zaman Sakerah.

Bisa jadi, karena keengganan disebut “tidak beragama” itulah, kemudian faktor kesalehan formal dipandang masih sangat berperan. Karena itu, kemudian isyu agama dari istri calon pemimpin bangsa diperbincangkan. Juga atribut formal yang menunjukkan kesalehan seolah menjadi nilai tambah. Pemilih diharapkan terpukau oleh penampilan kesalehan para calon pemimpinnya.

Padahal, pemimpin yang “memiliki hati” tidak cukup yang memamerkan kesalehan formal saja. Tidak cukup yang menangis dan menyebut dirinya “Cut Nyak” di hadapan orang Aceh, tidak cukup yang meninjau gempa sambil main gitar, melainkan mereka yang benar-benar “hatinya untuk rakyat”. Barangkali, secara sinergis kita dapat mengambil pedoman “Tahta Untuk Rakyat”-nya Sri Sultan Hamengkubowono IX. Artinya, di dalam hatinya, ia selalu berpikir tentang rakyat. Pikiran, dalam pandangan filsafat dan agama, sebenarnya adalah hasil karya otak dan hati. Hasil karya otak bernama rasio, hasil karya hati adalah intuisi. Keduanya selaiknya dipadukan agar menghasilkan tindakan cemerlang.

Saya lantas mengambil satu buku di rak berjudul Soul Inc.: The Art of Managing From Within karya Moid Siddiqui. Dalam buku itu, penulisnya membicarakan bagaimana membangun suatu perusahaan sebagai sebuah organisasi dengan hati. Negara, pada dasarnya juga sebuah organisasi. Hanya saja, berbeda dengan perusahaan, tujuan negara adalah menyejahterakan rakyatnya. Meski mengharapkan surplus perdagangan misalnya, namun perdagangan antar negera tidak melulu menempatkan profit sebagai hal teratas.

Ada satu kutipan yang bagi saya menarik:
“Values, virtue and wisdom dwell in our heart. Intellectual impulses are the product of the mind. Only when the heart joins the mind, can one understand the new paradigm and which I call ‘authentic performance’ through heartware.”

Anda pasti tahu artinya, jadi saya tak merasa perlu menerjemahkannya. Intinya, kalau pemimpin punya hati, dia pasti akan bisa merasa. Merasakan penderitaan dan perjuangan hidup rakyatnya. Itu bukan berarti dia harus sama miskinnya dengan rakyat, tapi salah satu tindakannya adalah dia harus tidak memamerkan kemewahan di saat rakyat sedang menderita. Pemimpin dengan hati adalah pemimpin yang peka pada kebutuhan rakyat dan kepentingan negara. Pendek kata, ia adalah pemimpin yang memiliki hati yang menelurkan budi yang tinggi (saya sengaja tidak menggunakan kata “berbudi” biar tidak dikira memihak salah satu pasangan capres).

Ia tidak hanya mampu mengatur masalah-masalah makro atau strategis, namun juga memahami apa saja yang sebenarnya menjadi jeritan rakyat. Ada banyak contoh dari para pemimpin besar soal ini. Misalnya khazanah Islam ada Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang senang keluar malam dengan menyamar untuk mengetahui kebutuhan rakyat. Tentu saja, mengatur Indonesia dengan sekitar 220 juta penduduk ini beda dengan mengatur polis ala Romawi. Namun, seyogyanya pemimpin negara kita harus mampu membuat suatu sistem intelijen yang tidak cuma mencari musuh di kalangan rakyat, tapi juga digunakan untuk mengetahui apa sebenarnya kehendak rakyat.

Intinya, pemimpin dengan hati akan mampu menangkap jeritan rakyat, tidak cuma percaya laporan pejabat. Pemimpin dengan hati tidak akan tega membiarkan rakyatnya kelaparan sementara ia sendiri hidup bermewah-mewah. Pemimpin dengan hati tidak akan mau memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri sendiri atau teman-kerabatnya. Memang, tidak akan seideal konsep “Filsuf Raja” ala Plato atau “Pandita Ratu” yang konon dicetuskan oleh Prabu Jayabaya. Akan tetapi, minimal hati itu akan membentengi sang pemimpin dari kecenderungan memuja diri sendiri, berpuas diri, senang menjatuhkan lawan dan tidak senang diberi masukan, serta dari tindakan yang merugikan orang banyak dan negara. Adakah pemimpin macam itu?

[Tulisan ini juga diposting di Politikana dan Kompasiana, 23 Juni 2009, dengan versi Kompasiana sedikit mengalami penghalusan bahasa]

Kamis, 18 Juni 2009

Isyu Utama dalam PEMILU

Dari hasil googling, saya menemukan riset yang pernah dilakukan oleh CSIS tahun 2008 lalu. Dalam riset terhadap 3.000 orang responden tersebut dicoba untuk meraba bagaimana pemilih akan menggunakan haknya dalam Pemilu 2009 (saat itu jelas belum Pemilu). Hasil survei tersebut menghasilkan tiga bagian besar: dukungan terhadap partai politik di berbagai kelompok masyarakat, peluang para tokoh nasional untuk memenangkan pilpres 2009, dan isyu-isyu utama bagi pemilih saat ini. Saya tidak mengutip semuanya, hanya menggunakan bagian ketiga dari penelitian tersebut. (untuk melihat hasil lengkapnya, klik di sini).

Menurut survei tersebut, isyu-isyu yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat seperti kemiskinan dan harga kebutuhan pokok akan menjadi perhatian utama masyarakat. Lebih dari 70% pemilih mengatakan isu utama buat mereka adalah harga kebutuhan pokok dan kemiskinan. Namun, isyu saja tidak cukup karena penilaian atau perasaan masyarakat terhadap keadaan ekonomi itu juga akan mempengaruhi pilihan politik seseorang. Mereka yang beranggapan kondisi perekonomian sudah membaik, akan cenderung memilih incumbent. Sementara yang tidak tentu sebaliknya.

Ternyata, dalam Pemilu legislatif lalu, perang isyu tidak begitu nampak. Mungkin karena begitu banyaknya parpol yang ikut. Atau, parpol dan para calegnya sibuk mengantisipasi peraturan KPU yang berubah-ubah. Misalnya soal sistem keterpilihan dari nomor urut caleg dalam DPT yang kemudian diubah ke sistem suara terbanyak. Sementara, dalam Pilpres kali ini, tampak sekali adanya perang isyu yang silih berganti. Meski proses kampanye masih berlangsung, saya coba mendaftar isyu utama apa saja yang jadi ‘dagangan’ para calon presiden dan wakil presiden.
  1. Ekonomi: Ekonomi Kerakyatan vs Neo-Liberalisme, Efektivitas Pemerintah dalam Menangani Kasus Perekenomian (soal hutang luar negeri misalnya).
  2. Kemanusiaan: pembelaan untuk Manohara dan Prita, korban lumpur Lapindo.
  3. Agama: Ketaatan beragama para calon, agama istri calon (terutama Budiono), isyu jilbab.
  4. Internasional/Bilateral: Hubungan dengan Malaysia dalam persoalan Ambalat, Manohara dan TKI.
  5. Tenaga Kerja/Perburuhan: Wacana Penghapusan Outsourcing, Perlindungan TKI di luar negeri. (kasus penganiayaan TKI di Malaysia).
  6. Pertahanan/Keamanan: Peran dalam perdamaian di wilayah konflik (Aceh, Ambon, Poso), modernisasi alutsista TNI, peranan industri senjata dalam negeri, kesejahteraan prajurit, menghadapi potensi konflik dengan Malaysia.
  7. HAM: Keterlibatan para calon dalam masalah HAM dalam negeri yang mencuat ke dunia internasional (Prabowo dan Wiranto untuk kasus 1997-1997, SBY untuk Kudatuli 1996).
  8. Kekayaan Calon (Prabowo yang kaya raya, SBY yang sederhana J).
  9. Pendidikan (anggaran pendidikan, nasib guru honorer).
  10. Kesehatan (akses kesehatan yang adil terutama dipicu kasus Prita vs RS Omni International Tangerang).
  11. Seni dan Budaya: perhatian para calon terhadap dunia seni-budaya dan kesejahteraan pekerjanya.
  12. Klaim keberhasilan program pemerintah: BLT, perdamaian di wilayah konflik, BBM, rasio hutang yang turun, stabilitas harga, Suramadu.
  13. Tata Cara Kampanye: pembubaran kampanye oleh Panwaslu terhadap kampanya sahabatmuda pro JK-Wiranto di Semarang, pengusiran Panswaslu oleh Hayono Isman jurkam SBY di Semarang, perusakan atribut kampanye (baliho dan spanduk) JK-Wiranto dan Mega Prabowo di Bekasi, penolakan iklan Mega-Prabowo oleh 9 stasiun TV, penertiban atribut kampanye di tempat terlarang, penggunaan fasilitas negara oleh calon.
  14. Kesejahteraan rakyat: harga naik, barang susah, rakyat miskin, pekerjaan sulit.
  15. Isyu lain: Seperti  peran parpol (terutama dalam pemilihan Calon Wakil Presiden Budiono pilihan SBY), dana kampanye dan keterlibatan konsultan, kesalahan ucap pendukung calon (kasus Ruhut dan Mubarok).
  16. Mungkin masih ada yang lain, tapi terlewat atau terlupakan oleh saya. Yah, namanya juga manusia.
Dari banyaknya isyu yang direspon para calon, tampaknya malah kesejahteraan rakyat walau pasti jadi dagangan utama malah jadi jarang dibicarakan. Tenggelam dalam tiga isyu besar:
  1. Kontroversi pemilihan Budiono dan latar belakangnya.
  2. Ekonomi Kerakyatan versus Neo-Liberal (Neolib).
  3. Pro-kontra klaim keberhasilan program pemerintah.
Kalau mau disimpulkan, tampaknya isyu kampanye yang digulirkan tidak terencana dan hanya reaktif belaka. Bagi saya pribadi, juga belum menyentuh persoalan dasar rakyat, yaitu bagaimana mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Artinya, sebagian besar masih sebatas retorika konsep abstrak dan belum tampak program nyatanya. Mustinya, tim sukseslah yang bertugas mengimplementasikannya, agar para calon yang sudah padat jadwalnya tidak kerepotan. Tapi nyatanya, tim sukses tampaknya juga jalan sendiri-sendiri. Jadi, bagaimana nasib bangsa ini ke depan?

[Tulisan ini juga diposting di Politikana, 18 Juni 2009]

Rabu, 17 Juni 2009

Faktor Keturunan & Spiritual Capres: Penting Nggak Sih?

Terus menerus membaca media nasional terbitan Jakarta terkadang membuat informasi terasa senada. Kebetulan kantor saya tiap pekan selalu dikirimi mingguan Minggu Pagi yang terbit di Yogyakarta, sebagai salah satu media dalam jaringan Kedaulatan Rakyat.  Artikelnya memberi warna berbeda bagi saya. Misalnya dalam edisi pekan ini saya membaca dua artikel menarik terkait capres. Satu artikel berjudul:  "GBPH Prabukusumo: SBY Keturunan Sri Sultan HB III" di halaman 2, satu lagi artikel berjudul "Suksesi Wahyu Keprabon ke Istana" yang merupakan resensi buku Belajar Spiritual Bersama The Thinking General di halaman 10. Secara ringkas, artikel pertama menyatakan SBY merupakan keturunan kraton sehingga layak jadi panutan. Sementara artikel kedua menyebutkan "kesenangan memburu wahyu (sesuai pemahaman budaya Jawa) juga dilakukan oleh SBY yang berorientasi kepada hidup arif bijaksana, selaras dengan kata Jawa yakni: berbakti dan manembah (menyembah) kepada Sang Pencipta Kehidupan."

Mengingat Minggu Pagi terbit di DIY dan Jawa Tengah, maka saya asumsikan pembacanya kebanyakan orang Jawa. Sehingga, saya lantas jadi bertanya-tanya, memangnya seberapa penting faktor keturunan dan spiritual bagi capres, terutama bagi orang Jawa? Bukan hendak sektarian atau rasis, namun harus diakui faktanya orang Jawa dan penduduk pulau Jawa masih mayoritas di Indonesia. Kecuali, nanti kalau ramalan Ronggowarsito benar, maka barulah "wong Jowo kari separo" (orang Jawa tinggal separuh).

Setelah tanya sana-sini dan riset kecil-kecilan -tentu ini bukan survei - setidaknya saya bisa mendapatkan gambaran, bahwa bagi orang Jawa tradisional terutama di kawasan pedesaan, kedua dimensi ini "penting bangeet". Disebabkan dalam filsafat Jawa yang tergolong filsafat timur mengutamakan keharmonisan dengan alam dan unsur-unsurnya, maka dua faktor itu dianggap penting karena secara langsung dianggap berpengaruh terhadap tataran makro kosmos bangsa.

Unsur keturunan ini rupanya memang dianggap penting bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Habibie misalnya, saat menjabat presiden sampai pernah mengaku sebagai keturunan Jawa dari ibunya. Apalagi, ada filosofi bibit, bobot, bebet saat seseorang akan memilih jodohnya. Bibit atau keturunan jelas dipandang penting.  Seorang yang memiliki garis keturunan bangsawan dipandang mewarisi sikap ksatria dan nilai-nilai luhur lainnya.

Demikian pula unsur spiritual pun member arti tak kalah penting. Tentu spiritual beda dengan religius. Yang kedua selalu terkait agama formal, sementara seorang ateis sekali pun tetap bisa berlaku spiritual. Menurut Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, kecerdasan spiritual adalah kemampuan orang untuk memberi makna dalam kehidupan. Dengan demikian, seseorang yang berupaya menaati moral atau etika serta menggunakan hidupnya untuk sesuatu yang bermanfaat bagi manusia lain dan alam bisa disebut spiritual. Apalagi, dalam sistem religi dan filosofi Jawa, Tuhan "Kang Murbeng Dumadi" dianggap tidak mempersoalkan "ritual panembah" yang bagi religi atau agama formal sangat penting.

Implikasi penerapan filosofi Jawa kepada SBY, adalah kemudian muncul pula antithesis terhadap mereka yang dianggap tidak "njawani. Misalnya, luas beredar isyu yang menggambarkan Jusuf Kalla itu ibarat Betara Kala bagi SBY. Karena dengan adanya JK sebagai wapres, bak menciptakan "matahari kembar" atau dualisme kepemimpinan yang tabu bagi kepercayaan Jawa. Dan rupanya bagi orang Jawa tradisional yang tinggal di pedesaan, stigma pencitraan ini akan berpengaruh bagi pola pikir mereka. Apalagi, seingat saya di tahun 2004 SBY dicitrakan sebagai "Ratu Adil" yang ditunggu. Gaya Jusuf Kalla yang ceplas-ceplos dan "slonong boy" juga dianggap "ora ilok" bagi kebanyakan masyarakat Jawa tradisional. Betara Kala, just fyi, adalah simbolisasi kejahatan dalam filosofi Jawa. Sebagai antithesis, pastinya dianggap tidak "njawani". Karena itu, bisa dipastikan mereka akan tetap memilih capres yang dianggap "njawani".

Hal ini diperkuat dengan hasil survei dan riset internal pendukung capres-cawapres bahwa memang masyarakat Jawa tradisional terutama di pedesaan masih belum bergeser dari dukungan kepada SBY. Citra pemimpin yang ditampilkan di iklan televisi sebagai "bapak pengayom keluarga yang taat pada Tuhan" merupakan hasil dari pengejawantahan alam pikiran patronisme patrilineal yang juga dianut masyarakat Jawa tradisional. Maka, meski terkesan irrasional bagi kita yang berpendidikan, melek internet dan tinggal di kota besar, dua hal itu ternyata masih dipandang penting oleh akar rumput. Dan jumlah pemilih akar rumput jelas jauh lebih besar daripada pemilih kelas menengah-atas. Sehingga, sudah selayaknya bila tim sukses kedua pasang capres-cawapres lain membuat pencitraan tandingan terhadap incumbent atas isyu keturunan dan spiritualisme ini. Bisa jadi hal ini luput dari perhatian, padahal dipandang penting oleh rakyat kebanyakan.

[Tulisan ini juga diposting di Politikana, 17 Juni 2009].

Senin, 15 Juni 2009

Perlunya Kejelasan Identitas Penulis

Dalam tulisan-tulisan yang muncul di berbagai situs internet, terutama yang berbau politik atau menyangkut kepentingan umum, nama penulisnya sering sekali ditulis sebagai anonim atau tanpa identitas jelas, misalnya dengan menggunakan "nick name". Memang, anonimitas di internet adalah hak yang di A.S. bahkan dijamin dengan UU. Akan tetapi, harus disadari media yang memberlakukan azas ini secara penuh akan berkurang kredibilitasnya. Tidak ada media massa terkemuka yang merahasiakan sumbernya tanpa alasan jelas. Apalagi, kalau sumbernya sendiri yang menulis tanpa identitas jelas.

Media massa dengan reputasi tinggi jelas hanya akan memuat tulisan dari mereka yang memiliki reputasi pula. Reputasi di sini tidak harus terkenal, tapi kompeten di bidangnya. Tidak diungkapnya identitas narasumber atau penulis biasanya karena alasan keselamatan. Namun, redaksi pasti tahu siapa sebenarnya nara sumber atau penulisnya. Jadi, tidak dibenarkan redaksinya bahkan tidak tahu siapa nara sumber atau penulisnya. Dalam hal ini, andaikatapun pengadilan memanggil redaksi yang diwakili pemimpin redaksi (pemred)-nya, sang pemred tetap dapat menolak mengungkapkan siapa sebenarnya nara sumber suatu tulisan. Hak ini disebut "hak tolak" dan diakui oleh hampir semua negara terutama yang menganut sistem demokrasi liberal.
Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya The Rise of Anonymous Sourcing, hanya ada 7 kriteria yang dapat membenarkan penggunaan sumber anonim atau disembunyikan identitasnya. Ketujuh kriteria itu adalah:
  1. Sumber tersebut berada pada lingkaran pertama berita. Dia bisa pelaku, korban, atau saksi mata.
  2. Keselamatan sumber terancam bila identitasnya dibuka.
  3. Motivasi sumber murni untuk kepentingan publik. Bukan lempar batu sembunyi tangan.
  4. Integritas sumber utuh. Orang yang suka berbohong tidak diberi status anonim.
  5. Harus seizin redaktur.
  6. Keterangan anonim sumbernya minimal dua atau bisa diverifikasi secara independen.
  7. Perjanjian keanoniman akan batal dan nama sumber dibuka bila terbukti berbohong atau sengaja menyesatkan
Kesemua kriteria itu adalah upaya perlindungan nara sumber oleh redaksi dengan menjadikannya anonim dalam penulisan berita. Sebaliknya, menurut kaidah jurnalistik universal, suatu opini haruslah diketahui jelas siapa penulisnya. Ini agar pelanggaran terhadap kaidah nomor 3 di atas tidak terjadi. Sementara, saya memperhatikan di politikana.com ini banyak sekali penulis tanpa identitas. Padahal, biasanya penulis anonim itu justru yang keras tulisannya.

Agar politikana.com makin berkualitas, apalagi sekarang masih versi beta, perlu diadakan razia identitas penulis. Atau cara lain, bila memang masih mau mengakomodir penulis dengan "nickname", adalah memberikan tingkatan. Misalnya penulis yang terpercaya dan dikenal luas reputasinya diberi rank "gold" atau "master" atau apalah. Sementara yang tetap mempertahankan "nickname" mendapat rank jauh di bawahnya.Buat saja ada 10 tingkat kepenulisan misalnya.

Demikian pula dengan sistem rating yang saat ini seenaknya dan tidak adil, seharusnya terdapat pengimbang dengan sistem juri yang dipilih oleh redaksi politikana.com. Di Indonesia, sering sekali orang yang seharusnya berkualitas tidak mendapat tempat, semata karena adanya sistem penilaian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya dalam pemilihan "bintang televisi via sms", apapun jenis pemilihannya. Sering sekali mereka yang lebih layak menang harus kalah karena mendapat sms lebih sedikit. Apalagi di internet, trolling amat mungkin terjadi. Penggunaan identitas lebih dari satu untuk menaikkan rating dirinya sendiri atau kenalannya mudah sekali dilakukan.

Bagaimana bisa misalnya, tulisan yang ditulis serius mendapat rating lebih jelek dari tulisan yang dibuat asal saja? Contohnya seperti tulisan hari ini oleh seseorang dengan identitas tidak jelas. Lebih-lebih isi tulisan dengan rating tinggi itu cuma omong kosong bercerita soal kondisi dirinya. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan politik sesuai visi politikana.com.

Maka, kalau politikana.com mau jadi rujukan para politikus dan pengambil kebijakan, bukan cuma orang-orang frustrasi yang gemar memaki, mencaci sambil kritik sana-sini atau curhat tentang dirinya, seharusnya dimoderasi lebih ketat. Identitas penulis harus jelas. Karena bagaimanapun, tulisan opini seperti di politikana.com adalah produk jurnalisme. Maka, sudah seharusnya pula patuh pada kaidah jurnalisme sejati. Barulah politikana.com layak menjadi rujukan.

[Tulisan ini pertama kali diposting di Politikana, 15 Juni 2009]

Jumat, 12 Juni 2009

Direktur dan Wartawan Dibunuh, Lalu Siapa Lagi?

Keriuhan kampanye Pilpres dan isyu-isyu yang dilontarkan tim sukses meredam pemberitaan berbagai kasus yang masih bergulir. Sebutlah kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Direktur PT Rajawali Putra Banjaran. Kasus ini besar karena diduga melibatkan sejumlah ‘orang penting’ termasuk Ketua KPK Antashari Azhar. Untuk kasus ini, anehnya pemberitaan media lebih mengetengahkan sisi ‘infotainment’-nya berupa dugaan motif pembunuhan yaitu cinta segitiga dengan ‘aktrisnya’ Rani Juliani. Padahal, ada dugaan motif lain yang terkait soal politis. Kemarin saya sempat melihat ada koran yang memajang kepala berita (headline) ala infotainment lagi soal perkembangan kasus ini, katanya “Rani Muncul Berjilbab” (Rakyat Merdeka). Namun secara umum, kasus ini perlahan surut dari perhatian media massa dan publik.

Apabila kasus yang bertaraf nasional saja sudah menghilang dari ingatan kolektif masyarakat, lalu bagaimana dengan kasus lain yang dianggap ‘bertaraf lokal’? Ada satu kasus pembunuhan wartawan Radar Bali (IndoPos group) pada tanggal 11 Februari 2009 lalu, yang hingga kini masih berlangsung proses penyidikannya. Sebenarnya, kasus ini pun sarat makna. Karena otak pembunuhannya sudah diketahui dan ditahan, yaitu I Nyoman Susrama. Nama ini penting karena ia adalah seorang pengusaha sekaligus adik kandung Bupati Bangli I Nengah Arnawa. Motifnya diduga karena masalah pemberitaan yang dianggap merugikan pelaku. Saat ini, rasanya hanya jaringan media milik IndoPos saja yang masih gencar memberitakan kasus ini. Hal ini jelas berbeda dengan peristiwa pembunuhan terhadap Udin (Fuad Muhammad Syafruddin-wartawan Bernas) pada tahun 1996 yang dibela hampir semua media massa.

Surutnya perhatian publik pada kedua kasus hukum tersebut sebenarnya menyedihkan. Tapi apa mau dikata, ada berita-berita baru yang ‘lebih seksi’. Tidak hanya kampanye Pilpres, tapi juga masalah Ambalat, Manohara, penyiksaan TKW, Prita vs RS Omni, jatuhnya pesawat dan helikopter TNI, hingga persiapan HUT kota Jakarta. Konon, memang ingatan kolektif masyarakat hanya akan bertahan selama dua minggu. Apalagi di era banjir informasi seperti ini. Kondisi ini oleh Taufik H. Mihardja dalam tulisannya di Kompasiana 9 Juni 2009 lalu disebut sebagai “carried away”.

Kecuali kita percaya pada teori konspirasi dimana ada pihak yang mampu melakukan manajemen isyu begitu dahsyatnya, rasanya hampir semua pergantian isyu yang menjadi perhatian publik terjadi secara alami. Karena isyu yang dilontarkan haruslah dibuat oleh pihak yang begitu mengerti mengenainya. Misalnya, mudah saja seorang Manohara membuat konferensi pers dan menceritakan mengenai masalahnya dan kemudian jadi berita. Yang hampir muskil dibuktikan adalah, apakah benar Manohara melaksanakan agenda setting dari pihak yang amat berkuasa itu tadi? Kemuskilan menjawab pertanyaan tadi membuat dugaan adanya manajemen atau pengalihan isyu menjadi tidak berdasar lagi.

Saya justru lebih prihatin pada maraknya kasus pembunuhan yang terungkap justru pasca reformasi. Padahal, dulu kita mencerca Soeharto dan rezim Orde Barunya sebagai penguasa otoriter yang gemar menghilangkan nyawa orang. Mulai dari Tragedi Priok, Peristiwa Lampung, DOM di Aceh, operasi militer di Timor-timur, Tragedi Santa Crus, hingga Petrus. Namun semua yang dituduhkan sebagai peristiwa pembunuhan tersebut dilakukan penguasa kepada rakyatnya. Namun kini, tampaknya sesama rakyat malah makin mudah membunuh. Padahal, penguasanya jelas sudah tidak sekuat rezim Orde Baru dan Soeharto lagi sehingga peristiwa seperti di atas tidak terjadi lagi.

Friksi antar elemen masyarakat justru makin kerap muncul ke permukaan. Sebutlah misalnya dalam konflik yang terjadi di Poso atau Ambon di mana juga terjadi penghilangan nyawa orang lain secara paksa. Bahkan dalam persoalan sederhana seperti pertengkaran sewaktu menonton pertunjukan musik bisa berakhir dengan pembunuhan. Nyawa manusia seakan menjadi begitu murahnya. Ini membuat kita selayaknya berpikir, apabila seorang direktur dan wartawan yang notabene memiliki status sosial tertentu di masyarakat saja pembunuhannya begitu mudah dilakukan oleh mereka yang merasa dirugikan, bagaimana pula dengan rakyat biasa?

[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 12 Juni 2009].

Kualitas Anggota DPR: Anak TK atau ....?

"Males saya, duduk bareng sama orang-orang ..........," itulah sentilan yang diberikan seorang mantan menteri yang juga pernah menjadi anggota DPR, saat hari ini ia ditanya mengapa mengundurkan diri dari jabatannya di parlemen periode 2004-2009.  Titik-titik di atas tentu bisa Anda isi sendiri dengan apa pun. Karena kalau saya tuliskan kata apa aslinya yang disebutkan, bisa-bisa saya dibui seperti Prita Mulyasari.

Apalagi kata itu jelas kata yang berkonotasi merendahkan. Dan ungkapan tersebut dikatakan yang bersangkutan dalam forum internal, bukan untuk konsumsi publik. Jadi, mohon maaf kalau ungkapan asli dan nama yang bersangkutan saya sembunyikan. Saya gunakan ungkapan itu semata sebagai lead penarik bagi apa yang hendak saya bahas berikutnya.

Saya jadi ingat saat Gus Dur sebagai Presiden RI mengatakan "DPR seperti Taman Kanak-kanak". Saat itu, banyak anggota DPR yang "kebakaran jenggot". Mereka mencak-mencak dibilang seperti TK. Sampai-sampai terjadi polemik antara anggota DPR dan Gus Dur, bahkan merembet hingga kelembagaan antara DPR dan Presiden. Gus Dur tidak pernah minta maaf, tapi cuma menjelaskan dengan gaya guyonnya. Dan polemik kemudian tertutupi oleh isyu lainnya.

Anggota DPR terpilih untuk periode 2009-2014 sebenarnya sudah ditetapkan oleh KPU. Akan tetapi, karena adanya keputusan dari MK, maka terjadi perubahan komposisi perolehan kursi. Walau begitu, berdasarkan data yang tersedia, komposisi anggota DPR periode mendatang diperkirakan setengahnya diisi muka-muka baru.

Kualitas anggota DPR-RI yang penuh 'muka baru' ini lantas dipertanyakan kualitas dan integritasnya. Bukan, kita bukan bicara soal intelektualitas atau segudang persyaratan normatif lain. Karena kalau hal itu pasti semuanya sudah lolos karena tahapan verifikasi untuk DCT terlampaui, malah kemudian terpilih.

Yang kita bicarakan adalah mengenai kualitas mereka sebagai negarawan dan politisi. Seperti kita semua tahu, tidak semua anggota DPR adalah politisi karier. Banyak di antaranya yang semula berprofesi lain, dan barangkali akan tetap melanjutkan profesinya meski sudah terpilih sebagai anggota DPR. Kondisi ini menyebabkan banyak di antaranya yang bahkan tidak mengerti apa saja tugas dan fungsi mereka kelak sebagai anggota. Bahkan ada selebritis dunia hiburan yang dengan terus terang mengakui di sebuah media cetak nasional bahwa ia tidak mengerti dunia politik, padahal dia dipastikan masuk Senayan! Solusinya, yang bersangkutan hendak mencari "kursus politik". Memang ada ya?

Terlepas dari itu, alih-alih ribut menyiapkan pembekalan bagi anggota DPR baru yang masih "hijau", Sekertariat Jenderal DPR malah sibuk mempersiapkan cincin emas sebagai "tanda mata" bagi anggota DPR periode ini yang akan segera melepaskan jabatannya. Padahal, jelas tradisi yang "nggak penting-penting amat" itu adalah sebuah pemborosan. Sekitar Rp 5 milyar dana disiapkan untuk kenang-kenangan itu.

Alangkah baiknya hal itu dialihkan untuk melakukan pembekalan bagi anggota DPR. Pembekalan itu berupa training intensif oleh para pakar. Bahkan, akan lebih baik bila ada ujiannya sekalian. Mereka yang tidak lulus ujian diberi status sebagai "anggota DPR percobaan". Ini persis dengan cara kita memperlakukan mahasiswa atau karyawan.

Anggota DPR adalah SDM (Sumber Daya Manusia). Lalu mengapa pula standar kompetensi SDM yang sudah diterapkan secara luas di dunia usaha tidak bisa diterapkan pada anggota parlemen? Malah, seharusnya dari proses seleksi di tingkat parpol sudah ada seleksi ala pegawai. Terbukti, di sejumlah daerah, calon anggota legislatif terutama dari parpol kecil banyak yang pengangguran. Dengan demikian, menjadi anggota parlemen pun sebuah pekerjaan menggiurkan.

Selain itu, perlu pula diterapkan sistem penilaian berkala. Tanpa perlu ada pengunduran diri atau penarikan dari parpol, BK DPR (atau lembaga lain yang bisa dibentuk kemudian) seharusnya punya kewenangan menilai kinerja anggota DPR. Sebagai contoh, seorang calon presiden dalam Pilpres kali  ini di saat menjadi anggota DPR dua periode di masa Orde Baru ternyata memiliki jumlah absensi yang lebih banyak daripada presensinya. Bila hal itu terjadi di periode mendatang, seharusnya ada sanksi yang bisa diterapkan. Sistem Surat Peringatan (SP) dari dunia kerja mustinya bisa pula diterapkan, sebelum akhirnya dipecat bila melakukan pelanggaran berat.

Ini jelas terkait masalah integritas tadi. Sehingga tidak cuma anggota DPR yang terkait persoalan moral pornografi seperti Max Moein dari PDIP yang bisa dipecat, tapi juga terkait pelanggaran integritas lain. Selain soal absensi dan kinerja, juga tentunya masalah korupsi, kolusi, manipulasi, dan nepotisme.

Bila standar kompetensi ini benar-benar diterapkan, niscaya kualitas dan integritas anggota DPR (termasuk pula DPRD) akan meningkat. Tentunya, perlu anggaran khusus untuk ini. Asal jangan sampai, untuk urusan penerapan standar kompetensi SDM anggota parlemen ini lantas terjadi lagi "pengaturan" tertentu oleh pejabat Setjen dan anggota DPR yang diberi tugas. Kalau begitu ya sama saja bohong dong!

[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 12 Juni 2009]

Rabu, 10 Juni 2009

Emang Enak Jadi Tim Sukses?

Hiruk-pikuk kampanye Presiden akan makin semarak Rabu malam ini, saat Deklarasi Kampanye Damai ketiga pasangan capres-cawapres dilaksanakan. Deklarasi ini sudah beberapa kali mengalami perubahan jadwal karena mengikuti jadwal padat Presiden SBY yang juga calon presiden incumbent. Dan tentunya selain pasangan capres-cawapres, tim sukses juga akan sibuk dengan jadwal kampanye. Apalagi, jelas tidak mungkin seluruh daerah dikunjungi capres-cawapres saat kampanye yang hanya berlangsung sekitar 1 bulan. Maka di situlah peran juru kampanye dan anggota tim sukses lainnya untuk mengisinya.

Masuk menjadi anggota tim sukses Pilpres memang susah-susah gampang. Harus tahu ‘pintu masuk’nya dan punya ‘kunci pintu’nya agar bisa diingat. Maklum, bila sudah Pilpres, akan terjalin koalisi lintas partai, dan di sinilah seninya agar bisa tampil di tengah-tengah begitu banyak kepentingan.

Saya sendiri termasuk tim sukses salah satu pasangan capres-cawapres, dan barangkali belum pernah ada anggota tim sukses yang menceritakan bagaimana kinerja tim dalam mempersiapkan kesuksesan pasangan yang diusungnya.  Maka, izinkan saya membuka sedikit saja cerita dari ‘balik dapur’ ini.

Menjadi tim sukses, berarti harus siap berinteraksi dengan aneka ragam manusia lengkap dengan motivasinya masing-masing. Memang, banyak yang berkeinginan masuk untuk mencari proyek atau kedudukan. Kalau yang ‘muka proyek’, kebanyakan di level pelaksana lapangan, sementara yang mencari kedudukan, lebih ke level konseptor. Namun, jangan salah, banyak pula relawan yang menyumbangkan tenaga, pikiran bahkan hartanya secara sukarela. Mereka yang masuk kategori ini biasanya sudah memiliki banyak hal dalam hidupnya, dan tinggal mencari aktualisasi diri. Atau bisa jadi mereka begitu cocoknya dengan figur atau visi-misi capres-cawapres bersangkutan sehingga rela memberikan sumbangsihnya.

Motivasi ini baru akan terlihat bila ada pembicaraan mengenai anggaran untuk pengadaan barang dan jasa. Seperti halnya di instansi manapun, di tim sukses pun ada yang bertugas mengurusi hal ini. Dan biasanya posisi-posisi inilah yang diincar. Baik diincar untuk diduduki atau didekati. Ada banyak ragam pengadaan untuk keperluan kampanye mulai dari atribut, akomodasi, transportasi, konsumsi, hingga iklan.  Bak pepatah ada gula ada semut, tempat yang ramai didatangi ‘pembawa proposal’ itulah tempat yang ‘manis’. Dan tim sukses biasanya memilih figur kuat berpengalaman untuk menduduki posisi ini, dan jelas punya akses langsung ke ketua tim sukses atau malah pasangan capres-cawapres.

Salah satu petinggi tim sukses kami dalam suatu rapat pernah mengatakan, citra tim sukses ini bagi orang luar seperti “rombongan orang banyak duit mau bagi-bagi”. Padahal, banyak posisi yang ‘tidak manis’ malah sepertinya cenderung kena ‘getah’ saja. Banyak dukungan dari relawan yang bukan saja tidak minta bayaran, tapi malah menyumbangkan apa yang dimilikinya. Mereka tidak pernah tampil di media, tidak jadi tambah kaya, tapi memang berdedikasi karena pasangan capres-cawapres yang didukungnya sesuai dengan aspirasinya. Dan tentu saja, seperti halnya di instansi mana pun, kelembagaan tim sukses meski cuma dibentuk secara temporer akan memperhitungkan setiap pengeluaran uang. Maka, jelas citra “rombongan orang banyak duit mau bagi-bagi” itu keliru.

Di samping masalah dana yang dihitung cermat, kendala terbesar dalam tim sukses justru masalah koordinasi. Bagi para petinggi, hal itu memang semudah menelepon. Namun bagi para pelaksana lapangan seperti saya, kesulitannya adalah menembus akses antar tim pendukung. Karena ada banyak tim yang bergerak dipimpin oleh orang penting masing-masing. Yang namanya akses itu sulit dibuka, bahkan ke sesama anggota tim sukses. Sebagai contoh kasus, untuk mendapatkan logo resmi tim kami saja, saya harus pontang-panting mencari ke sana-ke mari. Itu bisa jadi karena saya dianggap “bukan siapa-siapa”. Untuk meminta data dan informasi antar sesama tim juga cukup sulit. Ini masih ditambah adanya polarisasi tak terhindarkan antar pihak dalam tim sukses. Jadi, kalau ada sebutan “Si A” itu orangnya “Pak B”, sangat wajar terjadi. Ini tentu karena tim sukses terdiri dari berbagai unsur. Dan karena adanya polarisasi tadi, tak jarang terjadi embargo untuk yang dianggap ‘bukan kalangan sendiri’.

Apabila markas tim sukses ada di beberapa lokasi, juga menambah ’seni’ tersendiri. Apalagi memang markas-markas itu adalah sumbangan dari pribadi-pribadi atau parpol yang mendukung pasangan capres-cawapres. Tiap markas biasanya juga jadi markas tim pendukung yang terpisah. Artinya, otoritasnya nyaris mutlak. Meski, tentu saja ada koordinasi antar markas di tingkat petingginya, namun di tingkat pelaksana antar anggota yang jadi pendukung bisa jadi tidak saling mengenal dan ini menyulitkan koordinasi.

Sukanya tentu saja ada di soal aktualisasi diri. Menjadi tim sukses berarti memiliki kesempatan untuk bertemu orang-orang penting. Apa yang hendak dilakukan dengan orang-orang penting itu selanjutnya, tentu tergantung kejelian masing-masing untuk mengoptimalkan. Namun, setidaknya dengan menjadi anggota tim sukses, bagi orang biasa seperti saya itu berarti kesempatan untuk memperkenalkan diri pada beberapa figur yang selama ini hanya bisa saya amati dari jauh lewat media massa.  Dan itu sangat berharga karena di keseharian untuk bertemu mereka tentu harus melalui lapisan protokoler yang rumit.

Pada akhirnya, menjadi tim sukses buat saya adalah sebuah pembelajaran besar. Tidak hanya tentang sistem politik, demokrasi dan ketatanegaraan kita, tapi lebih dari itu adalah mengenai seni interpersonal, mengenali karakter orang lain, serta seni mengelola kepentingan dan konflik. Maka, benarlah adagium yang terkenal itu: “Dalam politik tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan.”

[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 10 Juni 2009]

Selasa, 09 Juni 2009

Menilik Kembali Kasus Prita vs RS Omni International

Kasus Prita Mulyasari melawan RS Omni International telah keluar jauh dari koridor hukum. Bermula dari keluhan seorang individu atas pelayanan sebuah institusi, kasus ini kemudian menarik perhatian publik dan para pejabat, semata karena penggunaan kekuatan berlebihan dari institusi yang merasa dirugikan nama baiknya. Ibarat membunuh tikus dengan membakar rumah, RS Omni International tidak hanya menggunakan hak jawabnya secara massif dengan memasang iklan besar di harian Kompas dan Media Indonesia pada 8 September 2008, tapi juga menuntut Prita Mulyasari dengan tuduhan perdata dan pidana sekaligus. Padahal, semua itu bermula dari sebuah e-mail pribadi yang ditujukan kepada teman-teman si penulis sendiri. Artinya, tindakan Prita selain dijamin UU No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen, juga masuk dalam ranah privat dan bukan ranah publik.

Tersebarnya e-mail Prita Mulyasari secara luas di internet, seharusnya dicari siapa yang menyebarkan e-mail pribadi tersebut. Meski tidak tertutup kemungkinan Prita sendiri yang menyebarkan, namun amat mungkin ia sendiri juga tidak tahu-menahu. Perlu penyidikan untuk soal ini.

Dalam masalah ini, ada dua hal besar yang harus dipisahkan. Pertama: persoalan hukum, kedua, rasa keadilan. Terkadang, hukum itu memang pahit, tapi ia harus ditegakkan. Ingatlah semboyan dunia hukum "Fiat Justitia, Ruat Caelum" - "Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh". Sementara rasa keadilan seringkali terkait dengan emosi dan keinginan untuk menang belaka. Pihak yang menang akan merasa putusan hukum sudah adil, sementara yang kalah seringkali merasa sebaliknya.

Secara hukum, memang perbuatan Prita dapat diindikasikan sebagai "pencemaran nama baik". Masalahnya, kalimat itu saja memang multi-tafsir. Sehingga, pasal 310 dan 311 KUHP yang memuat mengenai delik tersebut sering disebut sebagai "hatzaai artikelen" atau pasal karet. Ini karena begitu mudahnya ia ditarik-tarik ke berbagai arah, mulur-mungkret seperti karet.

Akan tetapi, di sini ada rasa keadilan yang terusik. Apalagi kejadian ini seperti David melawan Goliath dimana Prita yang orang biasa dilawan oleh institusi berkekuatan dana besar. Lagipula, akibat dari "pencemaran nama baik" itu belum terbukti. RS Omni International seharusnya diminta membuktikan bahwasanya selaku penggugat ia mengalami kerugian signifikan diakibatkan tindakan Prita. Apabila tidak terbukti, maka penyelesaiannya sebenarnya tidak perlu dengan penuntutan di pengadilan, melainkan melalui mediasi. Perlu sekali masing-masing pihak menekan egonya agar masalah yang seharusnya bisa selesai dengan musyawarah ini tidak berlarut-larut. Namun bila tidak dicapai kesepakatan, dan memang proses di pengadilan saat ini sudah bergulir, biarkanlah hukum yang berbicara.

Penggunaan pasal 27 ayat 3 UU No. 11/2008 tertanggal 21 April 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) jo pasal 45 ayat 1 UU No. 11/2008 yang disarankan oleh kejaksaan kepada kepolisian sebenarnya juga perlu dipertanyakan. Pasal ini sama karetnya dengan pasal 310 dan 311 KUHP. Sayangnya, uji materiil terhadap pasal ini sudah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi tanggal 5 Mei 2009 lalu. Artinya, pasal ini dianggap tidak salah secara hukum oleh negara.

Namun jelas bagi warga negara, penggunaan pasal tersebut dapat memasung kebebasan berpendapat secara lisan dan tulisan dengan menggunakan saluran apa pun, terutama di dunia maya. Dan seharusnya secara hukum, aturan tersebut selayaknya dibatalkan karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Aturan yang lebih tinggi itu adalah pasal 28 F UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Di masa depan, pemerintahan yang baru seharusnya lebih memperhatikan hal-hal semacam ini. Karena adanya penggunaan kekuasaan berlebihan dari institusi -baik itu milik negara atau swasta- terhadap warga negara dapat mengakibatkan tercerabutnya rasa keadilan masyarakat. Di sisi lain, meskipun terdapat penjaminan hak berbicara dan berpendapat, namun perlindungan hukum agar tidak terjadi penistaan, fitnah, atau pencemaran nama baik terhadap warga negara atau institusi lain juga harus dijamin. Karena itu sebaiknya peran lembaga semacam Dewan Pers harus dioptimalkan, juga edukasi tentang cara penggunaan hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan atas publikasi tertentu melalui media massa atau saluran lain. Dengan demikian, tidak perlu menghabiskan energi terlalu besar bagi pihak-pihak yang terlibat, apalagi merepotkan pihak lain seperti dalam kasus Prita Mulyasari vs RS Omni International. Bila sudah terjadi seperti itu, maka yang terjadi adalah "menang jadi arang, kalah jadi abu". Menang atau kalah sama-sama rugi.

*) Ditulis sebagai Juru Bicara JK-Wiranto

[Tulisan ini juga diposting di Politikana, 9 Juni 2009].