Hiruk-pikuk kampanye Presiden akan makin semarak Rabu malam ini, saat Deklarasi Kampanye Damai ketiga pasangan capres-cawapres dilaksanakan. Deklarasi ini sudah beberapa kali mengalami perubahan jadwal karena mengikuti jadwal padat Presiden SBY yang juga calon presiden incumbent. Dan tentunya selain pasangan capres-cawapres, tim sukses juga akan sibuk dengan jadwal kampanye. Apalagi, jelas tidak mungkin seluruh daerah dikunjungi capres-cawapres saat kampanye yang hanya berlangsung sekitar 1 bulan. Maka di situlah peran juru kampanye dan anggota tim sukses lainnya untuk mengisinya.
Masuk menjadi anggota tim sukses Pilpres memang susah-susah gampang. Harus tahu ‘pintu masuk’nya dan punya ‘kunci pintu’nya agar bisa diingat. Maklum, bila sudah Pilpres, akan terjalin koalisi lintas partai, dan di sinilah seninya agar bisa tampil di tengah-tengah begitu banyak kepentingan.
Saya sendiri termasuk tim sukses salah satu pasangan capres-cawapres, dan barangkali belum pernah ada anggota tim sukses yang menceritakan bagaimana kinerja tim dalam mempersiapkan kesuksesan pasangan yang diusungnya. Maka, izinkan saya membuka sedikit saja cerita dari ‘balik dapur’ ini.
Menjadi tim sukses, berarti harus siap berinteraksi dengan aneka ragam manusia lengkap dengan motivasinya masing-masing. Memang, banyak yang berkeinginan masuk untuk mencari proyek atau kedudukan. Kalau yang ‘muka proyek’, kebanyakan di level pelaksana lapangan, sementara yang mencari kedudukan, lebih ke level konseptor. Namun, jangan salah, banyak pula relawan yang menyumbangkan tenaga, pikiran bahkan hartanya secara sukarela. Mereka yang masuk kategori ini biasanya sudah memiliki banyak hal dalam hidupnya, dan tinggal mencari aktualisasi diri. Atau bisa jadi mereka begitu cocoknya dengan figur atau visi-misi capres-cawapres bersangkutan sehingga rela memberikan sumbangsihnya.
Motivasi ini baru akan terlihat bila ada pembicaraan mengenai anggaran untuk pengadaan barang dan jasa. Seperti halnya di instansi manapun, di tim sukses pun ada yang bertugas mengurusi hal ini. Dan biasanya posisi-posisi inilah yang diincar. Baik diincar untuk diduduki atau didekati. Ada banyak ragam pengadaan untuk keperluan kampanye mulai dari atribut, akomodasi, transportasi, konsumsi, hingga iklan. Bak pepatah ada gula ada semut, tempat yang ramai didatangi ‘pembawa proposal’ itulah tempat yang ‘manis’. Dan tim sukses biasanya memilih figur kuat berpengalaman untuk menduduki posisi ini, dan jelas punya akses langsung ke ketua tim sukses atau malah pasangan capres-cawapres.
Salah satu petinggi tim sukses kami dalam suatu rapat pernah mengatakan, citra tim sukses ini bagi orang luar seperti “rombongan orang banyak duit mau bagi-bagi”. Padahal, banyak posisi yang ‘tidak manis’ malah sepertinya cenderung kena ‘getah’ saja. Banyak dukungan dari relawan yang bukan saja tidak minta bayaran, tapi malah menyumbangkan apa yang dimilikinya. Mereka tidak pernah tampil di media, tidak jadi tambah kaya, tapi memang berdedikasi karena pasangan capres-cawapres yang didukungnya sesuai dengan aspirasinya. Dan tentu saja, seperti halnya di instansi mana pun, kelembagaan tim sukses meski cuma dibentuk secara temporer akan memperhitungkan setiap pengeluaran uang. Maka, jelas citra “rombongan orang banyak duit mau bagi-bagi” itu keliru.
Di samping masalah dana yang dihitung cermat, kendala terbesar dalam tim sukses justru masalah koordinasi. Bagi para petinggi, hal itu memang semudah menelepon. Namun bagi para pelaksana lapangan seperti saya, kesulitannya adalah menembus akses antar tim pendukung. Karena ada banyak tim yang bergerak dipimpin oleh orang penting masing-masing. Yang namanya akses itu sulit dibuka, bahkan ke sesama anggota tim sukses. Sebagai contoh kasus, untuk mendapatkan logo resmi tim kami saja, saya harus pontang-panting mencari ke sana-ke mari. Itu bisa jadi karena saya dianggap “bukan siapa-siapa”. Untuk meminta data dan informasi antar sesama tim juga cukup sulit. Ini masih ditambah adanya polarisasi tak terhindarkan antar pihak dalam tim sukses. Jadi, kalau ada sebutan “Si A” itu orangnya “Pak B”, sangat wajar terjadi. Ini tentu karena tim sukses terdiri dari berbagai unsur. Dan karena adanya polarisasi tadi, tak jarang terjadi embargo untuk yang dianggap ‘bukan kalangan sendiri’.
Apabila markas tim sukses ada di beberapa lokasi, juga menambah ’seni’ tersendiri. Apalagi memang markas-markas itu adalah sumbangan dari pribadi-pribadi atau parpol yang mendukung pasangan capres-cawapres. Tiap markas biasanya juga jadi markas tim pendukung yang terpisah. Artinya, otoritasnya nyaris mutlak. Meski, tentu saja ada koordinasi antar markas di tingkat petingginya, namun di tingkat pelaksana antar anggota yang jadi pendukung bisa jadi tidak saling mengenal dan ini menyulitkan koordinasi.
Sukanya tentu saja ada di soal aktualisasi diri. Menjadi tim sukses berarti memiliki kesempatan untuk bertemu orang-orang penting. Apa yang hendak dilakukan dengan orang-orang penting itu selanjutnya, tentu tergantung kejelian masing-masing untuk mengoptimalkan. Namun, setidaknya dengan menjadi anggota tim sukses, bagi orang biasa seperti saya itu berarti kesempatan untuk memperkenalkan diri pada beberapa figur yang selama ini hanya bisa saya amati dari jauh lewat media massa. Dan itu sangat berharga karena di keseharian untuk bertemu mereka tentu harus melalui lapisan protokoler yang rumit.
Pada akhirnya, menjadi tim sukses buat saya adalah sebuah pembelajaran besar. Tidak hanya tentang sistem politik, demokrasi dan ketatanegaraan kita, tapi lebih dari itu adalah mengenai seni interpersonal, mengenali karakter orang lain, serta seni mengelola kepentingan dan konflik. Maka, benarlah adagium yang terkenal itu: “Dalam politik tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan.”
[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 10 Juni 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar