Jumat, 12 Juni 2009

Kualitas Anggota DPR: Anak TK atau ....?

"Males saya, duduk bareng sama orang-orang ..........," itulah sentilan yang diberikan seorang mantan menteri yang juga pernah menjadi anggota DPR, saat hari ini ia ditanya mengapa mengundurkan diri dari jabatannya di parlemen periode 2004-2009.  Titik-titik di atas tentu bisa Anda isi sendiri dengan apa pun. Karena kalau saya tuliskan kata apa aslinya yang disebutkan, bisa-bisa saya dibui seperti Prita Mulyasari.

Apalagi kata itu jelas kata yang berkonotasi merendahkan. Dan ungkapan tersebut dikatakan yang bersangkutan dalam forum internal, bukan untuk konsumsi publik. Jadi, mohon maaf kalau ungkapan asli dan nama yang bersangkutan saya sembunyikan. Saya gunakan ungkapan itu semata sebagai lead penarik bagi apa yang hendak saya bahas berikutnya.

Saya jadi ingat saat Gus Dur sebagai Presiden RI mengatakan "DPR seperti Taman Kanak-kanak". Saat itu, banyak anggota DPR yang "kebakaran jenggot". Mereka mencak-mencak dibilang seperti TK. Sampai-sampai terjadi polemik antara anggota DPR dan Gus Dur, bahkan merembet hingga kelembagaan antara DPR dan Presiden. Gus Dur tidak pernah minta maaf, tapi cuma menjelaskan dengan gaya guyonnya. Dan polemik kemudian tertutupi oleh isyu lainnya.

Anggota DPR terpilih untuk periode 2009-2014 sebenarnya sudah ditetapkan oleh KPU. Akan tetapi, karena adanya keputusan dari MK, maka terjadi perubahan komposisi perolehan kursi. Walau begitu, berdasarkan data yang tersedia, komposisi anggota DPR periode mendatang diperkirakan setengahnya diisi muka-muka baru.

Kualitas anggota DPR-RI yang penuh 'muka baru' ini lantas dipertanyakan kualitas dan integritasnya. Bukan, kita bukan bicara soal intelektualitas atau segudang persyaratan normatif lain. Karena kalau hal itu pasti semuanya sudah lolos karena tahapan verifikasi untuk DCT terlampaui, malah kemudian terpilih.

Yang kita bicarakan adalah mengenai kualitas mereka sebagai negarawan dan politisi. Seperti kita semua tahu, tidak semua anggota DPR adalah politisi karier. Banyak di antaranya yang semula berprofesi lain, dan barangkali akan tetap melanjutkan profesinya meski sudah terpilih sebagai anggota DPR. Kondisi ini menyebabkan banyak di antaranya yang bahkan tidak mengerti apa saja tugas dan fungsi mereka kelak sebagai anggota. Bahkan ada selebritis dunia hiburan yang dengan terus terang mengakui di sebuah media cetak nasional bahwa ia tidak mengerti dunia politik, padahal dia dipastikan masuk Senayan! Solusinya, yang bersangkutan hendak mencari "kursus politik". Memang ada ya?

Terlepas dari itu, alih-alih ribut menyiapkan pembekalan bagi anggota DPR baru yang masih "hijau", Sekertariat Jenderal DPR malah sibuk mempersiapkan cincin emas sebagai "tanda mata" bagi anggota DPR periode ini yang akan segera melepaskan jabatannya. Padahal, jelas tradisi yang "nggak penting-penting amat" itu adalah sebuah pemborosan. Sekitar Rp 5 milyar dana disiapkan untuk kenang-kenangan itu.

Alangkah baiknya hal itu dialihkan untuk melakukan pembekalan bagi anggota DPR. Pembekalan itu berupa training intensif oleh para pakar. Bahkan, akan lebih baik bila ada ujiannya sekalian. Mereka yang tidak lulus ujian diberi status sebagai "anggota DPR percobaan". Ini persis dengan cara kita memperlakukan mahasiswa atau karyawan.

Anggota DPR adalah SDM (Sumber Daya Manusia). Lalu mengapa pula standar kompetensi SDM yang sudah diterapkan secara luas di dunia usaha tidak bisa diterapkan pada anggota parlemen? Malah, seharusnya dari proses seleksi di tingkat parpol sudah ada seleksi ala pegawai. Terbukti, di sejumlah daerah, calon anggota legislatif terutama dari parpol kecil banyak yang pengangguran. Dengan demikian, menjadi anggota parlemen pun sebuah pekerjaan menggiurkan.

Selain itu, perlu pula diterapkan sistem penilaian berkala. Tanpa perlu ada pengunduran diri atau penarikan dari parpol, BK DPR (atau lembaga lain yang bisa dibentuk kemudian) seharusnya punya kewenangan menilai kinerja anggota DPR. Sebagai contoh, seorang calon presiden dalam Pilpres kali  ini di saat menjadi anggota DPR dua periode di masa Orde Baru ternyata memiliki jumlah absensi yang lebih banyak daripada presensinya. Bila hal itu terjadi di periode mendatang, seharusnya ada sanksi yang bisa diterapkan. Sistem Surat Peringatan (SP) dari dunia kerja mustinya bisa pula diterapkan, sebelum akhirnya dipecat bila melakukan pelanggaran berat.

Ini jelas terkait masalah integritas tadi. Sehingga tidak cuma anggota DPR yang terkait persoalan moral pornografi seperti Max Moein dari PDIP yang bisa dipecat, tapi juga terkait pelanggaran integritas lain. Selain soal absensi dan kinerja, juga tentunya masalah korupsi, kolusi, manipulasi, dan nepotisme.

Bila standar kompetensi ini benar-benar diterapkan, niscaya kualitas dan integritas anggota DPR (termasuk pula DPRD) akan meningkat. Tentunya, perlu anggaran khusus untuk ini. Asal jangan sampai, untuk urusan penerapan standar kompetensi SDM anggota parlemen ini lantas terjadi lagi "pengaturan" tertentu oleh pejabat Setjen dan anggota DPR yang diberi tugas. Kalau begitu ya sama saja bohong dong!

[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 12 Juni 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar