Selasa, 09 Juni 2009

Menilik Kembali Kasus Prita vs RS Omni International

Kasus Prita Mulyasari melawan RS Omni International telah keluar jauh dari koridor hukum. Bermula dari keluhan seorang individu atas pelayanan sebuah institusi, kasus ini kemudian menarik perhatian publik dan para pejabat, semata karena penggunaan kekuatan berlebihan dari institusi yang merasa dirugikan nama baiknya. Ibarat membunuh tikus dengan membakar rumah, RS Omni International tidak hanya menggunakan hak jawabnya secara massif dengan memasang iklan besar di harian Kompas dan Media Indonesia pada 8 September 2008, tapi juga menuntut Prita Mulyasari dengan tuduhan perdata dan pidana sekaligus. Padahal, semua itu bermula dari sebuah e-mail pribadi yang ditujukan kepada teman-teman si penulis sendiri. Artinya, tindakan Prita selain dijamin UU No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen, juga masuk dalam ranah privat dan bukan ranah publik.

Tersebarnya e-mail Prita Mulyasari secara luas di internet, seharusnya dicari siapa yang menyebarkan e-mail pribadi tersebut. Meski tidak tertutup kemungkinan Prita sendiri yang menyebarkan, namun amat mungkin ia sendiri juga tidak tahu-menahu. Perlu penyidikan untuk soal ini.

Dalam masalah ini, ada dua hal besar yang harus dipisahkan. Pertama: persoalan hukum, kedua, rasa keadilan. Terkadang, hukum itu memang pahit, tapi ia harus ditegakkan. Ingatlah semboyan dunia hukum "Fiat Justitia, Ruat Caelum" - "Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh". Sementara rasa keadilan seringkali terkait dengan emosi dan keinginan untuk menang belaka. Pihak yang menang akan merasa putusan hukum sudah adil, sementara yang kalah seringkali merasa sebaliknya.

Secara hukum, memang perbuatan Prita dapat diindikasikan sebagai "pencemaran nama baik". Masalahnya, kalimat itu saja memang multi-tafsir. Sehingga, pasal 310 dan 311 KUHP yang memuat mengenai delik tersebut sering disebut sebagai "hatzaai artikelen" atau pasal karet. Ini karena begitu mudahnya ia ditarik-tarik ke berbagai arah, mulur-mungkret seperti karet.

Akan tetapi, di sini ada rasa keadilan yang terusik. Apalagi kejadian ini seperti David melawan Goliath dimana Prita yang orang biasa dilawan oleh institusi berkekuatan dana besar. Lagipula, akibat dari "pencemaran nama baik" itu belum terbukti. RS Omni International seharusnya diminta membuktikan bahwasanya selaku penggugat ia mengalami kerugian signifikan diakibatkan tindakan Prita. Apabila tidak terbukti, maka penyelesaiannya sebenarnya tidak perlu dengan penuntutan di pengadilan, melainkan melalui mediasi. Perlu sekali masing-masing pihak menekan egonya agar masalah yang seharusnya bisa selesai dengan musyawarah ini tidak berlarut-larut. Namun bila tidak dicapai kesepakatan, dan memang proses di pengadilan saat ini sudah bergulir, biarkanlah hukum yang berbicara.

Penggunaan pasal 27 ayat 3 UU No. 11/2008 tertanggal 21 April 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) jo pasal 45 ayat 1 UU No. 11/2008 yang disarankan oleh kejaksaan kepada kepolisian sebenarnya juga perlu dipertanyakan. Pasal ini sama karetnya dengan pasal 310 dan 311 KUHP. Sayangnya, uji materiil terhadap pasal ini sudah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi tanggal 5 Mei 2009 lalu. Artinya, pasal ini dianggap tidak salah secara hukum oleh negara.

Namun jelas bagi warga negara, penggunaan pasal tersebut dapat memasung kebebasan berpendapat secara lisan dan tulisan dengan menggunakan saluran apa pun, terutama di dunia maya. Dan seharusnya secara hukum, aturan tersebut selayaknya dibatalkan karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Aturan yang lebih tinggi itu adalah pasal 28 F UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Di masa depan, pemerintahan yang baru seharusnya lebih memperhatikan hal-hal semacam ini. Karena adanya penggunaan kekuasaan berlebihan dari institusi -baik itu milik negara atau swasta- terhadap warga negara dapat mengakibatkan tercerabutnya rasa keadilan masyarakat. Di sisi lain, meskipun terdapat penjaminan hak berbicara dan berpendapat, namun perlindungan hukum agar tidak terjadi penistaan, fitnah, atau pencemaran nama baik terhadap warga negara atau institusi lain juga harus dijamin. Karena itu sebaiknya peran lembaga semacam Dewan Pers harus dioptimalkan, juga edukasi tentang cara penggunaan hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan atas publikasi tertentu melalui media massa atau saluran lain. Dengan demikian, tidak perlu menghabiskan energi terlalu besar bagi pihak-pihak yang terlibat, apalagi merepotkan pihak lain seperti dalam kasus Prita Mulyasari vs RS Omni International. Bila sudah terjadi seperti itu, maka yang terjadi adalah "menang jadi arang, kalah jadi abu". Menang atau kalah sama-sama rugi.

*) Ditulis sebagai Juru Bicara JK-Wiranto

[Tulisan ini juga diposting di Politikana, 9 Juni 2009].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar