Terus menerus membaca media nasional terbitan Jakarta terkadang membuat informasi terasa senada. Kebetulan kantor saya tiap pekan selalu dikirimi mingguan Minggu Pagi yang terbit di Yogyakarta, sebagai salah satu media dalam jaringan Kedaulatan Rakyat. Artikelnya memberi warna berbeda bagi saya. Misalnya dalam edisi pekan ini saya membaca dua artikel menarik terkait capres. Satu artikel berjudul: "GBPH Prabukusumo: SBY Keturunan Sri Sultan HB III" di halaman 2, satu lagi artikel berjudul "Suksesi Wahyu Keprabon ke Istana" yang merupakan resensi buku Belajar Spiritual Bersama The Thinking General di halaman 10. Secara ringkas, artikel pertama menyatakan SBY merupakan keturunan kraton sehingga layak jadi panutan. Sementara artikel kedua menyebutkan "kesenangan memburu wahyu (sesuai pemahaman budaya Jawa) juga dilakukan oleh SBY yang berorientasi kepada hidup arif bijaksana, selaras dengan kata Jawa yakni: berbakti dan manembah (menyembah) kepada Sang Pencipta Kehidupan."
Mengingat Minggu Pagi terbit di DIY dan Jawa Tengah, maka saya asumsikan pembacanya kebanyakan orang Jawa. Sehingga, saya lantas jadi bertanya-tanya, memangnya seberapa penting faktor keturunan dan spiritual bagi capres, terutama bagi orang Jawa? Bukan hendak sektarian atau rasis, namun harus diakui faktanya orang Jawa dan penduduk pulau Jawa masih mayoritas di Indonesia. Kecuali, nanti kalau ramalan Ronggowarsito benar, maka barulah "wong Jowo kari separo" (orang Jawa tinggal separuh).
Setelah tanya sana-sini dan riset kecil-kecilan -tentu ini bukan survei - setidaknya saya bisa mendapatkan gambaran, bahwa bagi orang Jawa tradisional terutama di kawasan pedesaan, kedua dimensi ini "penting bangeet". Disebabkan dalam filsafat Jawa yang tergolong filsafat timur mengutamakan keharmonisan dengan alam dan unsur-unsurnya, maka dua faktor itu dianggap penting karena secara langsung dianggap berpengaruh terhadap tataran makro kosmos bangsa.
Unsur keturunan ini rupanya memang dianggap penting bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Habibie misalnya, saat menjabat presiden sampai pernah mengaku sebagai keturunan Jawa dari ibunya. Apalagi, ada filosofi bibit, bobot, bebet saat seseorang akan memilih jodohnya. Bibit atau keturunan jelas dipandang penting. Seorang yang memiliki garis keturunan bangsawan dipandang mewarisi sikap ksatria dan nilai-nilai luhur lainnya.
Demikian pula unsur spiritual pun member arti tak kalah penting. Tentu spiritual beda dengan religius. Yang kedua selalu terkait agama formal, sementara seorang ateis sekali pun tetap bisa berlaku spiritual. Menurut Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, kecerdasan spiritual adalah kemampuan orang untuk memberi makna dalam kehidupan. Dengan demikian, seseorang yang berupaya menaati moral atau etika serta menggunakan hidupnya untuk sesuatu yang bermanfaat bagi manusia lain dan alam bisa disebut spiritual. Apalagi, dalam sistem religi dan filosofi Jawa, Tuhan "Kang Murbeng Dumadi" dianggap tidak mempersoalkan "ritual panembah" yang bagi religi atau agama formal sangat penting.
Implikasi penerapan filosofi Jawa kepada SBY, adalah kemudian muncul pula antithesis terhadap mereka yang dianggap tidak "njawani. Misalnya, luas beredar isyu yang menggambarkan Jusuf Kalla itu ibarat Betara Kala bagi SBY. Karena dengan adanya JK sebagai wapres, bak menciptakan "matahari kembar" atau dualisme kepemimpinan yang tabu bagi kepercayaan Jawa. Dan rupanya bagi orang Jawa tradisional yang tinggal di pedesaan, stigma pencitraan ini akan berpengaruh bagi pola pikir mereka. Apalagi, seingat saya di tahun 2004 SBY dicitrakan sebagai "Ratu Adil" yang ditunggu. Gaya Jusuf Kalla yang ceplas-ceplos dan "slonong boy" juga dianggap "ora ilok" bagi kebanyakan masyarakat Jawa tradisional. Betara Kala, just fyi, adalah simbolisasi kejahatan dalam filosofi Jawa. Sebagai antithesis, pastinya dianggap tidak "njawani". Karena itu, bisa dipastikan mereka akan tetap memilih capres yang dianggap "njawani".
Hal ini diperkuat dengan hasil survei dan riset internal pendukung capres-cawapres bahwa memang masyarakat Jawa tradisional terutama di pedesaan masih belum bergeser dari dukungan kepada SBY. Citra pemimpin yang ditampilkan di iklan televisi sebagai "bapak pengayom keluarga yang taat pada Tuhan" merupakan hasil dari pengejawantahan alam pikiran patronisme patrilineal yang juga dianut masyarakat Jawa tradisional. Maka, meski terkesan irrasional bagi kita yang berpendidikan, melek internet dan tinggal di kota besar, dua hal itu ternyata masih dipandang penting oleh akar rumput. Dan jumlah pemilih akar rumput jelas jauh lebih besar daripada pemilih kelas menengah-atas. Sehingga, sudah selayaknya bila tim sukses kedua pasang capres-cawapres lain membuat pencitraan tandingan terhadap incumbent atas isyu keturunan dan spiritualisme ini. Bisa jadi hal ini luput dari perhatian, padahal dipandang penting oleh rakyat kebanyakan.
[Tulisan ini juga diposting di Politikana, 17 Juni 2009].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar