Rabu, 07 Oktober 2009

Indonesia For Sale: Resensi Buku

Semalam, saya diundang sobat saya Hadi Rahman untuk menghadiri diskusi dan peluncuran buku di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta. Ternyata buku yang diluncurkan editornya ya dia sendiri. Sementara penulisnya adalah “rekan Face Book” saya, Dandhy Dwi Laksono. Judulnya cukup menantang: Indonesia For Sale.
Saya tidak hendak melaporkan acara launchingnya yang lebih mirip arena “temu kangen” antar teman ketimbang diskusi buku itu, akan tetapi lebih menyoroti isi buku yang “mencerahkan”. Saya terhenyak lagi, meski merasa terus-menerus belajar dan tak henti menyerap ilmu dari kehidupan, ternyata masih banyak sekali hal yang saya tak tahu. Itulah yang saya dapat dari membaca buku ini.
Sebagai wartawan muda yang sudah sarat pengalaman, Dandhy yang antara lain pernah menjadi Kepala Seksi Peliputan di RCTI dan Pemimpin Redaksi Aceh Kita ini piawai menginvestigasi. Namun selain itu, rupanya ia juga getol mengumpulkan data. Maka,  jadilah buku ini seperti sebuah lontaran uneg-uneg yang “bergizi”, alih-alih sekedar sebagai “pengisi waktu nganggur” seperti diutarakannya saat launching.
Oke, kita masuk ke pembahasan soal isinya. Meski secara akademis Dandhy adalah seorang sarjana hubungan internasional, namun isi buku ini justru soal ekonomi. Dan di soal inilah saya jadi merasa goblok karena diajari Dandhy lewat bukunya.
Gaya penulisan buku ini menggunakan alur imajiner dengan menuturkan peristiwa dari sudut pandang penulis yang berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat seperti sopir taksi, tukang parkir atau penjaga WC umum. Dari interaksi inilah lahir obrolan yang dituangkan dalam tulisan bergaya dialogis antara penulis dengan elemen masyarakat tadi. Yang diobrolkan? Ya persoalan ekonomi yang hebatnya, kebanyakan makro.
Wawasan dan data Dandhy amat luas dalam persoalan ini. Pembaca akan jadi mafhum ternyata persoalan ekonomi yang dianggap “urusan wong gedean” itu jelas mempengaruhi semua sektor kehidupan. Artinya, mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Misalnya harga minyak bumi yang jejingkrakan di New York Merchantile Exchange (NYMEX) baik jenis light sweet atau brent north sea (p.36) berpengaruh pada pendapatan supir taksi. Saya yang jelas bukan pelaku ekonomi makro pun pun jadi ‘makin ngeh’ betapa anehnya ‘permainan’ ekonomi makro di Indonesia. Misalnya fakta bahwa kita sebagai produsen minyak tidak mampu menentukan patokan harga minyak sendiri. Meski ada yang namanya Indonesian Crude Price (ICP), ternyata sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 tahun 2005, harga minyak berpatokan pada harga di Singapura, yang nota bene sama sekali tak punya ladang minyak. Patokan harga ini namanya MOPS (Mean of Platts Singapore atau populer disebut Mid Oil Platts Singapore), alasannya karena patokan harga di dalam negeri belum terbentuk (p. 48).
Berbagai insight information terkait kebijakan ekonomi makro dan moneter pun diungkapnya. Misalnya soal pro-kontra pemberian hak eksplorasi blok Cepu kepada Exxon Mobil di halaman 229-230. Ia misalnya dengan berani menuliskan nama politisi DPR yang semula mempermasalahkan hasil negosiasi pemerintah itu dengan mengusulkan hak interpelasi dan kemudian mencabutnya kembali setelah partainya berkompromi. Atau tentang swastanisasi air di Jakarta (p.92-98). Analisanya pun mudah dicerna, seperti saat menerangkan utang luar negeri kita (p.238-p.241). Namun terutama yang patut dipuji justru saat ia menerangkan neolib di berbagai bagian  tersebar dalam buku ini, terutama di bab 3, 4, dan 5. Neolib ini, seperti kita semua tahu, adalah satu terma  ekonomi "seksi" yang ramai diperdebatkan saat Pilpres 2009 lalu.
Apa yang menjadi tujuan Dandhy menulis buku ini ternyata agar persoalan ekonomi mudah dipahami oleh orang kebanyakan seperti supir taksi, tukang parkir atau penjaga WC tadi. Namun, meski sudah disederhanakan dan mudah dimengerti bagi non-sarjana ekonomi, menurut saya tulisan tadi tetap ‘terlalu berat’. Apalagi kalau pasarnya adalah orang kebanyakan. Terlebih dengan penuturan melompat-lompat bahkan ada ”jebakan batman” seperti soal waktu penuturan di satu cerita yang tidak sama seperti di halaman 39. Walau begitu, buku ini berhasil membuat persoalan rumit menjadi sederhana tanpa menyederhanakan persoalan. Terlebih gaya penulisannya yang bertutur bahkan di beberapa bagian bak membaca Supernova (2001)-nya Dewi "Dee" Lestari -memilih cara penulisan bergaya fiksi namun menyelipkan fakta- cukup membuat nyaman pembaca. Walau begitu, untuk sampai menyamai Supernova, apalagi karya monumental Seno Gumira Adjidarma Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997) tentu Dandhy masih perlu banyak pengembangan lagi.
Sampai-sampai dalam “blurp”-nya di sampul belakang buku Arswendo Atmowiloto menyebut “buku ini lucu”. Bolehlah disebut lucu, asal jangan mentertawakan rakyat saja yang dalam buku itu pun disebut sebagai obyek pelengkap penderita saja dari sistem ekonomi kita. Sepakat kan?

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan Politikana, 7 Oktober 2009]

Senin, 05 Oktober 2009

Mimpi TNI Yang Kuat

Saya sering bermimpi, andaikata pemerintah mampu melakukan efisiensi dan penegakan hukum di segala bidang, niscaya negara kita akan memiliki cukup anggaran. Dengan anggaran itu Indonesia bisa leluasa membeli berbagai peralatan militer atau yang disebut sebagai alat utama sistem persenjataan (alutsista). Maka, terwujudulah postur TNI yang kuat. Tentu saja mimpi itu terlalu menyederhanakan berbagai persoalan, akan tetapi seperti juga Wright bersaudara menyederhanakan keinginan manusia terbang hingga kemudian tercipta pesawat. Bukan tidak mungkin dari mimpi sederhana ini kemudian akan terwujud kan?
Saya bermimpi, Indonesia punya anggaran untuk membuat skuadron utuh pesawat tempur minimal sebanyak jumlah provinsi. Dengan demikian, saat ini diperlukan 33 skuadron utuh. Padahal, Indonesia saat ini hampir tak punya skuadron utuh yang berkekuatan 16 pesawat siap terbang. Yang ada hanya skuadron tak utuh. Dengan demikian maka kelak kita akan memiliki 528 pesawat berjenis tempur/serang (fighter/attack) untuk menjaga kedaulatan udara kita. Bandingkan dengan sekarang yang hanya punya 6 skuadron tempur, 5 skuadron angkut, 3 skuadron heli, dan sebuah skuadron intai. Kalau mau dimasukkan juga masih ada skuadron pendidikan dan Satudtani (Satuan Udara Pertanian). Itu pun campuran dan hampir semuanya bukan skuadron utuh. Total jumlah pesawat kita yang siap terbang dari berbagai jenis sekitar 100 unit. Tentu saja alutsista lain misalnya alat penginderaan seperti radar dan pesawat jenis lain seperti helikopter angkut juga mutlak ditambah.
Demikian pula bagi angkatan laut, tentu saja saya bermimpi kita memiliki kapal induk, bahkan minimal dua. Pembagian armada angkatan laut menjadi barat dan timur cukup memadai. Namun akan sangat memadai bila ditambah armada tengah. Jumlah kapal-kapal tempur lain pun harus diperbanyak. Tidak seperti sekarang dimana Indonesia hanya memiliki 2 kapal selam uzur, 6 fregate dan 23 corvettes. Selain itu cuma ada kapal militer berjenis pendukung seperti untuk logistik, patrol dan amfibi dengan total jumlah kapal sekitar 140 kapal berbagai jenis.
Bagi angkatan darat, tentu diperlukan unsur tempur yang lebih memadai. Meski memiliki jumlah anggota atau personel paling banyak, akan tetapi peralatan tempur yang dimiliki kebanyakan hanya bersifat angkut personel. Indonesia bahkan sama sekali tidak punya satu pun Main Battle Tank (MBT) sebagai kavaleri paling kuat bagi matra darat. Bahkan Kopassus sebagai pasukan paling elite dalam struktur TNI pun tidak punya helikopter tempur modern, hanya ada helikopter varian militer dari versi komersial seperti NBO-105. Padahal, sudah lazim sebuah pasukan khusus punya unit udara kuat misalnya dilengkapi helikopter AH-64 Apache. Kita juga tidak lagi punya rudal darat ke darat maupun darat ke udara yang memadai seperti di dekade 1960-an. Artileri pun mengalami nasib serupa.
Kendala utama dari pengadaan alutsista lagi-lagi persoalan anggaran. Dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang hanya 20 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) dan anggaran pertahanan hanya 1 persen dari PDB, tentu dana sebesar itu justru habis untuk gaji personel yang berjumlah 432.129 orang dan pemeliharaan alutsista. Hampir mustahil untuk melakukan pembaharuan alutsista.
Sebenarnya, masalah pertahanan terkait erat dengan ekonomi. Daya tawar kita di dunia internasional akan makin kuat bila militer kita kuat. Lepasnya Timor-Timur dan Sipadan-Ligitan serta konflik di Ambalat, Aceh, Papua, Maluku dan berbagai insiden penerobosan alutsista asing seperti pesawat tempur F/A-18 milik AU-AS (USAF) pada 3 Juli 2003 menunjukkan betapa lemahnya militer kita.
Salah satu cara memperbesar kekuatan militer kita sebenarnya adalah dengan mengoptimalkan industri dalam negeri. Indonesia sudah punya hampir semuanya dalam industri militer, yaitu PT DI (pesawat), PT PAL (kapal laut), PT Pindad (alutsista darat), dan PT Dahana (bahan peledak). Kita bahkan juga punya industri hulunya seperti PT Krakatau Steel (besi dan baja). Ini bukan saja membanggakan, tapi sangat potensial untuk dikembangkan.
Tengoklah RRC yang kini punya setidaknya 11 BUMN di industri militer. Selain untuk memenuhi kebutuhan angkatan bersenjatanya yang memiliki jumlah personel terbesar di dunia (lebih dari 1 juta tentara aktif dengan sekitar 200 ribu cadangan dan rakyat terlatih), RRC juga sudah mampu mengekspor alutsista. Maka, alutsista bukan lagi pemborosan, malah memberikan devisa bagi negara.
Namun sebelum itu dimulai, dimana pastinya diperlukan modal awal dan alih-teknologi, kita perlu melakukan revolusi di bidang ekonomi. Berbagai pemborosan dan kebocoran anggaran harus ditekan. Fungsi pengawasan terutama untuk tindak pidana korupsi harus diperketat. Jangan seperti sekarang yang malah seperti ketakutan saat korupsi hendak diberantas, karena banyaknya yang merasa terlibat.
Jika negeri kita bebas korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan anggaran, bukan saja akan berefek pada ekonomi, tapi juga pada pertahanan. Dengan pertahanan yang kuat, posisi Indonesia dalam perdagangan dan diplomasi internasional akan makin kuat. Akibatnya, pasar produk Indonesia akan makin terbuka di luar negeri. Itulah manfaat lain dari kekuatan militer yang kuat. Bukankah seperti kata Letjen Urip Sumohardjo, mustahil suatu negara zonder tentara? Akan tetapi, yang dibutuhkan oleh negara kita adalah tentara yang profesional, bukan yang menjadikan rakyat target latihannya. Artinya, TNI yang selalu siap menghadapi ancaman serangan dari luar maupun pemberontakan  dari dalam setiap saat, namun tetap dengan mengedepankan kepentingan rakyat.
Akhirul kalam, dirgahayu TNI! Semoga tetap tabah dan setia menjaga negara. Walau saat ini dengan anggaran seadanya…

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan  Politikana, 5 Oktober 2009]

Kamis, 01 Oktober 2009

Gempa, Pancasila, Soekarno & Ganyang Malaysia

Kalau sekarang masih zaman Orde Baru, bisa jadi gempa yang terjadi di laut dalam sebelah barat laut kota Pariaman provinsi Sumatra Barat kemarin akan disebut “gempa Pancasila”. Sebabnya, apa lagi kalau bukan kelatahan dan kegenitan pejabat yang gemar menempeli segala sesuatu dengan embel-embel “Pancasila” di belakangnya. Kita masih ingat ada yang namanya ekonomi Pancasila, manusia Pancasilais dan tentunya sebagai ‘babon’nya adalah P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) lengkap dengan BP-7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan P4)- nya.
Pasca reformasi, karena hyper-inflasi pemakaian Pancasila selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, maka Pancasila perlahan tapi pasti menghilang dari khazanah pembicaraan masyarakat. Pejabat atau birokrat tidak lagi “demam Pancasila”. Namun justru karena itulah sebenarnya Pancasila tengah diuji “kesaktian”-nya menghadapi aneka gempa berupa gempuran ideologis lain dan pengabaian oleh masyarakat Indonesia sendiri. Padahal, tidak mengakui atau menerapkan Pancasila dalam keseharian kita akan sama artinya dengan perlahan membubarkan Indonesia. Celakanya, kekuatiran itu perlahan sudah terjadi dimulai dengan lepasnya Timor-Timur sebagai sebuah kesatuan dalam “wawasan Nusantara”.
Tentu saja, di zaman web 2.0 ini bicara Pancasila mungkin akan terasa basi. Akan tetapi, kenapa tidak ada warga A.S. yang merasa basi membicarakan Declaration of Independence-nya? Padahal, jelas usianya lebih basi daripada Pancasila, 1776 berbanding 1945. Apa yang salah dengan Pancasila?
Sebenarnya tidak ada yang salah. Sebagai sebuah acuan nilai bernegara, tentu Pancasila dibuat seideal mungkin. Dan bisa jadi karena idealnya itulah, maka implementasinya menjadi sulit. Baik Soekarno, Muhammad Yamin maupun anggota PPKI lainnya tentunya berupaya mewujudkan sebuah konsep negara ideal dalam waktu amat singkat. Dan Pancasila, boleh dibilang merupakan hasil maksimal untuk ukuran saat itu.
Sebenarnya, Pancasila tidaklah ‘malu-maluin’. Ia konon malah menjadi acuan inspirasi bagi negara-negara muda di Asia dan Afrika peserta KAA 1955 yang saat itu belum merdeka guna menyusun dasar negaranya sendiri. Soekarno juga pernah ‘menawarkan’ Pancasila kepada dunia melalui pidatonya berjudul “To Build the World a New” di hadapan Majelis Umum PBB pada 30 September 1960. Soeharto pun sebenarnya berbuat banyak mengkampanyekan Pancasila ke luar negeri dan terutama mengimplementasikan di dalam negeri. Sayangnya, semua usaha itu jadi sia-sia saat ia sendiri melanggar begitu banyak prinsip dasar yang diyakini banyak orang, terutama sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sebabnya? Tentu saja karena ia menumpuk kekuatan ekonomi ke tangan kerabat dan kroninya sendiri, sehingga jelas keadilan sosial tidak tercipta. Maka, pemasyarakatan Pancasila seakan menjadi cuma pemanis bibir saja.
Akan tetapi, di abad millennium ini, rasanya patut kita menengok kembali kepada Pancasila. Apalagi, kini ke-Indonesiaan kita benar-benar tengah diuji. Ujian itu antara lain datang dari ‘adik yang durhaka’: Malaysia. Sebagai adik, mereka benar-benar tidak menghargai ‘saudara tua’-nya. Klaim-klaim yang menjengkelkan terus saja mereka buat, seperti pernah saya tulis (klik di sini). Dan klaim terbaru adalah gamelan yang diaku sebagai warisan budaya mereka.
Bila Soekarno masih hidup dan masih jadi Presiden RI saat ini, sudah pasti akan langsung mengganyang Malaysia karena klaim-klaimnya belakangan ini. Akan tetapi sayangnya, pada 1 Oktober 1965 ia ragu-ragu untuk mengganyang musuh-musuhnya. Kalau dalam sejarah resmi ala Prof. Dr. Nugroho Notosusanto yang konon dibuat atas pesanan Soeharto sendiri dikatakan Soekarno terlalu ragu-ragu untuk mengambil tindakan tegas terhadap PKI sehingga Soeharto-lah yang menjadi “penyelamat negara dan Pancasila”. Maka, karena “hero”-nya Soeharto, sudah pasti lainnya “villain”.  Dalam hal ini, salah satu “villain” utama adalah Soekarno sendiri. Padahal, bagi para pendukungnya, Soekarno bukan dianggap ragu-ragu mengganyang PKI dan antek-anteknya, tapi justru ragu-ragu saat diharapkan mengeluarkan komando melawan faksi TNI AD yang dipimpin Soeharto. Padahal, saat itu TNI AU yang sangat kuat sudah bersiap membom Markas Komando Kostrad (saat itu singkatannya adalah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, kini kata “Cadangan” dihilangkan) pimpinan Mayjen TNI Soeharto di kawasan Gambir, memaksa mereka memindahkannya ke kawasan Senayan. TNI AL dengan KKO AL-nya pun siap membela sang presiden. Apalagi KKO AL terkenal dengan semboyannya: “Merah kata Bung Karno, merah kata KKO. Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO!” Juga elemen-elemen organisasi onderbouw PNI seperti GMNI dan Pemuda Marhaenis pun siap mati demi sang Pemimpin Besar Revolusi.
Tapi apa lacur, sang Panglima Tertinggi tak kunjung mengeluarkan komando. Maka, di saat genting itu yang “lebih cepat”-lah yang menang. Padahal, saat itu yang lebih cepat bukanlah yang lebih baik, tidak seperti slogannya pasangan JK-Wiranto dalam Pilpres lalu. Soeharto dengan langkah taktis yang sudah disiapkan sejak lama dan konon didukung CIA itu dengan cepat menggulung lawan-lawannya. Penangkapan dan juga pembunuhan besar-besaran dilakukan, dengan dalih terlibat dalam kudeta gagal pada 30 September 1965. Soekarno dan segala elemen pendukungnya yang sebelumnya terlihat amat kuat dihancurkan dengan relatif mudah. Hal ini memaksa Soekarno ‘menyerahkan kekuasaan’ (perhatikan tanda petik) kepada Soeharto melalui Supersemar.
Kini, lebih dari 42 tahun setelah kejadian, surat resmi kenegaraan yang dijadikan dasar hukum Soeharto untuk mengambil-alih kekuasaan dari tangan Soekarno –bahkan kemudian dikukuhkan dengan Tap MPRS No. IX/MPRS/1966– itu tak kunjung ketahuan rimbanya. Pencarian oleh pemerintah konon terus dilakukan. Hingga pada 28 Agustus 2009 lalu Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menyatakan bahwa Presiden SBY memiliki informasi mengenai naskah asli Supersemar. Akan tetapi, hingga kini belum terdengar kelanjutannya.
Maka, pada 2009 ini, 43 tahun setelah Peristiwa 30 September 1965 yang disebut Soekarno sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober) dan oleh Soeharto dijuluki Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau G 30 S/PKI itu ternyata tetap dilingkupi tabir amat gelap. Di tengah gempa betulan dan bencana alam lain yang menimpa berbagai wilayah nusantara, gempa konsep dan implementasi juga tengah menimpa Pancasila kita. Sebagai dasar negara, ia tengah diuji kehandalannya melawan gerusan zaman globalisasi ini. Akankah ia bertahan? Kalau gagal, maka gagal pulalah cita-cita luhur sebuah republik bernama Indonesia ini.

Gambar ilustrasi diambil dari rosodaras.wordpress.com

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan Politikana, 1 Oktober 2009]