Senin, 05 Oktober 2009

Mimpi TNI Yang Kuat

Saya sering bermimpi, andaikata pemerintah mampu melakukan efisiensi dan penegakan hukum di segala bidang, niscaya negara kita akan memiliki cukup anggaran. Dengan anggaran itu Indonesia bisa leluasa membeli berbagai peralatan militer atau yang disebut sebagai alat utama sistem persenjataan (alutsista). Maka, terwujudulah postur TNI yang kuat. Tentu saja mimpi itu terlalu menyederhanakan berbagai persoalan, akan tetapi seperti juga Wright bersaudara menyederhanakan keinginan manusia terbang hingga kemudian tercipta pesawat. Bukan tidak mungkin dari mimpi sederhana ini kemudian akan terwujud kan?
Saya bermimpi, Indonesia punya anggaran untuk membuat skuadron utuh pesawat tempur minimal sebanyak jumlah provinsi. Dengan demikian, saat ini diperlukan 33 skuadron utuh. Padahal, Indonesia saat ini hampir tak punya skuadron utuh yang berkekuatan 16 pesawat siap terbang. Yang ada hanya skuadron tak utuh. Dengan demikian maka kelak kita akan memiliki 528 pesawat berjenis tempur/serang (fighter/attack) untuk menjaga kedaulatan udara kita. Bandingkan dengan sekarang yang hanya punya 6 skuadron tempur, 5 skuadron angkut, 3 skuadron heli, dan sebuah skuadron intai. Kalau mau dimasukkan juga masih ada skuadron pendidikan dan Satudtani (Satuan Udara Pertanian). Itu pun campuran dan hampir semuanya bukan skuadron utuh. Total jumlah pesawat kita yang siap terbang dari berbagai jenis sekitar 100 unit. Tentu saja alutsista lain misalnya alat penginderaan seperti radar dan pesawat jenis lain seperti helikopter angkut juga mutlak ditambah.
Demikian pula bagi angkatan laut, tentu saja saya bermimpi kita memiliki kapal induk, bahkan minimal dua. Pembagian armada angkatan laut menjadi barat dan timur cukup memadai. Namun akan sangat memadai bila ditambah armada tengah. Jumlah kapal-kapal tempur lain pun harus diperbanyak. Tidak seperti sekarang dimana Indonesia hanya memiliki 2 kapal selam uzur, 6 fregate dan 23 corvettes. Selain itu cuma ada kapal militer berjenis pendukung seperti untuk logistik, patrol dan amfibi dengan total jumlah kapal sekitar 140 kapal berbagai jenis.
Bagi angkatan darat, tentu diperlukan unsur tempur yang lebih memadai. Meski memiliki jumlah anggota atau personel paling banyak, akan tetapi peralatan tempur yang dimiliki kebanyakan hanya bersifat angkut personel. Indonesia bahkan sama sekali tidak punya satu pun Main Battle Tank (MBT) sebagai kavaleri paling kuat bagi matra darat. Bahkan Kopassus sebagai pasukan paling elite dalam struktur TNI pun tidak punya helikopter tempur modern, hanya ada helikopter varian militer dari versi komersial seperti NBO-105. Padahal, sudah lazim sebuah pasukan khusus punya unit udara kuat misalnya dilengkapi helikopter AH-64 Apache. Kita juga tidak lagi punya rudal darat ke darat maupun darat ke udara yang memadai seperti di dekade 1960-an. Artileri pun mengalami nasib serupa.
Kendala utama dari pengadaan alutsista lagi-lagi persoalan anggaran. Dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang hanya 20 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) dan anggaran pertahanan hanya 1 persen dari PDB, tentu dana sebesar itu justru habis untuk gaji personel yang berjumlah 432.129 orang dan pemeliharaan alutsista. Hampir mustahil untuk melakukan pembaharuan alutsista.
Sebenarnya, masalah pertahanan terkait erat dengan ekonomi. Daya tawar kita di dunia internasional akan makin kuat bila militer kita kuat. Lepasnya Timor-Timur dan Sipadan-Ligitan serta konflik di Ambalat, Aceh, Papua, Maluku dan berbagai insiden penerobosan alutsista asing seperti pesawat tempur F/A-18 milik AU-AS (USAF) pada 3 Juli 2003 menunjukkan betapa lemahnya militer kita.
Salah satu cara memperbesar kekuatan militer kita sebenarnya adalah dengan mengoptimalkan industri dalam negeri. Indonesia sudah punya hampir semuanya dalam industri militer, yaitu PT DI (pesawat), PT PAL (kapal laut), PT Pindad (alutsista darat), dan PT Dahana (bahan peledak). Kita bahkan juga punya industri hulunya seperti PT Krakatau Steel (besi dan baja). Ini bukan saja membanggakan, tapi sangat potensial untuk dikembangkan.
Tengoklah RRC yang kini punya setidaknya 11 BUMN di industri militer. Selain untuk memenuhi kebutuhan angkatan bersenjatanya yang memiliki jumlah personel terbesar di dunia (lebih dari 1 juta tentara aktif dengan sekitar 200 ribu cadangan dan rakyat terlatih), RRC juga sudah mampu mengekspor alutsista. Maka, alutsista bukan lagi pemborosan, malah memberikan devisa bagi negara.
Namun sebelum itu dimulai, dimana pastinya diperlukan modal awal dan alih-teknologi, kita perlu melakukan revolusi di bidang ekonomi. Berbagai pemborosan dan kebocoran anggaran harus ditekan. Fungsi pengawasan terutama untuk tindak pidana korupsi harus diperketat. Jangan seperti sekarang yang malah seperti ketakutan saat korupsi hendak diberantas, karena banyaknya yang merasa terlibat.
Jika negeri kita bebas korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan anggaran, bukan saja akan berefek pada ekonomi, tapi juga pada pertahanan. Dengan pertahanan yang kuat, posisi Indonesia dalam perdagangan dan diplomasi internasional akan makin kuat. Akibatnya, pasar produk Indonesia akan makin terbuka di luar negeri. Itulah manfaat lain dari kekuatan militer yang kuat. Bukankah seperti kata Letjen Urip Sumohardjo, mustahil suatu negara zonder tentara? Akan tetapi, yang dibutuhkan oleh negara kita adalah tentara yang profesional, bukan yang menjadikan rakyat target latihannya. Artinya, TNI yang selalu siap menghadapi ancaman serangan dari luar maupun pemberontakan  dari dalam setiap saat, namun tetap dengan mengedepankan kepentingan rakyat.
Akhirul kalam, dirgahayu TNI! Semoga tetap tabah dan setia menjaga negara. Walau saat ini dengan anggaran seadanya…

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan  Politikana, 5 Oktober 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar