Kamis, 01 Oktober 2009

Gempa, Pancasila, Soekarno & Ganyang Malaysia

Kalau sekarang masih zaman Orde Baru, bisa jadi gempa yang terjadi di laut dalam sebelah barat laut kota Pariaman provinsi Sumatra Barat kemarin akan disebut “gempa Pancasila”. Sebabnya, apa lagi kalau bukan kelatahan dan kegenitan pejabat yang gemar menempeli segala sesuatu dengan embel-embel “Pancasila” di belakangnya. Kita masih ingat ada yang namanya ekonomi Pancasila, manusia Pancasilais dan tentunya sebagai ‘babon’nya adalah P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) lengkap dengan BP-7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan P4)- nya.
Pasca reformasi, karena hyper-inflasi pemakaian Pancasila selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, maka Pancasila perlahan tapi pasti menghilang dari khazanah pembicaraan masyarakat. Pejabat atau birokrat tidak lagi “demam Pancasila”. Namun justru karena itulah sebenarnya Pancasila tengah diuji “kesaktian”-nya menghadapi aneka gempa berupa gempuran ideologis lain dan pengabaian oleh masyarakat Indonesia sendiri. Padahal, tidak mengakui atau menerapkan Pancasila dalam keseharian kita akan sama artinya dengan perlahan membubarkan Indonesia. Celakanya, kekuatiran itu perlahan sudah terjadi dimulai dengan lepasnya Timor-Timur sebagai sebuah kesatuan dalam “wawasan Nusantara”.
Tentu saja, di zaman web 2.0 ini bicara Pancasila mungkin akan terasa basi. Akan tetapi, kenapa tidak ada warga A.S. yang merasa basi membicarakan Declaration of Independence-nya? Padahal, jelas usianya lebih basi daripada Pancasila, 1776 berbanding 1945. Apa yang salah dengan Pancasila?
Sebenarnya tidak ada yang salah. Sebagai sebuah acuan nilai bernegara, tentu Pancasila dibuat seideal mungkin. Dan bisa jadi karena idealnya itulah, maka implementasinya menjadi sulit. Baik Soekarno, Muhammad Yamin maupun anggota PPKI lainnya tentunya berupaya mewujudkan sebuah konsep negara ideal dalam waktu amat singkat. Dan Pancasila, boleh dibilang merupakan hasil maksimal untuk ukuran saat itu.
Sebenarnya, Pancasila tidaklah ‘malu-maluin’. Ia konon malah menjadi acuan inspirasi bagi negara-negara muda di Asia dan Afrika peserta KAA 1955 yang saat itu belum merdeka guna menyusun dasar negaranya sendiri. Soekarno juga pernah ‘menawarkan’ Pancasila kepada dunia melalui pidatonya berjudul “To Build the World a New” di hadapan Majelis Umum PBB pada 30 September 1960. Soeharto pun sebenarnya berbuat banyak mengkampanyekan Pancasila ke luar negeri dan terutama mengimplementasikan di dalam negeri. Sayangnya, semua usaha itu jadi sia-sia saat ia sendiri melanggar begitu banyak prinsip dasar yang diyakini banyak orang, terutama sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sebabnya? Tentu saja karena ia menumpuk kekuatan ekonomi ke tangan kerabat dan kroninya sendiri, sehingga jelas keadilan sosial tidak tercipta. Maka, pemasyarakatan Pancasila seakan menjadi cuma pemanis bibir saja.
Akan tetapi, di abad millennium ini, rasanya patut kita menengok kembali kepada Pancasila. Apalagi, kini ke-Indonesiaan kita benar-benar tengah diuji. Ujian itu antara lain datang dari ‘adik yang durhaka’: Malaysia. Sebagai adik, mereka benar-benar tidak menghargai ‘saudara tua’-nya. Klaim-klaim yang menjengkelkan terus saja mereka buat, seperti pernah saya tulis (klik di sini). Dan klaim terbaru adalah gamelan yang diaku sebagai warisan budaya mereka.
Bila Soekarno masih hidup dan masih jadi Presiden RI saat ini, sudah pasti akan langsung mengganyang Malaysia karena klaim-klaimnya belakangan ini. Akan tetapi sayangnya, pada 1 Oktober 1965 ia ragu-ragu untuk mengganyang musuh-musuhnya. Kalau dalam sejarah resmi ala Prof. Dr. Nugroho Notosusanto yang konon dibuat atas pesanan Soeharto sendiri dikatakan Soekarno terlalu ragu-ragu untuk mengambil tindakan tegas terhadap PKI sehingga Soeharto-lah yang menjadi “penyelamat negara dan Pancasila”. Maka, karena “hero”-nya Soeharto, sudah pasti lainnya “villain”.  Dalam hal ini, salah satu “villain” utama adalah Soekarno sendiri. Padahal, bagi para pendukungnya, Soekarno bukan dianggap ragu-ragu mengganyang PKI dan antek-anteknya, tapi justru ragu-ragu saat diharapkan mengeluarkan komando melawan faksi TNI AD yang dipimpin Soeharto. Padahal, saat itu TNI AU yang sangat kuat sudah bersiap membom Markas Komando Kostrad (saat itu singkatannya adalah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, kini kata “Cadangan” dihilangkan) pimpinan Mayjen TNI Soeharto di kawasan Gambir, memaksa mereka memindahkannya ke kawasan Senayan. TNI AL dengan KKO AL-nya pun siap membela sang presiden. Apalagi KKO AL terkenal dengan semboyannya: “Merah kata Bung Karno, merah kata KKO. Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO!” Juga elemen-elemen organisasi onderbouw PNI seperti GMNI dan Pemuda Marhaenis pun siap mati demi sang Pemimpin Besar Revolusi.
Tapi apa lacur, sang Panglima Tertinggi tak kunjung mengeluarkan komando. Maka, di saat genting itu yang “lebih cepat”-lah yang menang. Padahal, saat itu yang lebih cepat bukanlah yang lebih baik, tidak seperti slogannya pasangan JK-Wiranto dalam Pilpres lalu. Soeharto dengan langkah taktis yang sudah disiapkan sejak lama dan konon didukung CIA itu dengan cepat menggulung lawan-lawannya. Penangkapan dan juga pembunuhan besar-besaran dilakukan, dengan dalih terlibat dalam kudeta gagal pada 30 September 1965. Soekarno dan segala elemen pendukungnya yang sebelumnya terlihat amat kuat dihancurkan dengan relatif mudah. Hal ini memaksa Soekarno ‘menyerahkan kekuasaan’ (perhatikan tanda petik) kepada Soeharto melalui Supersemar.
Kini, lebih dari 42 tahun setelah kejadian, surat resmi kenegaraan yang dijadikan dasar hukum Soeharto untuk mengambil-alih kekuasaan dari tangan Soekarno –bahkan kemudian dikukuhkan dengan Tap MPRS No. IX/MPRS/1966– itu tak kunjung ketahuan rimbanya. Pencarian oleh pemerintah konon terus dilakukan. Hingga pada 28 Agustus 2009 lalu Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menyatakan bahwa Presiden SBY memiliki informasi mengenai naskah asli Supersemar. Akan tetapi, hingga kini belum terdengar kelanjutannya.
Maka, pada 2009 ini, 43 tahun setelah Peristiwa 30 September 1965 yang disebut Soekarno sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober) dan oleh Soeharto dijuluki Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau G 30 S/PKI itu ternyata tetap dilingkupi tabir amat gelap. Di tengah gempa betulan dan bencana alam lain yang menimpa berbagai wilayah nusantara, gempa konsep dan implementasi juga tengah menimpa Pancasila kita. Sebagai dasar negara, ia tengah diuji kehandalannya melawan gerusan zaman globalisasi ini. Akankah ia bertahan? Kalau gagal, maka gagal pulalah cita-cita luhur sebuah republik bernama Indonesia ini.

Gambar ilustrasi diambil dari rosodaras.wordpress.com

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan Politikana, 1 Oktober 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar