Selasa, 08 Maret 2011

Unik Jadikan Teman | Kirim Pesan Bhayu Bhayu MH adalah rakyat biasa yang begitu mencintai Indonesia. Memiliki blog yang diupdate dengan tulisan berbeda tiap harinya di http://www.lifeschool.wordpress.com. “Sie Jin Kwie Kena Fitnah”: Epik Apik Teater Koma

     Tak terasa sudah 34 tahun Teater Koma eksis di dunia hiburan Indonesia. Kali ini kelompok teater pimpinan Nano Riantiarno itu mementaskan produksi ke-122. Lakon yang diambil adalah karya Tio Keng Jian dan Loko An Chung berjudul Sie Jin Kwie Kena Fitnah. Ini adalah bagian kedua dari trilogi Sie Jin Kwie setelah pementasan bagian pertamanya tahun lalu. Sebuah lakon epik dengan latar sejarah Dinasti Tang di Cina pada abad ke-7.
     Dalam bagian kedua ini, penonton disuguhi sekitar 10 menit adegan kilas balik (flash back). Bagi penonton yang tak menyaksikan bagian pertamanya seperti saya, penggambaran ini lumayan berguna. Walau jujur saja, saya sempat agak bosan di bagian ini. Medium yang digunakan adalah layar yang disoroti lampu warna-warni dari belakang. Menampakkan siluet prajurit yang tengah berperang. Kemudian disusul penggunaan medium bernama “Wayang Tavip”. Ini adalah semacam panggung wayang yang berasal dari nama pemrakarsanya, menampilkan wayang aneka bentuk sesuai karakter yang diinginkan dan ditampilkan ke layar dengan tata cahaya sebegitu rupa sehingga penonton melihat bayangan wayang yang berwarna, beda dengan wayang tradisional yang siluetnya hanya hitam. Saya sempat kuatir sepanjang pertunjukan cuma akan menyaksikan “Wayang Tavip” ini, bukan teater dengan orang betulan.
     Namun kekuatiran saya sirna saat empat orang pemain muncul dengan “Wayang Tavip” masih ada di panggung. Mereka bergerak-gerak seperti wayang dengan narasi masih dari dalang. Setelah dalang keluar dari balik layar, ia memberi narasi hingga bagian Sie Jin Kwie meyakinkan istrinya Liu Kim Hwa bahwa pria asing yang datang adalah suaminya sendiri. Setelah itu, pemeran Sie Jin Kwie dan Liu Kim Hwa mulai bicara sendiri. Sementara Sie Kim Lian anaknya dan sang asisten masih diwakili oleh wayang. Setelah frame besar di panggung diangkat, gerobak “Wayang Tavip” digeser keluar panggung dan sang dalang menyingkir, barulah para pemain muncul satu per satu sesuai cerita. (kisah dan jalan cerita lakon ini dapat disimak di blog pribadi saya: http://www.lifeschool.wordpress.com).
     Menyaksikan pementasan dari kelompok teater ini, selalu membuat saya mendapatkan pencerahan. Saya mengikuti pementasan demi pementasannya sejak saya SD di tahun 1980-an, tentu karena diajak ayah saya. Sejak itu, saya jadi “fans berat” Teater Koma. Lakon-lakon dengan aneka tema bisa dikemas dan dibumikan bernuansa Indonesia, bahkan lakon asing seperti Sie Jin Kwie atau karya asing lain termasuk dari nama-nama besar seperti Brecht.
     Dalam lakon kali ini, selain penggunaan medium “Wayang Tavip”, saya mengagumi kerumitan busana dan dekorasi panggungnya. Luar biasa detailnya! Busana para bangsawan terlihat begitu mewah lengkap dengan benang emasnya. Sementara panggung yang luas disulap menjadi berbagai setting dengan mengganti-ganti dekorasinya. Mulai dari istana megah hingga penjara kumuh tergambar dengan baik. Demikian pula properti lain seperti perlengkapan perang. Bahkan kuda untuk Raja Sou Po Tong dari Tartar Barat dan Panglima Besar Sie Jin Kwie dibuat khusus dari besi dalam ukuran sebenarnya. Mengagumkan! (silahkan cermati kolase foto-foto jepretan saya di atas).
     Pembangunan karakter yang menjadi kekuatan Nano Riantiarno selaku sutradara dan pimpinan Teater Koma juga menonjol. Tiap karakter tampil kuat. Namun justru di sinilah bagi penonton awam seringkali dibuat bingung memahami peran masing-masing tokoh. Apalagi bagi penonton awam non-praktisi teater seperti saya. Penonton di sekitar saya misalnya bergumam, “Itu siapa sih?” saat adegan menggambarkan dua orang perempuan menerima kabar bahwa Sie Jin Kwie dipenjara. Ternyata, itu adalah istrinya Liu Kim Hwa dan tunangannya Zhae Yang. (cermati bagian kisah tersebut di blog saya http://www.lifeschool.wordpress.com).
     Ketiadaan panduan jalan cerita dan keterangan tentang peran tiap karakter yang memadai di buku acara yang dibagikan juga turut menimbulkan “kebutaan” saat menikmati jalannya adegan demi adegan. Meski begitu, untungnya jalan ceritanya relatif mudah dicerna dan dipahami. Toh, saat menuliskan kisahnya seperti termuat di blog saya tersebut, saya agak kesulitan mengingat nama-nama karakter, walau ingatan saya masih kuat untuk merekam jalan cerita. Sehingga saya perlu dibantu partner saya (thank you, my dearest!).
     Namun secara umum, saya sangat menikmati pementasan tersebut yang nyaris tanpa cacat. Ada lima kali kesalahan pengucapan dialog dan gerak dalam pementasan hari Sabtu (5/2) yang saya saksikan dari kursi kelas VIP, namun rasanya itu tidak berarti dalam pementasan selama sekitar 4 jam dalam dua babak tersebut. Apalagi patut diingat para pemain tampil setiap malam dari tanggal 4 hingga 26 Maret 2011, dimana jelas diperlukan stamina dan daya tahan prima. Pementasan lakon di tiap kali produksinya yang begitu apik seperti inilah yang membuat Teater Koma saat ini berhasil mengukuhkan diri sebagai kelompok teater terbaik di tanah air.

[Artikel ini pertama kali diposting di Kompasiana, 7 Maret 2011]

Kamis, 03 Maret 2011

Memilih Menteri Berdasarkan Kompetensi

     Menteri, meskipun terlihat mentereng dari segi jabatan, merupakan personel yang bekerja bagi institusi juga. Karena itu, menteri merupakan SDM atau Sumber Daya Manusia bagi negara dengan pemerintah sebagai institusi pengelolanya.
     Sayangnya, kita sangat jarang mendengar seorang menteri -juga pejabat publik lain- menjalani tes layaknya SDM di sebuah perusahaan. Padahal, kinerja sang menteri kelak, sebenarnya sangat tergantung dari kompetensi yang bersangkutan. Kita tahu, dalam Kabinet Indonesia Bersatu -baik I maupun II- ada beberapa orang yang kompetensinya berbeda dengan jabatan yang diembannya. Bukan berarti yang bersangkutan tidak kompeten, hanya kompetensinya sebenarnya tidak cocok dengan jabatan yang diberikan. Anehnya, karena jabatan menteri itu bergengsi, tentu saja tidak pernah ada kasus seorang yang ditugasi sebagai menteri menolak. Kecuali, tentu saja, bila sang Presiden sebagai yang menugasi sudah di ujung kehancuran. Ini pernah terjadi saat 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri serentak saat Presiden Soeharto terancam dijatuhkan dari kekuasaannya di tahun 1998. Namun, para menteri itu ironisnya tidak menolak saat Soeharto memilih mereka beberapa bulan sebelumnya.
     Ketidakcocokkan ini tentu tidak akan terjadi apabila terhadap para menteri diberlakukan tes juga laiknya kepada pegawai perusahaan. Tentu, tesnya tidak perlu dari dasar seperti psikotes umum pelamar kerja, tapi dibuatlah tes khusus untuk mengetahui hal-hal yang penting untuk kecocokan itu. Misalnya saja pengetahuan sang calon menteri mengenai bidang yang akan diembannya. Termasuk di sini tentu saja perlu tes kepribadian, ini untuk mengetahui kecenderungan cara kerja sang menteri dan bagaimana caranya mengatasi masalah. Perbedaan kepribadian termasuk tipe kepemimpinan akan berpengaruh terhadap gayanya dalam memimpin kementerian nantinya.
     Tes untuk mencari calon pegawai berdasarkan kompetensi dikenal dengan nama assessment. Ini juga bisa dipakai untuk menilai kinerja pegawai bersangkutan saat sudah menduduki jabatannya, sebagai bentuk job evaluation. Tentu tidak mungkin menerangkan prosesnya dalam tulisan sesingkat ini, namun sederhananya di sini harus dirancang sebuah assessment centre yang pertama-tama menyusun dahulu sebuah kerangka kompetensi. Menurut Ian Taylor dalam bukunya A Practical Guide to Assessment Centres and Selection Methods (2007), ada tiga tipe kompetensi: umum, pekerjaan dan hubungan.
     Kompetensi umum menyangkut keahlian pribadi seperti komunikasi. Kompetensi pekerjaan tentunya bersifat teknikal terkait pekerjaannya, termasuk yang soft skill seperti "leadership". Sementara kompetensi hubungan adalah bagaimana seseorang mencermati pekerjaannya sebagai "konteks" atau dalam kaitan hubungan dengan yang lain termasuk lingkungan.
     Nah, seorang menteri seharusnya memiliki nilai rata-rata tinggi dalam ketiga jenis kompetensi ini. Sedangkan mengenai parameternya, seharusnya bisa dibicarakan antara pelaksana assessment profesional dengan Presiden selaku user. Data-data teknis tambahan dari kementerian terkait tentu juga diperlukan terutama untuk menentukan parameter kompetensi pekerjaan. Tingginya nilai seorang calon menteri dalam assessment setidaknya mengurangi kemungkinan yang bersangkutan mendapatkan "rapor merah" dari masyarakat atas kinerjanya. Sehingga tidak perlu kuatir akan di-reshuffle oleh Presiden seperti santer terdengar belakangan ini.
     Mengaitkan hal tersebut di atas dengan isyu akan adanya reshuffle kabinet, menarik mencermati bagaimana Presiden RI selaku pemegang hak prerogatif yang mutlak menggunakannya untuk memilih pembantunya. Terlihat sekali, dari berita-berita di media massa, bahwa asal partai politik calon menteri masih menjadi pertimbangan utama dibandingkan kompetensinya. Selama ini, memang pejabat karier di kementerian paling tinggi mencapai jabatan Sekertaris Jenderal atau Sekjen. Bahkan Sekjen pun terkadang juga ‘orang bawaan' sang menteri. Maka, para pejabat karier banyak yang pensiun di jabatan Direktur Jenderal atau Dirjen saja. Padahal, dibandingkan menteri ‘orang luar', sebenarnya ‘orang dalam' yang sudah mengabdi belasan atau puluhan tahun lebih menguasai permasalahan di kementerian bersangkutan. Akan tetapi, kita saksikan sendiri, sangat jarang Presiden memilih pejabat karier untuk posisi menteri. Kecuali untuk jabatan setingkat menteri yang memerlukan pemahaman mendalam dan spesialis seperti Jaksa Agung atau Gubernur Bank Indonesia misalnya.
     Karena itu, meski sebenarnya agak terlambat, namun bila ada menteri yang hendak diganti, hendaknya diganti dengan yang kompeten. Ini bisa dilakukan dengan melakukan serangkaian tes. Bukan yang asal perintah ke dalam dan komentar asal ke luar. Sehingga kinerja pemerintah akan makin baik dan tentu saja meningkatkan kepuasan rakyat.

Catatan: foto hanya ilustrasi, menggambarkan Perdana Menteri Jepang Taro Aso menerima laporan assessment dari Council for Comprehensive Review of Administrative Expenditures. Sumber foto: kantei.go.jp.

Artikel ini juga diposting di kompasiana.com dan bahterajiwa.com, namun tanpa foto ilustrasi.

[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana dan  Politikana,2 Maret 2011]

Rabu, 02 Februari 2011

Siapa Bermain di Timur Tengah?

Tadinya, saya kira Amerika Serikat dengan CIA-nya yang bermain api di Timur Tengah. Namun, saat membaca opini Hajriyanto Y Thohari di Sindo hari ini, saya malah jadi bingung. Menurutnya, "rezim-rezim Arab yang memerintah sekarang ini, termasuk pemerintahan Presiden Tunisia Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarok adalah sekutu-sekutu Barat."
Apakah berarti gerakan yang seakan menjadi wabah, bermula di Tunisia, lalu Mesir, dan mengancam Yordania serta Yaman bukan kerjaannya "temennya Gayus"? Kalau memang bukan, lalu siapa dong?
Atau ini semata menunjukkan adagium abadi dalam kancah politik kekuasaan: "tiada teman yang abadi, yang abadi hanya kepentingan" saja? Sama halnya dengan Saddam Hussein di Irak yang semua tahu adalah antek A.S. terutama saat Perang Irak-Iran 1980-1988, tapi kemudian dijungkalkan dengan sadis. Bahkan Soeharto pun mengalami nasib serupa.
Lantas, siapa bermain di Timur Tengah? Karena menurut sepengetahuan saya, revolusi tak mungkin tumbuh sendiri tanpa dirancang. Meski ada kondisi yang menstimulasi, tetap ada pergerakan yang dibuat, rapat-rapat digulirkan dan terutama dana yang disediakan. Apakah teori konspirasi yang njelimet dan aneh seperti "crop circle" itu berlaku di sini?

[Tulisan  ini pertama kali diposting di Politikana, 1 Februari 2011]

Jumat, 28 Januari 2011

Lipstik dan Gincu

     Apa sih bedanya lipstik dan gincu? Mungkin secara tekstual harfiah artinya sama. Tapi konotasinya yang berbeda. Kalau lipstik terkesan lebih elit dan buatan pabrik, sementara gincu terkesan murahan. Di zaman Belanda dulu, rakyat miskin bahkan bisa menggunakan tumbukan bata merah. Tapi fungsinya sama, untuk memerahkan bibir -terutama perempuan- agar makin menarik dan sensual. Begitu...
     Entah mengapa, itulah yang teringat di benak saya saat membaca kepala berita (headline) di harian Seputar Indonesia (Sindo) hari ini. Di situ tertulis besar-besar: "100 Tokoh Lawan Mafia Hukum". Dilengkapi pula foto gagah sebagian dari 100 tokoh itu. Mereka membentuk Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum (Geram Hukum).
     Meski gerakan itu bertujuan "mulia", namun secara pribadi saya meragukan efektifitasnya. Minimal, gerakan macam itu seharusnya bisa jadi kelompok penekan (pressure group). Akan tetapi, tampaknya akan sulit karena formatnya cair. Di samping itu justru 100 tokoh itu heterogen. Belum lagi soal waktu yang pastinya sulit karena mereka semua "orang sibuk". Ditambah lagi masalah "ego" yang pasti besar, sebesar nama tokoh-tokoh itu.
     Saya tidak meragukan kualitas perseorangan individu yang terlibat, namun semata menyoroti soal pembentukan gerakan ini. Meski dilandasi niat mulia, kalau tidak ada efektifitasnya, buat apa juga bergenit-genit seperti itu? Misalnya saja muncul pertanyaan begini di benak saya: Apa sih programnya? Bagaimana cara kerjanya? Dari mana dananya? Di manakah kantornya? Ke mana tujuan yang hendak dicapai?
     Saya teringat pada "Geram" yang lain, yaitu Gerakan Rakyat Anti Madat. Gerakan ini secara formal berbentuk LSM bahkan sampai membentuk cabang-cabang di daerah. Sehari-hari mereka pun berkolaborasi dengan Polri. Apakah Geram Hukum berniat jadi LSM atau sekedar deklarasi lalu bubar?
     Maka, tak heran saya langsung teringat pada lipstik dan gincu. Apalagi di dalam gerakan ini juga ada artis yang memang sehari-hari gemar berlipstik dan bergincu...

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 28 Januari 2011]

Selasa, 25 Januari 2011

Penelitian Dicabut Dengan Upacara Adat?

     Kasus video mesum Nazriel "Ariel Peterpan" Ilham rupanya punya cerita "sampiran". Cerita itu adalah diprotesnya saksi ahli dalam persidangan kasus tersebut yaitu Tamrin Amal Tomagola. Dalam persidangan yang berlangsung tanggal 3 Desember 2010 tersebut Tamrin menyatakan, "Dari hasil penelitian saya di Dayak itu, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah, hal itu dianggap sebagai pembelajaran seks."(kutipan dari sini). Karuan saja pernyataan yang dianggap melecehkan suku bangsa Dayak itu diprotes keras. Di Politikana pun sempat muncul tulisan yang menentangnya. Bahkan digelar pula demonstrasi di Kalimantan Barat, Tengah dan Jakarta untuk menolak pernyataan Tamrin itu.
     Pada hari Sabtu (22/1) kemarin, akhirnya sosiolog Universitas Indonesia itu menjalani sidang adat yang disebut Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu. Dalam sidang yang berlangsung di Palangkaraya-Kalimantan Tengah itu Tamrin divonis oleh majelis sidang bersalah melanggar adat. Ada enam poin putusan yang dijatuhkan dalam sidang adat tersebut (lengkapnya baca di sini).
     Yang meresahkan saya adalah, poin kelima dalam putusan itu menuntut Tamrin memusnahkan hasil penelitiannya soal masyarakat adat Dayak. What?
     Bagaimana ini bisa terjadi? Sebuah penelitian ilmiah kemudian harus dimusnahkan gara-gara ada elemen masyarakat yang menjadi subyek penelitian tak setuju? Cara itu justru menunjukkan kalau isi penelitian bisa jadi memang benar.
     Sebenarnya kalau masyarakat adat Dayak ingin menunjukkan bahwa mereka merupakan suku bangsa tua yang berbudaya luhur, biarkan saja hasil penelitian itu. Kalau memang ragu dengan penelitian tersebut, buat penelitian lain dan publikasikan hasilnya. Siapa tahu memang ada perbedaan metode, pengambilan sampel dan sebagainya yang membuat hasilnya berbeda. Memusnahkan hasil penelitian identik dengan pembakaran buku. Dan membakar buku sama saja dengan memusnahkan budaya manusia.

[Foto Tamrin Amal Tomagola dari eramuslim.com]

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 25 Januari 2011]

Surat Pembaca Lim Ping Kiat


Ini surat pembaca yang ada di tulisan saya kemarin (tulisan yang ini lho)...

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 25 Januari 2011]

Senin, 24 Januari 2011

Menggugat Gerakan Koin

     Setelah sukses dengan gerakan "Koin untuk Prita", hari ini diluncurkan pula gerakan "Koin untuk Presiden". Meski tujuannya kali ini berbeda. Bukan untuk membantu, tapi malah menyindir.
     Kita semua warga P tahu, bahwa beberapa dedengkot dan warga di sini terlibat aktif dalam gerakan "Koin untuk Prita". Namun sudahkah hal itu dipertanggungjawabkan? Saya sendiri merasa, kita semua "tertipu" olehnya. Informasi yang saya dapat tentang citra beliau ternyata "tidak seindah warna aslinya". Hasil pengumpulan koin simpati masyarakat itu ternyata kemudian dipergunakan untuk kepentingan pribadi (konon untuk membangun rumah baru). Apalagi setelah pengadilan memenangkannya.
     Koin untuk Presiden yang merupakan imbas dari pernyataan Presiden di depan Rapat Pimpinan TNI/Polri di gedung Balai Samudra hari Jum'at (21/1) lebih merupakan "kegenitan politik". Dimulai di media jejaring sosial internet seperti Twitter dan Facebook, kini sudah ada 17 gerakan serupa yang muncul. Tadi siang juga sudah ada deklarasi di Bundaran Hotel Indonesia (H.I.).
     Bagi saya, ini merupakan "manuver" dari para lawan politik SBY. Di sini, saya merasa kita harus bertindak adil. Apa yang diungkapkan SBY bukan merupakan curhat. Cermati saja gaya bicara dan pemilihan kalimatnya. Itu sebenarnya lebih merupakan motivasi. Anda yang rajin mengikuti P mungkin tahu bahwa saya bahkan terlibat aktif dalam tim sukses pasangan calon lain saat Pilpres lalu. Dan hati saya belum berubah. Dalam arti belum 'tobat' untuk jatuh cinta pada SBY seperti 'dianjurkan Wisnu Nugroho, wartawan Kompas penulis buku tetralogi tentang SBY itu. Namun untuk soal tersebut, 'serangan' kepada SBY terasa kurang adil. Karena konteks bicaranya tidak seperti itu.
     Lantas tadi pagi, saya membaca di surat pembaca harian Republika, bahwa ada orang lain yang mengalami nasib persis Rita. Ia dipidanakan oleh pengembang Era karena menulis surat pembaca. Nama orang itu adalah Lim Ping Kiat.
     Pertanyaan saya: kenapa kita tidak membelanya? Kenapa tidak ada gerakan Koin untuk Lim Ping Kiat? Apakah karena dia -maaf- keturunan China? Apakah kita sudah jadi rasis di sini? Kalau mau repot-repot bermanuver politik untuk SBY, kenapa kita tidak mengulang gerakan koin untuk Prita bagi Lim Ping Kiat?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 24 Januari 2011]