Saya tidak sedang kampanye, karena itu tidak saya tambahi “Nurani” di belakangnya. Karena kata itu ditambah kata terakhir dari judul sekarang sudah jadi nama partai politik (parpol). Juga tidak sedang melantunkan lagu lawas dari Aa’ Gym, “Jagalah Hati”. Tapi di sini benar-benar hati yang kita kenal sebagai tempatnya “budi” yang bukan Budiono apalagi Budi Anduk.
Penyucian hati menjadi sarana bagi para pemeluk teguh (true believer) hampir semua agama. Cara ritualnya saja yang berbeda-beda. Yang saya herankan, kenapa semua pemimpin kita mengesankan begitu patuh pada agama di hadapan publik. Apakah pencitraan sebagai “orang saleh” merupakan sebuah keharusan?
Pertanyaan itu rupanya akan mendapat jawaban ya, meski untuk pastinya perlu survei. (Mungkin LSI berminat?) Namun singkatnya, jawabannya ya karena negara kita adalah negara yang “Berketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila ingin mendapat suara terbanyak dari pemilih yang mengaku beragama, maka kesalehan menjadi sebuah standar baku.
Meski kalau mengingat tulisan “mbah” Clifford Geertz, masyarakat Jawa (karena subyek penelitannya memang orang Jawa, tapi kita juga bisa menjustifikasi karena penduduk Jawa adalah mayoritas) sebagian besar adalah abangan dan bukan santri, namun ternyata para abangan ini tetap merasa dirinya beragama. Tidak ada orang suku tertentu yang pulaunya baru saja dibangunkan jembatan itu yang mau disebut bukan Islam misalnya, padahal ada saja yang gemar minum tuak dan main perempuan sejak zaman Sakerah.
Bisa jadi, karena keengganan disebut “tidak beragama” itulah, kemudian faktor kesalehan formal dipandang masih sangat berperan. Karena itu, kemudian isyu agama dari istri calon pemimpin bangsa diperbincangkan. Juga atribut formal yang menunjukkan kesalehan seolah menjadi nilai tambah. Pemilih diharapkan terpukau oleh penampilan kesalehan para calon pemimpinnya.
Padahal, pemimpin yang “memiliki hati” tidak cukup yang memamerkan kesalehan formal saja. Tidak cukup yang menangis dan menyebut dirinya “Cut Nyak” di hadapan orang Aceh, tidak cukup yang meninjau gempa sambil main gitar, melainkan mereka yang benar-benar “hatinya untuk rakyat”. Barangkali, secara sinergis kita dapat mengambil pedoman “Tahta Untuk Rakyat”-nya Sri Sultan Hamengkubowono IX. Artinya, di dalam hatinya, ia selalu berpikir tentang rakyat. Pikiran, dalam pandangan filsafat dan agama, sebenarnya adalah hasil karya otak dan hati. Hasil karya otak bernama rasio, hasil karya hati adalah intuisi. Keduanya selaiknya dipadukan agar menghasilkan tindakan cemerlang.
Saya lantas mengambil satu buku di rak berjudul Soul Inc.: The Art of Managing From Within karya Moid Siddiqui. Dalam buku itu, penulisnya membicarakan bagaimana membangun suatu perusahaan sebagai sebuah organisasi dengan hati. Negara, pada dasarnya juga sebuah organisasi. Hanya saja, berbeda dengan perusahaan, tujuan negara adalah menyejahterakan rakyatnya. Meski mengharapkan surplus perdagangan misalnya, namun perdagangan antar negera tidak melulu menempatkan profit sebagai hal teratas.
Ada satu kutipan yang bagi saya menarik:
“Values, virtue and wisdom dwell in our heart. Intellectual impulses are the product of the mind. Only when the heart joins the mind, can one understand the new paradigm and which I call ‘authentic performance’ through heartware.”
Anda pasti tahu artinya, jadi saya tak merasa perlu menerjemahkannya. Intinya, kalau pemimpin punya hati, dia pasti akan bisa merasa. Merasakan penderitaan dan perjuangan hidup rakyatnya. Itu bukan berarti dia harus sama miskinnya dengan rakyat, tapi salah satu tindakannya adalah dia harus tidak memamerkan kemewahan di saat rakyat sedang menderita. Pemimpin dengan hati adalah pemimpin yang peka pada kebutuhan rakyat dan kepentingan negara. Pendek kata, ia adalah pemimpin yang memiliki hati yang menelurkan budi yang tinggi (saya sengaja tidak menggunakan kata “berbudi” biar tidak dikira memihak salah satu pasangan capres).
Ia tidak hanya mampu mengatur masalah-masalah makro atau strategis, namun juga memahami apa saja yang sebenarnya menjadi jeritan rakyat. Ada banyak contoh dari para pemimpin besar soal ini. Misalnya khazanah Islam ada Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang senang keluar malam dengan menyamar untuk mengetahui kebutuhan rakyat. Tentu saja, mengatur Indonesia dengan sekitar 220 juta penduduk ini beda dengan mengatur polis ala Romawi. Namun, seyogyanya pemimpin negara kita harus mampu membuat suatu sistem intelijen yang tidak cuma mencari musuh di kalangan rakyat, tapi juga digunakan untuk mengetahui apa sebenarnya kehendak rakyat.
Intinya, pemimpin dengan hati akan mampu menangkap jeritan rakyat, tidak cuma percaya laporan pejabat. Pemimpin dengan hati tidak akan tega membiarkan rakyatnya kelaparan sementara ia sendiri hidup bermewah-mewah. Pemimpin dengan hati tidak akan mau memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri sendiri atau teman-kerabatnya. Memang, tidak akan seideal konsep “Filsuf Raja” ala Plato atau “Pandita Ratu” yang konon dicetuskan oleh Prabu Jayabaya. Akan tetapi, minimal hati itu akan membentengi sang pemimpin dari kecenderungan memuja diri sendiri, berpuas diri, senang menjatuhkan lawan dan tidak senang diberi masukan, serta dari tindakan yang merugikan orang banyak dan negara. Adakah pemimpin macam itu?
[Tulisan ini juga diposting di Politikana dan Kompasiana, 23 Juni 2009, dengan versi Kompasiana sedikit mengalami penghalusan bahasa]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar