Kasus Gayus yang bertambah 'menyenangkan' untuk diamati ini sebenarnya mencuatkan banyak tanda tanya baru. Seperti: apakah motif Gayus untuk pergi ke Bali? Apalagi dengan gagah berani Adnan Buyung Nasution (ABN) mengatakan akan membongkar pajak group Bakrie dan mengatakan pula bahwa bukan cuma Gayus yang sering keluar tahanan.
'Keberhasilan' Gayus menyuap para petugas rutan hingga mengelabui petugas di bandar udara memberikan indikasi betapa buruknya moral para penegak hukum kita. Perlakuan terhadap pemilik uang yang bahkan ABN mengatakan tak tahu jumlahnya itu karena dianggap terlalu pintar hingga KPK dan PPATK pun tak tahu itu jelas berbeda dengan para terduga teroris.
Harap diingat, tulisan saya bukan untuk membela terorisme, tapi membela perlakuan sama di hadapan hukum. Kepada para terduga teroris, kita tahu bahwa tindakan aparat kepolisian terutama Densus 88 sangat tegas. Dengan berlandaskan UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terduga teroris kerapkali segera ditembak mati. Saat ditangkap pun, kita bisa melihat perlakuan kepada mereka bak tahanan perang di Guantanamo. Bedanya, di Guantanamo para aktivis HAM internasional berterak lantang memprotes perlakuan terhadap tahanan, sementara untuk terduga teroris sepertinya mereka dianggap "bukan manusia". Padahal, seharusnya tetap dipegang prinsip "justice for all" dan "presumption of innocence".
Sementara untuk Gayus, kita tahu justru diperlakukan dengan hormat dan istimewa. Padahal, kalau mau dihitung, kesengsaraan yang diakibatkan Gayus bisa jadi lebih besar daripada terorisme. Karena sederhananya adalah uang yang dikorupsinya seharusnya bisa dialokasikan untuk rakyat banyak, ini malah dimakan sendiri. (eh, rame-rame dengan kelompoknya ding.hehehe)
Istrinya Milana Anggraeni pun mendapatkan perlakuan istimewa. Meski sudah tidak masuk kerja selama berbulan-bulan tanpa keterangan alias bolos, menurut Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Noor Syamsu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tidak serta merta memberikan sanksi (kutipan dari sini). Bahkan dalam hal turut berperan serta dalam kaburnya Gayus yang berstatus tahanan ke Bali, ia pun dianggap oleh Polri tak bisa serta-merta dijerat hukum dengan pasal turut serta melakukan perbuatan pidana bersama suaminya, sebab apa yang dilakukan Gayus bukanlah perbuatan pidana. "Pergi ke Bali itu bukan tindak pidana," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen. Pol. I Ketut Untung Yoga ana, di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jl. Tirtayasa, Jakarta Selatan, Kamis (18/11/2010) (kutipan dari sini).
Coba bandingkan dengan kerabat para terduga teroris. Mereka bisa ditangkap hanya karena tidak memberikan informasi mengenai keberadaan kerabat mereka. Misalnya Warsito yang ditangkap pada hari Minggu (18/7) di Indramayu, diutarakan oleh Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Wakadiv Humas) Polri, Brigjen Pol Zainuri Lubis ditangkap karena "Warsito menyembunyikan informasi tentang keberadaan Dulmatin dan menyembunyikan informasi tentang terorisme kemudian tidak melaporkan kepada polisi." (kutipan dari sini). Padahal, dalam KUHP dalam pasal 55 ayat 1 jelas disebutkan:
"Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: (1). mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;"
Pergi ke Bali memang bukan tindak pidana, tapi itu kalau dilakukan orang biasa. Kalau tahanan yang seharusnya berada di dalam rumah tahanan bisa keluar bebas bahkan tanpa prosedur jelas, apakah itu bukan tindak pidana? Rupanya memang hukum kita itu memegang prinsip UUD sebagai landasan hukum paling tinggi. Tapi bukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara, melainkan Ujung-Ujungnya Duit...
[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 19 November 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar