Kamis, 07 Januari 2010

Hanya Fitnah & Cari Sensasi: George Revisi Buku (Resensi/Ulasan Pribadi)

Kalau meresensi buku ini, sebenarnya lucu. Kenapa? Karena isi buku ini sebenarnya hanyalah resensi. Jadinya, ya resensi atas resensi. Memang, menurut penulisnya sendiri Setiyardi Negara saat launching kemarin, mulanya tulisannya memang resensi. Tapi karena panjang lantas dijadikan buku. Rupanya, buku itu dimaksudkan sebagai jawaban atau bantahan “tidak resmi” atas buku George Junus Aditjondro yang kontroversial: Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Bank Century (resensi bisa klik di sini). Sebabnya buku ini ditulis oleh seorang wartawan, bukan dari pihak yang merasa dirugikan akibat penulisan buku George, walau saat peluncuran penulisnya didampingi oleh Direktur Riset & Publikasi Akbar Tandjung Institute Alfan Alfian. Dalam kata pengantarnya di halaman 4, penulis buku ini menyatakan jelas maksud ini: “Secara singkat, buku ini ingin memberikan sudut pandang berbeda atas buku karya George. Saya menilai George terlalu gegabah dalam menarik kesimpulan hanya berdasar data sekunder yang belum diverifikasi. Secara serampangan dia menganggap sumber informasinya, yang berupa kliping media massa yang masih sumir, sebagai kebenaran.”

Kalau buku George dibilang tidak bermutu oleh sebagian kalangan, saya tidak tahu musti memakai kata apa untuk menilai isi buku ini. Sebagai resensi, penulisnya memang cukup awas dalam mengamati halaman per halaman buku yang diresensinya. Akan tetapi, sebagai sebuah buku, apalagi dimaksudkan sebagai “jawaban” atas buku lain, buku setebal hanya 31 halaman ini sangat jauh dari memadai. Saya sampai tertawa saat membaca isi buku ini (mohon maaf saya ilustrasikan dengan foto di atas :D ). Walau saya harus mengacungkan jempol atas kemasan lux buku ini. Tidak hanya dicetak di atas kertas art paper 120 gr, tapi juga seluruh halamannya berwarna! Informasi yang saya dapat buku ini akan dijual seharga Rp 15.000,00 per edisi. Menjadi pertanyaan bagi saya karena ada statement dari penulis buku ini bahwa ia membuat buku untuk cari untung. Secara finansial, apalagi dengan rabat toko buku sebesar 35 %, rasanya kecil kemungkinan ada keuntungan dari penjualan buku ini. Malah, bisa jadi defisit. So, pertanyaannya, dari mana defisit itu ditutup? Apalagi penulis buku ini sekaligus adalah pimpinan penerbit buku ini sendiri atau istilahnya “self publishing”. Hebat!

Sekarang, mari kita lihat isi buku ini.

Dimulai dengan prolog yang berupa kronologis penerbitan buku karya George yang dipaparkan dalam bentuk narasi, bukan pointers. Cukup rinci walau penulis buku ini justru kembali mengulang kesalahan George, banyak mengutip dari media. Satu contoh dari halaman 6, dituliskan pendapat Amien Rais tentang buku ini: “Seperti dikutip berbagai media, mantan Ketua MPR RI ini mengaku…”. Kata “seperti dikutip berbagai media” pun sulit diverifikasi, media yang mana? Hanya saja, untuk kredit foto, saya acungkan jempol bagi penulisnya karena ia dengan gentle menyebutkan sumbernya yang semuanya dari situs internet.

Bagian berikutnya setelah prolog diberi judul “Fenomena Isi Buku”. Setelah mengawali kalimatnya di bagian ini dengan kembali menegaskan bahwa buku George “tidak didukung data dan fakta yang akurat”, penulis cukup cermat merangkum adanya tiga fenomena dalam buku George (p.10):

  1. Tudingan jaringan bisnis dan politik Presiden dan keluarganya.
  2. Tudingan pemanfaatan jaringan, untuk pemenangan Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009.
  3. Tudingan keterkaitan jaringan dengan dengan kasus Bank Century.

Sayangnya, setelah cukup cermat membuat pointers tadi, dalam bagian selanjutnya yaitu “Meninjau Isi”, penulis tidak membangun argumen jawaban atau bantahan atas buku George yang dianggapnya “hanya bersumber pada data sekunder belaka” dengan data lagi. Ia hanya mengulang-ulang berbagai kalimat senada seperti kalimat barusan. Misalnya, “Entah dari mana George tahu tentang uang simpanan Boedi Sampoerna dan Hartati Moerdaya di Bank Century?” (p. 12.), atau “Penulis bahkan tidak melampirkan sumber referensi dari laporan tersebut. Sehingga informasi ini sama sekali tidak dapat dipercaya. Tingkat distorsi atas data ini sangat kuat.” (p. 13). Intinya penulis menyerang banyak digunakannya kalimat hipotesis dalam buku George, yang menurutnya diakibatkan oleh ketidakyakinannya pada opininya sendiri.

Menurut hemat saya, bila memang buku ini hendak dijadikan jawaban atau bantahan yang lebih “ilmiah” daripada buku George, semestinya ketiadaan atau kekurangan data dalam buku George dibalas dengan data. Misalnya untuk pernyataan di halaman 12 yang saya kutip di atas, ia menuliskan “berdasarkan data yang diperoleh dari Divisi Pelayanan Nasabah Bank Century seperti ditunjukkan oleh Mr.X selaku kepala divisinya kepada penulis, uang simpanan Boedi Sampoerna di bank tersebut hanya 18 juta dollar saja.” Dengan begitu, maka sontak bangunan argumen prasangka George akan runtuh berantakan. Karena tidak ada data tandigan, maka keseluruhan buku cuma seolah hanya mengatakan satu hal saja: “George bohong! Tidak ada data valid untuk isi bukunya!”

Bahkan tanpa disadarinya, penulis terkesan menulis buku ini agak tergesa-gesa sehingga gaya George pun juga dipakainya. Misalnya di halaman 19-20 ia melakukan bantahan terhadap “keterkaitan promosi Batik Allure dengan Ibu Negara Any Yudhoyono” dengan kalimat “Publik tahu, Allure Batik memulai suksesnya berawal dari sebuah garasi di Kawasan Simpruk, Jakarta. Modal awalnya Rp100juta”. Wait a minute, publik mana yang tahu soal Allure Batik? Saya saja yang merasa cukup “beredar” baru tahu soal Allure Batik dari buku George. Meski ada kalimat “Begitu Ade Kartika, Wakil Direktur sekaligus co-owner Allure Batik bercerita (p.20) yang menandakan penulis melakukan wawancara, namun disayangkan ada asumsi yang terkesan pembelaan bertubi-tubi. Coba baca kalimat berikut: “Bukankah tugas setiap warga negara, apalagi sebagai Ibu Negara untuk mempromosikan karya anak bangsa. Batik jelas merupakan milik bangsa Indonesia. Dan setiap produsen yang ingin mempromosikan barang dagangannya, pasti akan menggunakan bintang iklan yang layak jual. Ini teori promosi yang sederhana. kalau ada produk yang membutuhkan ikon atau bintang iklan untuk sebuah tema provokasi dan sensasional, mungkin George Aditjondro akan dipilih produsen untuk ikonnya.” (p.20). Kalimat ini yang diakhiri dengan kalimat sinis kepada George adalah asumsi dari “logika berpikir ala simsalabim”, sebuah istilah yang oleh penulis justru diterakan kepada George (p.18).

Batik memang milik Indonesia. Tapi siapa bilang batik hanya bisa diwakili oleh satu produsen saja bernama “Allure Batik” ? Logikanya, kalau memang ingin memajukan batik Indonesia saja, tidak perlu memilih satu merek (brand) tertentu, namun justru menyebutkan kalau batik yang dipakai asal daerah mana. Misalnya batik Pekalongan, atau menyebut pola motif seperti batik Kawung atau Sido Mukti asal Yogyakarta. Di sini penulis jatuh pada argumen yang terkesan tendensius, terlalu bersemangat membela satu pihak seraya menjatuhkan pihak lain.

Meski saya setuju pada argumen dasarnya bahwa buku Aditjondro sangat kekurangan data dan rujukan, seperti juga saya tuliskan dalam resensinya, namun disayangkan buku jawaban atau bantahan ini juga tidak menyertakan data, rujukan atau refernsi pembanding. Sehingga 12 halaman “resensi” tentang isi buku Aditjondro semata pengulangan atas argumen dasar itu saja. Masih untung fotonya besar-besar dan berwarna, sehingga menyejukkan mata memandangnya. :) Saya juga memuji kerajinan penulis mengikuti dan mencatat kapan jadwal penayangan bantahan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh tulisan George di berbagai stasiun televisi. Sayangnya isi bantahan pihak-pihak itu saat bicara di televisi malah tidak ditulis dengan jelas.

Di akhir buku, ada bagian “Epilog” sebelum “Tentang Penulis”. Di sini malah penulis dengan fatal justru cuma copy-paste berita internet, dengan sumber cuma tiga: VIVAnews, ANTARA News, dan detikNews. Padahal, kalau mau sedikit rajin, penulis bisa membuat epilog berupa argumen pamungkas yang akan meruntuhkan argumen buku George secara total. Apalagi, penulis berpengalaman sebagai wartawan Tempo sama dengan George. Seharusnya sebagai “saudara seperguruan” penulis bisa tahu teknik penulisan yang efektif untuk membantah tulisan orang lain.

Kesimpulannya, baik buku George maupun jawabannya ini sama-sama kurang data primer. Hanya saja sebagai pionir, buku George memiliki daya kejut lebih di pasaran. Apalagi isinya kontroversial yang bisa jadi bahan gosip di warung kopi. Maka, kalau buku jawaban lain akan ditulis, akan lebih baik bila bisa “menghabisi” buku George dengan data primer yang telak. Dengan begitu, maka citra SBY dan pemerintahannya serta para pendukungnya yang “dicemarkan” buku George akan terkoreksi signifikan.

[Tulisan ini juga diposting di Kompasiana, 7 Januari 2010]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar