Dalam setiap lakon, baik itu sekedar sandiwara sekolahan atau film ala Hollywood, selalu ada sutradara yang berhak mengatur mulai jalannya cerita hingga penentuan pemain. Demikian pula dalam setiap lakon politik di panggung kenegaraan kita, tak heran bila masyarakat bertanya-tanya, setelah semua aktor menampilkan diri, maka, siapakah sang sutradara? Bila di panggung sandiwara atau teater sang sutradara akan tampil dengan bangga saat diperkenalkan di akhir acara, atau menampilkan diri dalam credit title di akhir film, maka dalam konteks sutradara di panggung politik kenegaraan malah sebaliknya, sang sutradara malah ‘ngumpet’.
Kenapa ngumpet? Karena sebagai ‘aktor intelektual’ ia memiliki peran paling besar dan merupakan otak dari segalanya, maka, ia pun kemudian memiliki tanggung jawab paling besar dibandingkan aktor biasa. Apalagi bila kemudian drama nasional yang dipertontonkan merupakan perbuatan yang merugikan pihak lain.
Terkadang, sang sutradara memang tidak tersingkap sampai lakon berakhir. Akan tetapi, itu tak sering. Bahkan, andaikata tak disebutkan gamblang, biasanya ada tindakan yang terindikasi bahwa seseorang adalah sutradaranya. Seperti tulisan saya kemarin di Politikana (baca kembali di sini), dalam skandal Watergate misalnya, Richard Nixon memang tidak terbukti sebagai sang sutradara. Ia mundur dari jabatannya sebelum pemeriksaan, yang berarti akan mengungkap segalanya termasuk jati diri sang sutradara. Meski tidak pernah ada pernyataan resmi tentang jati diri sang sutradara kasus Watergate, publik tetap bisa menduga, bisa jadi Nixon-lah sang sutradara itu sendiri.
Dalam kasus kekisruhan yang menimpa KPK dan Polri, yang semula merupakan kasus Bank Century dan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang terpisah, publik hanya bisa meraba, siapa kira-kira sutradaranya. Dalam tulisan di internet termasuk di P ini, berseliweran berbagai skenario terutama dugaan tentang sang sutradara, namun semua hanya dugaan dan prasangka belaka. Tidak ada bukti yang bisa disampaikan. Hanya saja, seharusnya otak yang waras bisa meraba, kemana sebenarnya arah kasus ini. Karena bila memang sekecil itu skalanya, saya pikir tak mungkin sampai dibentuk Tim 8 segala. Sekarang, tinggal menunggu siapa yang akan dikorbankan dan “diberi cap” sebagai sutradara. Padahal, mungkin yang bersangkutan cuma figuran belaka.
Sudah lama sekali banyak kasus yang tergolong ‘dark number’. Jangankan sutradaranya, wong aktor pelakunya saja masih gelap atau ‘digelapkan’ kok. Misalnya kasus penculikan aktivis 1997-1998, Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Petrus di dekade 1980-an, atau Tragedi Tanjung Priok 1984. Meski ada dugaan dari publik atau pengamat ahli, semua itu cuma dugaan tanpa bukti faktual. Memang, ada aktor yang tercatat sejarah, namun belum tentu aktor utama. Terkadang, seperti halnya dalam Peristiwa Malari 1974, aktor utamanya yaitu Ali Moertopo dan Soemitro tidak mendapatkan hukuman resmi dalam pengadilan, melainkan ‘hanya’ hukuman berupa pencopotan jabatan saja. Malah, para pengamat ahli menduga dalam banyak kasus konflik di era Orde Baru, sang sutradara justru yang berhak mencopot jabatan para aktor utama itu tadi. Namun, sekali lagi itu hanya dugaan tanpa bisa terungkap.
Pertanyaan saya: akankah kekisruhan KPK vs Polri ini akan berujung pada dark number? Kalau memang begitu, memang repot. Ujungnya kita tinggal menunggu kiamat dan menanti pengadilan Tuhan saja. Akan tetapi harus diingat, kita tidak bisa ‘menonton’ pengadilan Tuhan, karena tiap kita akan diadili sendiri-sendiri. Dan pengadilan Tuhan tidaklah mengadili kasus, melainkan mengadili perbuatan pribadi saja. Sehingga, kita pun tidak akan bisa memastikan hal itu, selain orang itu sendiri dan Tuhan tentunya. Akankah semua ini kita serahkan ke Tuhan saja?
{Tulisan ini dimodifikasi sedikit dari tulisan yang dimuat di LifeSchool, dimuat bersamaan di Politikana, 12 November 2009}
[Gambar diambil dari actorguru]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar