Film itu, tentu banyak warga P yang sudah nonton. Tapi sepintas saja bagi yang belum nonton atau sekedar mengingatkan, film itu merupakan kisah nyata dari skandal Watergate (1972-1974) yang pada akhirnya menjatuhkan Presiden Richard Nixon. Dimulai dari tertangkapnya 5 orang saat hendak menyadap kantor pusat Partai Demokrat, lawan Partai Republik yang sedang berkuasa. Kejadian kecil yang semula dikira percobaan pencurian biasa itu ternyata mengarah pada banyak hal, termasuk dalam hal ini yang paling berat adalah penyalahgunaan kekuasaan dari Nixon. Karena kelima orang itu ternyata terhubung dengan Tim Sukses Pemenangan Kembali Pemilu Presiden AS 1972 untuk Nixon. Dan Nixon sendiri terbukti memiliki rekaman pembicaraan hasil sadapan dari berbagai tempat. Selain bergulir di pengadilan, kasus ini mencuat dan menjadi perhatian publik berkat ketekunan dan keberanian dua wartawan muda The Washington Post yaitu Bob Woodward dan Carl Bernstein. Mereka kemudian jadi legendaris dan tekniknya yaitu menggunakan "Deep Throat" kemudian jadi lazim digunakan oleh para wartawan investigasi seluruh dunia.
Andai benar Presiden SBY menonton acara itu kemarin, tentu semua peserta akan bertanya, kenapa Presiden tidak menyerahkan pengusutan perkara ini kepada "Grand Jury" seperti Watergate. Bisa jadi beliau berkata sudah, karena sistem hukum kita kan memulai proses peradilan dari awal, dari tingkat Pengadilan Negeri dimana kasusnya diajukan oleh Kejaksaan Negeri. Lagipula tidak ada sistem juri di peradilan kita. Dan beliau bisa pula berkata bahwa sebagai Presiden yang eksekutif beliau tak mau mencampuri wewenang peradilan yang yudikatif. Yeah, penerapan murni Trias Politica-lah.... Apalagi, di sini SBY sudah membentuk Tim 8 yang bekerja untuk menggelar perkara secara publik walau hasilnya cuma berbentuk rekomendasi tanpa kekuatan hukum tetap. Semua tindakan SBY itu secara teoretis bisa saja dibenarkan. Namun, di sini ada opini publik yang terbentuk dan rasa keadilan rakyat yang terkoyak. Sama halnya dengan kasus Watergate atau penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa mana pun, sebenarnya kalau mau dijustifikasi ya tidak ada yang salah. Wong aturannya yang buat ya si penguasa sendiri kan? Hanya saja selain justifikasi legal formal, asas etika dan keadilan universal harus pula diperhatikan.
Selain soal keterlibatan Nixon, ada satu hal lagi yang menggelitik saya dari film tersebut, yaitu keberanian media mengungkap kasus itu. Bahkan The Washington Post dan The New York Times berlomba menggali lebih dalam, dan sejarah mencatat Post akhirnya unggul. Resikonya tidak sedikit, Pemrednya pun harus siap "pasang badan", tapi setelah yakin faktanya benar-benar valid. Mereka berani melawan penguasa, yaitu Presiden AS dan aparatnya termasuk FBI dan CIA. Di Indonesia saat ini, malah ada TV yang memberi kesempatan pada "musuh negara" untuk diwawancara eksklusif, seraya berupaya mendistorsi informasi, bukannya menggali informasi yang valid untuk rakyat.
Nixon sendiri mundur guna menghindari impeachment oleh House of Representatives dan pemeriksaan mendalam dari Senat. Penggantinya yang nota bene adalah Wakil Presidennya sendiri yaitu Gerald Ford kemudian memberikan maaf dan pengampunan secara resmi. Maka, ia terhindar dari pemeriksaan lebih lanjut yang jelas berpotensi menghancurkan reputasinya dan ada pula kemungkinan ia akan dipenjara, walau skandal Watergate-nya sendiri sebenarnya sudah menamatkan karir politiknya.
Artinya, sebagai Presiden ia cukup berani mengambil alih tanggung-jawab anak buahnya, walau belum terbukti ia yang memerintahkan. Artinya, meminjam istilah Hendarman Supandji, belum ada bukti mutlak Presiden terlibat, tapi sudah ada bukti kuat bahwa Nixon minimal mengetahui perbuatan "orang-orang"-nya, All The President's Men. Dan pembiaran tindakan kejahatan adalah termasuk konspirasi kejahatan yang dikategorikan kejahatan juga.
Nah, bagaimana di sini? Tampaknya para pemimpin kita justru sebaliknya. Mereka malah sebisa mungkin berlindung dengan segala cara setelah melempar batu. Kalau ada yang harus dihukum dan disalahkan, bukan pimpinannya, tapi malah anak buahnya. Sampai-sampai ada istilah "dikorbankan".
Saya tidak menuduh bahwa ada orang yang lebih tinggi lagi yang terlibat dalam skandal Bank Century dan pembunuhan Nasrudin yang kemudian berkembang jadi KPK vs Polri ini. Saya hanya berharap, keadilan akan ditegakkan dan kasus ini menjadi yurisprudensi yang akan dikenang oleh generasi mendatang sebagai pengungkapan satu kejadian memalukan yang berefek memurnikan sistem ketatanegaraan termasuk sistem hukum negara kita.
Pada akhirnya, paling tidak dari film ini ada pelajaran yang bisa dipetik:
- Institusi peradilan harus independen dan tidak takut atau terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif atau tekanan mana pun termasuk dari publik.
- Pimpinan atau seseorang berjabatan tinggi selayaknya berani mengakui tanggung-jawabnya dan rela diberikan hukuman sesuai proporsi kesalahannya. Tanpa harus "mengorbankan" anak buahnya semata.
- Pihak-pihak yang terlibat mau jujur berterus-terang menyebutkan kejadian yang dialaminya tanpa ada rekayasa atau pengaturan skenario lebih dulu.
- Media bisa mengambil peran lebih menelisik lebih dalam daripada penyidik resmi. Setidaknya, fungsi watchdog dijalankan, bukan jadi puppies peliharaan yang menggoyangkan ekornya kesenangan saat diberi santapan penangkapan teroris...
[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 11 November 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar