Selasa, 10 November 2009

Pahlawan & Tanda Jasa

10 November. Hari Pahlawan.
Itulah hafalan kita sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar (S.D.). Tentu kita semua tahu riwayatnya, kenapa hari ini dijadikan Hari Pahlawan oleh pemerintah Indonesia. Ya, dahulu di masa Revolusi Fisik mempertahankan kemerdekaan, arek-arek Suroboyo menolak perintah menyerah dari Inggris selaku pimpinan pasukan Sekutu yang menduduki kota itu. Sekutu, selaku pemenang Perang Dunia II merasa berhak mengambil alih Indonesia dari tangan Jepang yang sebelumnya menguasai wilayah yang bernama Hindia Belanda itu. Namun, rakyat Indonesia mencium gelagat bahwa negerinya akan diberikan kembali sebagai jajahan Belanda, terbukti dengan ikut sertanya NICA dalam rombongan tentara Sekutu. Maka, saat otoritas tentara pendudukan Inggris meminta rakyat Surabaya menyerah, serta-merta dilawan dengan angkat senjata. Segala elemen rakyat bahu-membahu berperang melawan tentara Inggris dan Belanda yang bersenjata jauh lebih modern.
Meski tak seimbang dan jatuh korban amat banyak di pihak Indonesia yang baru saja memerdekakan diri 3 bulan sebelumnya, perlawanan rakyat Surabaya mengejutkan Inggris dan dunia. Heroisme mereka diliput luas dan diberitakan di luar negeri. Terlebih, tentara Inggris harus merelakan kehilangan salah satu pimpinan mereka yaitu Brigadir Jenderal Mallaby yang tewas tertembak. Itu memaksa Inggris kemudian perlahan hengkang dari Indonesia seraya mendorong Belanda memasuki meja perundingan. Meski Belanda tidak langsung mengakui bahkan berupaya 2 kali lagi melakukan agresi, namun pada 19 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, mantan penjajah itu akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Ada dua kejadian historis yang heroik yang masih diingat hingga kini. Pertama adalah pidato Bung Tomo, tokoh pemuda Surabaya yang membakar semangat arek-arek Suroboyo melalui RRI. Dalam pidatonya yang bersejarah itu beliau telah mampu menghilangkan keraguan dan ketakutan rakyat, sekaligus memompa semangat juang segala lapisan masyarakat. Sementara kejadian historis kedua adalah perobekan kain bendera di bagian warna biru bendera Belanda yang berkibar di Hotel Oranje, untuk kemudian bendera yang tinggal warna merah-putihnya itu dikerek naik kembali. Itulah yang kita kenang. Nilai-nilai inilah yang kita junjung...
Keluhuran.
Kebanggaan.
Kepahlawanan.
Nasionalisme.
Patriotisme.
Itulah yang harus dipertanyakan kembali di saat republik ini menua. Republik yang untuk mendirikannya ditebus dengan darah, nyawa, harta dan air mata para pahlawan. Para pahlawan yang bahkan banyak mati dalam kondisi tak dikenal dan tanpa tanda jasa.
Sementara, kini kita menyaksikan parade mengerikan di media massa kita. Parade di mana ada sejumlah orang dengan tanda jasa bertaburan di dadanya namun patut dipertanyakan nilai-nilai keluhuran, kebanggaan, kepahlawanan, nasionalisme dan patriotisme-nya. Orang-orang yang rela ‘menjual murah’ tanda-tanda jasa yang seharusnya hanya layak dimiliki para pahlawan itu dengan rumah mewah, pendidikan anak di luar negeri, kesehatan terjamin, mobil sport terbaru, dan hal-hal duniawi lainnya.
Tidakkah kita semua malu pada para pahlawan yang berteriak lantang seperti dituliskan oleh Chairil Anwar dalam sajak terkenalnya “Krawang-Bekasi” (1949):
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Semoga kita sekarang tidak berkata:
“Pahlawan, maafkan kami. Negeri hasil perjuanganmu luluh lantak oleh para penjahat bertanda jasa, yang dibeli oleh para penjajah gaya baru bersaku penuh uang seraya berkata: kamilah Pahlawan!”

[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan Politikana, 10 November 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar