Lord Layard mengatakan bahwa rumus bahagia adalah bersosialisasi, membuat koneksi, bergerak secara aktif, terus belajar dan biasakan memberi sesuatu untuk orang lain.
Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan hidup semua orang. Aristoteles bahkan menempatkannya sebagai tujuan utama dari keseluruhan sistem etika filsafatnya. Ia menyebutnya “Eudaimonia”. Kata ini berarti kebahagiaan dalam bahasa Yunani, dimana filsuf itu mendefinisikannya “sesuatu yang paling baik, paling mulia, dan paling menyenangkan di dunia.”
Semua orang pasti ingin merasa bahagia. Akan tetapi, banyak yang tidak menyadari bahwa kemampuan meraih kebahagiaan sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal ini terkait dengan kekuatan kepribadian dan kemampuan masing-masing dalam merespon dan bertahan menghadapi hidup. Dalam istilah psikologi, Dr. Paul Stoltz menciptakan istilah “Adversity Quotient” (AQ). Menurut definisi beliau, Adversity Quotient adalah “the capacity of the person to deal with the adversities of his life. As such, it is the science of human resilience,” atau bila diterjemahkan “kemampuan seseorang untuk menghadapi tantangan kesengsaraan dalam hidupnya. Singkatnya, ini adalah ilmu tentang daya kenyal manusia.” Istilah “daya kenyal” sendiri mungkin terdengar aneh, karena itulah terjemahan yang saya dapat dari Kamus Inggris-Indonesia “standar” yang disusun oleh John M. Echols dan Hassan Shadily. Istilah itu sendiri maksudnya adalah kelenturan. Jadi, AQ merupakan intelejensi khusus yang berkaitan dengan kelenturan seseorang menghadapi problema kehidupan. Makin lentur ia, makin mampu ia menghadapi kesulitan hidup.
Sayangnya, seringkali seseorang begitu rendah AQ-nya, meski mungkin dianugerahi IQ tinggi. Karena itu, seringkali kita melihat ada orang yang pintar namun miskin. Ini karena ia tidak mampu menyiasati hidup. Sementara banyak orang tidak pintar namun kaya. Akan tetapi, jangan salah, pendidikan formal tetap perlu. Karena ada yang lebih penting daripada ilmu yang dipelajari dalam pendidikan formal, yaitu wawasan, logika dan jaringan. Itulah yang dikembangkan oleh orang-orang hebat yang sukses di bidangnya.
Bill Gates boleh putus kuliah dari Harvard. Akan tetapi ia punya jaringan teman-teman sevisi yang mewujudkan mimpinya membuat sistem operasi komputer dengan antar-muka berbasis grafis yang ramah dan mudah digunakan. Wawasannya pun jelas terasah karena ia tahu saat itu belum ada yang mewujudkan idenya. Demikian pula logikanya, baik logika algoritma numerik maupun logika bisnisnya pun jalan seiring. Maka terciptalah Microsoft Windows yang mendunia dan nyaris memonopoli pasar sistem operasi dengan GUI-nya yang indah dan disukai pengguna.
Banyak yang mengidentikkan kebahagiaan dengan kesuksesan. Sementara kesuksesan dianggap setali tiga uang dengan kekayaan. Padahal, itu tidak betul.
Kebahagiaan juga tidak berarti kita harus selalu tersenyum atau tertawa. Karena itu berarti kebahagiaan identik dengan kesenangan dan rasa senang. Padahal, kebahagiaan jauh lebih luas daripada itu.
Kebahagiaan bisa didapat dari banyak hal. Salah satu aspek yang sering diajarkan orang-orang tua di Jawa adalah sikap “nrimo ing pandum”. Dalam Islam, dikenal istilah “qona’ah”. Ini merupakan perwujudan sikap menerima apa yang kita dapat -dengan pengertian dianugerahkan oleh Tuhan sebagai berkah- setelah berikhtiar. Jadi, semua harus didahului ikhtiar atau usaha, bukan dengan berpangku tangan dan berkeluh-kesah.
Adversity Quotient adalah kemampuan untuk “nrimo ing pandum” atau “qona’ah” tadi. Dalam segala yang kita hadapi dan terima, kita harus mampu mencari “blessing in disguise”-nya. Dalam setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Ini berarti, pribadi dengan AQ tinggi akan mampu mencari jalan keluar atau solusi dari masalahnya dengan berupaya memecahkan sumber masalahnya langsung, bukan dengan berkeluh-kesah dan menyalahkan orang lain. Ia akan tangguh berjuang menghadapi hidup dan menaklukkannya. Dalam proses itulah kebahagiaan diraih. Dengan menyikapi hidup sebagai arena perjuangan, pembelajaran, pertemanan dan berbagi tanpa henti, niscaya kebahagiaan hidup itu akan tampak realistis dan bisa dicapai segera tanpa perlu menunggu sukses atau kaya lebih dulu.
[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana, 10 Februari 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar