Jumat, 21 Januari 2011

Revolusi? Memangnya Gampang?

     Hari ini, di media massa terbetik kabar soal pernyataan Jenderal TNI (Purn.) Tyasno Sudarto -mantan KSAD- yang menyerukan revolusi. Meski dibungkus dengan kalimat diperhalus "Gerakan Revolusi Nurani", namun toh tetap ada kata "revolusi"nya. Bisa jadi, ia merupakan satu dari beberapa elemen yang merencanakan "Revolusi 2011". Mereka tidak ingin menunggu hingga Pemilu 2014 dengan berbagai alasan.
      Terkait pernyataan Tyasno tadi, selain soal rekam-jejak sang jenderal, ada masalah lain. Yaitu sebuah pertanyaan besar: memangnya gampang mencetuskan revolusi? Ada banyak unsur kompleks saling terkait dalam revolusi. Tidak hanya pemerintah yang dianggap tidak kompeten, tapi juga reaksi massa terhadap ketidakkompetenan itu, kesiapan intelektual, peran gerakan penggalangan massa, fungsi kelompok penekan, bahkan -believe it or not- dana yang amat memadai. Dalam hal terakhir ini, peran kelompok oposisi atau pihak yang tidak sependapat dengan pemerintahan sekarang sangat dibutuhkan.
     Karena itulah, harus diingat, meski hampir selalu mengatasnamakan "kepentingan rakyat" dan dalih "menyelamatkan negara", setiap revolusi selalu berujung pada perebutan kekuasaan. Baik itu revolusi damai atau kudeta berdarah, ujung-ujungnya adalah bergantinya pemerintahan. Pada kasus ekstrem memang sampai ada yang berujung pada perubahan konstitusi bahkan hancurnya sebuah negara. Sebutlah seperti revolusi Turki saat Mustafa Kemal Pasha "Attaturk" merebut kekuasaan negara dari Sultan Abdul Hamid II tahun 1923.  Saat itu imperium kekhalifahan Islam terakhir Turki Otsmani hancur dan digantikan Republik Turki.
     Revolusi memang hampir selalu dikaitkan dengan politik dan pemerintahan. Meski arti kata dasarnya adalah "perubahan secara cepat" sebagai antinomi dari "evolusi" atau "perubahan secara bertahap/gradual". Maka, bila muak dengan kondisi Indonesia, memang revolusi satu-satunya cara. Karena evolusi berarti akan makan waktu amat lama (ingat evolusi manusia ala Darwin?) dan bisa jadi hasilnya tidak sesuai harapan. Ini karena ada proses adaptasi sehingga bisa jadi ada penyiasatan dari mereka yang seharusnya tergusur.
     Namun, dalam menyerukan revolusi, memang seharusnya ada prakondisi atau situasi sebelumnya yang seyogyanya dipenuhi. Sara Robinson menulis, setidaknya ada tujuh prasyarat menuju revolusi. (lengkapnya bisa dibaca di sini), yaitu:
  1. Membubung, Lalu Hancur
  2. Adanya Perang Kelas
  3. Intelektual yang diabaikan
  4. Pemerintah yang tidak kompeten
  5. Pengecut di Kelas Penguasa
  6. Ketidakbertanggungjawaban dalam Bidang Pajak
  7. Penggunaan Kekuatan Yang Tidak Konsisten
Sudahkah di Indonesia hal itu terpenuhi?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 21 Januari 2011]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar