Artikel conscientizacao tentang lapak sebelah di sini, memicu pertanyaan di atas. Apalagi dari comment2 yg ada, saya menangkap ada nuansa kecaman terhadap tindakan admin Kompasiana. Saya sendiri termasuk yg menyemangati Faizal Assegaf, secara memang pernah bertemu langsung beberapa kali.
Dalam artikel saya di Kompasiana (baca di sini), saya sendiri menganggap penyematan titel "guru bangsa" itu sebagai:
agak terlalu menyanjung dan melebih-lebihkan
namun mencoba tetap proporsional mengingat konteks tulisan saya adalah liputan kejadian dari sudut pandang orang biasa atau jurnalisme warga. Kalau kita pernah belajar teori jurnalistik, harus diakui tulisan Faizal yang diduga memicu pem-ban-an ybs (tulisannya yang di Kompasiana sudah dihapus admin, tapi masih ada di sini) murni opini kritis ybs, sayangnya tanpa landasan argumen yg memadai. Tapi saya tetap tidak sependapat bila tulisan itu dianggap "keras" apalagi mengkritik boss Kompas itu. Maka, tak layak bila hanya karena tulisan itu Faizal di-ban. Apalagi cuma karena menolak titel "guru bangsa" sembari menyematkan titel lain yaitu "konglomerat pers".
Setelah saya amati, tampaknya sudut pandang "Kompasianer" vis a vis secara frontal dengan "Warga P". Di sana, yg namanya "harmoni" lebih dikedepankan. Maka, jangan harap diskusi "die-hard" ala P bisa muncul di sana. Akan tetapi, ada sebuah hal positif pula yg terbangun, yaitu rasa saling menghormati, apalagi dengan cukup seringnya diadakan kopdar. Ini bisa muncul karena ada yg namanya "tanggung jawab", yaitu sebagian besar Kompasianer mencantumkan jati diri aslinya. Sementara di P, justru anonimitas yg dibela habis. Tulisan pertama saya di P misalnya (baca lagi di sini), mendapatkan reaksi penolakan yg luar biasa, apalagi saat itu jadi headline.
Sementara di P, sebagai media yang mengklaim sebagai "sarana untuk belajar demokrasi", mempertahankan pendapatnya sendiri sebagai benar tampaknya dianggap penting sekali. Sehingga, kerapkali terjadi perdebatan yang "die-hard" tadi. Karena kerasnya argumentasi, bahkan kerap informasinya "off the record" dan "A-1", maka "tanggung jawab" berupa pencantuman identitas asli pun menjadi nomor sejuta alias tidak dianggap penting. Karena ternyata dianggap lebih penting melindungi diri dari "tangan-tangan jahil" yang mungkin tersinggung atas nama hukum kita yang mengakomodir "pencemaran nama baik" dan "tindakan tidak menyenangkan".
Saya lantas menyadari perbedaan karakter "warga P" dengan "Kompasianer". Maka, sejak itu saya mempelajari jenis tulisan di dua lapak ini. Dan, jadi jarang mem-publish (cross posting) tulisan yang sama di keduanya, kecuali tentu yang saya anggap cocok misalnya seperti tulisan tentang Gus Dur ini.
Karena itu, saya kembali pada pertanyaan yang menjadi judul:
"Lebih Penting Mana: Merasa Benar atau Tanggung Jawab?"
[Tulisan ini semula di posting di Politikana, 2 April 2010]
Ilustrasi Foto: Dari laman tulisan Faizal Assegaf.
Sumber Foto: http://visibaru.com/index.php?option=com_content&view=article&id=486:jacob-oetama-bukan-guru-bangsa-06&catid=45:blog-faizal-assegaf&Itemid=83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar