Kamis, 25 November 2010

Selamat Buat Mas Ibas!

     Setelah berhasil menjadi "juara" dalam hal pengumpulan suara di Pemilu 2009 lalu, Edhie Baskoro Yudhoyono duduk menjadi anggota Komisi I di DPR-RI. Kesibukan Ibas -nama panggilan putra bungsu kesayangan Presiden kita itu- bertambah setelah dalam struktur kepengurusan Partai Demokrat yang baru, ia didudukkan sebagai Sekertaris Jenderal. Yah, tidak heran sih, itu kan partai bikinan bapaknya.
     Namun ternyata, itu belum cukup. Dalam struktur pengurus KADIN periode 2010-2015 yang dipimpin Ketua Umumnya yang baru yaitu Suryo Bambang Sulistyo, Ibas juga diberi kursi. Ia diberi posisi sebagai Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Promosi Internasional, Pariwisata, Seni dan Budaya (artikel ada di sini).
     Sebagai badan yang berfungsi amat luas dalam hal penyelenggaraan kerjasama perdagangan dan perekonomian Indonesia dengan negara lain, KADIN (Kamar Dagang Indonesia-Indonesian Chamber of Commerce) tentu amat strategis. Pemosisian Ibas boleh-boleh saja, apalagi itu hak prerogratif Ketua Umum terpilih bersama tim formaturnya. Bila memang Ibas dianggap mampu sebagai pengurus KADIN, nggih sumonggo mawon.
     Namun ada pertanyaan sederhana mencuat, kenapa publik tidak tahu apa saja usaha yang sedang dijalankan Ibas? Teringat iklannya dalam Pemilu lalu, ia justru diposisikan sebagai "eksekutif muda" (seperti foto ilustrasi). Berarti, beliau punya bisnis atau usaha yang jalan dengan pesatnya dong? Sebagai pengurus KADIN, tentu akan sarat kepentingan memajukan bisnis sendiri, meski posisi yang diberikan kepadanya justru dikaitkan dengan bidangnya di Komisi I DPR.
     Pertanyaan kedua adalah, apakah ini bentuk "terima kasih" dari Ketua Umum KADIN yang baru kepada SBY atas restunya? Karena tak bisa dipungkiri, jabatan ini prestisius dan "basah". Sulit bisa duduk di "kursi panas" itu bila tak ada restu dari "ingkang mbaurekso".
     Transparansi tentang usaha Ibas rasanya perlu dilakukan. Apalagi jabatan di KADIN termasuk jabatan publik. Apakah benar tengara George Junus Aditjondro dalam buku "Membongkar Gurita Cikeas" bahwa SBY dan keluarganya punya aneka bisnis?
     Kalau itu terjadi, apa bedanya dengan keluarga Soeharto dan kroni-kroninya? Kalau dalihnya keluarga pejabat sah untuk berusaha, maka seharusnya kita tak boleh mengecam Soeharto dulu, apalagi memakai hal itu sebagai dalih menggulingkannya. Kalau itu memang dianggap rakyat tak sah atau minimal tak etis, masih pantaskah kita memberikan tabik pada "Gurita Cikeas"? 
     Apakah negara republik ini sedang digiring menuju negara kerajaan Cikeas?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 25 November 2010]

Rabu, 24 November 2010

Milana Mundur Dari PNS, Supaya Gampang Pelesiran?

     Hari ini, terbetik berita bahwa Milana Anggraeni telah mengajukan pengunduran diri sebagai PNS. (berita di sini). Padahal, yang bersangkutan sudah diberi "dispensasi" luar biasa, entah sengaja atau tidak, oleh institusi dan atasannya. Bayangkan saja, berbulan-bulan tak masuk, tak diberi sanksi apa pun. Malah seperti dilindungi dengan berbagai dalih.
     Pertanyaan orang awam sederhana saja, kalau dia diperkenankan mundur, bukannya malah lebih susah melacaknya? Gampangnya, apakah mundurnya Milana sebagai PNS supaya lebih gampang "mendampingi" suaminya saat harus pelesiran?
     Yah, siapa juga yang masih mau kerja, kalau suami sudah jadi milyarder kan? Apalagi ini jadi PNS yang gaji pokok satu bulan resminya seharusnya tak bakal cukup untuk beli tiket pesawat ke Bali apalagi menginap di Hotel Westin. Halah!

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 24 November 2010]

Jumat, 19 November 2010

Beda Perlakuan Antara Gayus dan Terduga Teroris

     Kasus Gayus yang bertambah 'menyenangkan' untuk diamati ini sebenarnya mencuatkan banyak tanda tanya baru. Seperti: apakah motif Gayus untuk pergi ke Bali? Apalagi dengan gagah berani Adnan Buyung Nasution (ABN) mengatakan akan membongkar pajak group Bakrie dan mengatakan pula bahwa bukan cuma Gayus yang sering keluar tahanan.
     'Keberhasilan' Gayus menyuap para petugas rutan hingga mengelabui petugas di bandar udara memberikan indikasi betapa buruknya moral para penegak hukum kita. Perlakuan terhadap pemilik uang yang bahkan ABN mengatakan tak tahu jumlahnya itu karena dianggap terlalu pintar hingga KPK dan PPATK pun tak tahu itu jelas berbeda dengan para terduga teroris.
     Harap diingat, tulisan saya bukan untuk membela terorisme, tapi membela perlakuan sama di hadapan hukum. Kepada para terduga teroris, kita tahu bahwa tindakan aparat kepolisian terutama Densus 88 sangat tegas. Dengan berlandaskan UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terduga teroris kerapkali segera ditembak mati. Saat ditangkap pun, kita bisa melihat perlakuan kepada mereka bak tahanan perang di Guantanamo. Bedanya, di Guantanamo para aktivis HAM internasional berterak lantang memprotes perlakuan terhadap tahanan, sementara untuk terduga teroris sepertinya mereka dianggap "bukan manusia". Padahal, seharusnya tetap dipegang prinsip "justice for all" dan "presumption of innocence".
     Sementara untuk Gayus, kita tahu justru diperlakukan dengan hormat dan istimewa. Padahal, kalau mau dihitung, kesengsaraan yang diakibatkan Gayus bisa jadi lebih besar daripada terorisme. Karena sederhananya adalah uang yang dikorupsinya seharusnya bisa dialokasikan untuk rakyat banyak, ini malah dimakan sendiri.  (eh, rame-rame dengan kelompoknya ding.hehehe)
     Istrinya Milana Anggraeni pun mendapatkan perlakuan istimewa. Meski sudah tidak masuk kerja selama berbulan-bulan tanpa keterangan alias bolos, menurut Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Noor Syamsu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tidak serta merta memberikan sanksi (kutipan dari sini). Bahkan dalam hal turut berperan serta dalam kaburnya Gayus yang berstatus tahanan ke Bali, ia pun dianggap oleh Polri tak bisa serta-merta dijerat hukum dengan pasal turut serta melakukan perbuatan pidana bersama suaminya, sebab apa yang dilakukan Gayus bukanlah perbuatan pidana. "Pergi ke Bali itu bukan tindak pidana," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen. Pol. I Ketut Untung Yoga ana, di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jl. Tirtayasa, Jakarta Selatan, Kamis (18/11/2010) (kutipan dari sini).
     Coba bandingkan dengan kerabat para terduga teroris. Mereka bisa ditangkap hanya karena tidak memberikan informasi mengenai keberadaan kerabat mereka. Misalnya Warsito yang ditangkap pada hari Minggu (18/7) di Indramayu, diutarakan oleh Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Wakadiv Humas) Polri, Brigjen Pol Zainuri Lubis ditangkap karena "Warsito menyembunyikan informasi tentang keberadaan Dulmatin dan menyembunyikan informasi tentang terorisme kemudian tidak melaporkan kepada polisi." (kutipan dari sini). Padahal, dalam KUHP dalam pasal 55 ayat 1 jelas disebutkan:

"Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: (1). mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;"
     Pergi ke Bali memang bukan tindak pidana, tapi itu kalau dilakukan orang biasa. Kalau tahanan yang seharusnya berada di dalam rumah tahanan bisa keluar bebas bahkan tanpa prosedur jelas, apakah itu bukan tindak pidana? Rupanya memang hukum kita itu memegang prinsip UUD sebagai landasan hukum paling tinggi. Tapi bukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara, melainkan  Ujung-Ujungnya Duit...

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 19 November 2010]

Selasa, 16 November 2010

Kiat Menumpas Maksus, Koruptor & Penjahat Negara Lain

     Setelah sidang bertele-tele, dengan pengacara bergelar doktor yang jago ngomong dan berdalih, menyiasati KUHP buatan kolonial penjajah, mencari celah hukum dan aturan, menyuapi orang-orang yang tidak kelaparan dengan uang yang bisa untuk makan banyak orang kelaparan, senggol sana senggol sini cari backing seperti bu guru Ayin, membeli berita media atau pemiliknya sekalian, dan akhirnya bebas juga.
     Membuat rakyat marah.

     Membuat wong cilik frustrasi.

     Maka kiat untuk menumpasnya adalah:
"Berlakukan hukuman mati untuk maksus, koruptor dan penjahat negara lain."
     Kalau perlu, sembelih mereka seperti kambing, sapi dan domba yang besok dijadikan kurban.
     Bahkan tak perlu mengucapkan asma Tuhan saat menyembelih para penjahat itu!

Gambar dari sini

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 16 November 2010]

Senin, 15 November 2010

Awas, Peminta Sumbangan Palsu!

     Bencana alam yang terjadi di Wasior, Mentawai dan terutama Gunung Merapi telah membuat kita terhenyak. Nurani kemanusiaan kita tersentuh. Namun, ternyata ada saja golongan masyarakat yang mencoba memanfaatkan dengan meminta sumbangan langsung di jalan-jalan. Memang, ada yang niatnya baik, namun justru saya mencurigai ada yang sejenis dengan "pebisnis kotak amal" yang tiap hari beredar di jalan, bus kota dan kereta api. Kita semua sama-sama tahu, mereka punya boss atau cukong yang mengkoordinir dan hampir bisa dipastikan kotal-kotak amal itu bukan berasal dari lembaga yang sah dan juga tidak memiliki izin penyelenggaraan kegiatan dari pemerintah.
     Sebenarnya, meminta sumbangan di masyarakat tidak bisa seenaknya. Ada peraturan pemerintah yaitu U No 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). Selain itu juga terdapat aturan tambahan yaitu Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan dan Kepmensos RI No 56/HUK/1996 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat. Di situ, diatur bahwa setiap permintaan sumbangan selain harus dilakukan oleh organisasi berbadan hukum, juga mengantungi izin dari Kemensos. Bahkan peminta sumbangan juga harus membayar biaya penyelenggaraan PUB sebesar Rp 100 ribu/kegiatan seperti diatur dalam PP No 61 Tahun 2007 tertanggal 16 November 2007.
     Menghadapi peminta sumbangan di jalan memang tak mungkin menanyakan izin segala. Maka pedoman saya cuma apakah peminta sumbangan itu jelas identitasnya, misalnya dari lembaga atau senat mahasiswa kampus tertentu. Kalau tidak, ya tidak usah diberi. Misalnya saja foto hasil jepretan saya di wilayah Jakarta Timur hari Jum'at (12/11) lalu, dimana para peminta sumbangan ini bahkan berpakaian ala "anak jalanan" tanpa identitas jelas. Karena memang mudah saja meminta sumbangan semacam ini. Tinggal bermodal kardus air mineral bekas, lalu ditempeli sehelai kertas yang ditulisi dengan spidol atau ballpoint -kalau punya modal lebih bisa diprint-, jadi deh. Tinggal 'mejeng' saja di jalan mencegat pengendara lewat. Memang semua kembali kepada kita sendiri sebagai warga, apakah masih mau memberi "nafkah" kepada para peminta sumbangan palsu ini, di saat pemerintah seperti tak berdaya atau malah tak peduli menertibkannya.

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 15 November 2010]

Selasa, 09 November 2010

"Oknum" Tentara Berulah Lagi?

     Saat sejumlah "oknum" TNI pelaku interogasi dengan tindak kekerasan di Papua masih dalam pemeriksaan, di kawasan Merapi puluhan tentara berulah lagi. Kali ini para "pembuat ulah" berasal dari Yonif 403 Kentungan Yogyakarta. Cuma gara-gara serempetan, yang menurut korban malah dirinya ditabrak oleh truk tentara, seorang relawan tim Hidayatullah Peduli Merapi bernama Arif Rahman malah dipukuli oleh para "oknum" itu tadi malam. (berita selengkapnya ada di sini).
     Korban setelah dipukuli dan dipaksa mengaku salah serta memberikan ganti rugi, tetap menolak sehingga dibawa ke markas batalyon tersebut. Di sana ia mengaku diinterogasi. Tidak hanya itu, SIM dan STNK-nya pun dirampas.
    Bagaimana pula ini pak tentara? Wong rakyat sedang susah kok tambah dibikin susah?

Catatan: Ditunggu kabar dari sisi "seberang"-nya, yaitu pihak Yonif 403 Kentungan Yogyakarta.

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 9 November 2010]

Jumat, 29 Oktober 2010

And The Party Must Goes On!

     Kemarin sore, di tengah suasana duka menyelimuti kawasan gunung Merapi, sebuah hajatan besar digelar pemerintah. Tepatnya di Gelora (Gelanggang Olahraga) Manahan, Solo. Kota Solo dengan Yogya sekitar 60 km, dimana Gunung Merapi secara administratif memang masuk wilayah D.I. Yogyakarta, tepatnya kabupaten Sleman. Namun itu jarak antar pusat kota, jarak Solo dengan Gunung Merapi sendiri jelas tak sejauh itu, sekitar 40 km saja atau sekitar 2-3 jam perjalanan lewat darat. 
     Adapun hajatannya adalah Puncak Peringatan Hari Sumpah Pemuda 2010. Acara ini tentu merupakan tanggung jawab Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan Menterinya Dr. Andi Alfian Mallarangeng. Namun, selain Pak Menteri, hadir pula Wakil Presiden Prof. Dr. Boediono dan sejumlah menteri lain. Yang agak mengganggu, Pak Menpora tampak sumringah dalam acara itu, dan tidak terlihat berduka sama sekali. Sementara rona kelelahan tampak jelas di raut wajah Pak Boed. Memang, setelah dari Solo, Pak Boed langsung meninjau kamp pengungsi Merapi. Wong deket jee...
     Malam ini, Global TV menggelar party peringatan Ulang Tahunnya yang ke-8, Sempurna menjadi temanya. Acaranya digelar di JITEC Mangga Dua, Jakarta. Tentu saja acara ini bernuansa dugem yang jelas gemerlap. Lebih gemerlap daripada upacara Sumpah Pemuda.
     Memang, saya mengerti peringatan dan pesta ini sudah direncanakan lama. Dan untuk itu memang sudah keluar biaya yang tak sedikit. Jelas akan sayang kalau dibatalkan begitu saja. Walau begitu, hati saya teriris, haruskah kita tetap berpesta kala saudara-saudara kita antre mie instan di kamp pengungsian?
Tampaknya, karena alasan sudah dianggarkan, pesta tak mungkin dibatalkan. Ini mirip dengan alasan anggota DPR menolak membatalkan studi banding ke luar negeri.
     And... the party must goes on!

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 29 Oktober 2010]

Kamis, 28 Oktober 2010

Bagaimana Media Memberitakan Bencana

     Sore ini, keisengan saya kumat. Melihat ada lima koran yang memang dilanggan menyajikan headline tentang bencana -terutama Merapi- dengan gaya berbeda-beda. Tentu ini bukan analisis media atau media monitoring profesional, apalagi menggunakan media framing analysis. Kalau boleh dibilang, ini cuma sekedar "laporan bacaan" ala tugas anak kuliahan saja.
     Dari segi visualisasi halaman 1, secara subyektif saya suka Seputar Indonesia (Sindo) dan Kompas, dengan foto Sindo lebih bagus komposisinya. Sayang, di halaman 1 Sindo ada iklan Air Asia-CIMB Niaga dengan foto pramugarinya yang cantik, sehingga merusak kesan duka secara keseluruhan.
      Kompas menang di data dan penulisan dari berbagai angle dengan narasumber dan wartawan yang berlimpah, sementara yang menarik dari Indo Pos adalah penyajian kesaksian seorang wartawan Radar Jogja yang masih merupakan bagian dari IndoPos group tentang saat-saat terakhir Mbah Marijan. Republika secara umum biasa saja kualitas pemberitaannya, meski kesaksian Fahmi Akbar Idris -Bendahara PWNU Yogyakarta, yang mengaku bertemu Mbah Marijan 2 jam sebelum beliau meninggal- cukup menarik. Terakhir adalah Rakyat Merdeka yang mungkin paling cocok dengan warga Politikana, karena menyajikan komentar SBY dan Marzuki Alie soal bencana. Enak sekali untuk 'dibantai' di Politikana.
     Untuk televisi, secara umum hanya Metro TV yang setia menayangkan perkembangan mengenai berita bencana. Di peringkat kedua ada TV One yang masih sempat menayangkan siaran langsung Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Gelora Manahan, Solo. Sementara stasiun televisi lainnya menayangkan aneka acara lainnya termasuk acara musik seperti Dahsyat (RCTI) dan Inbox (SCTV). Business as usual saja. Apakah ini memprihatinkan atau malah biasa saja sebenarnya?
     Kebetulan saya juga sempat melihat sepintas tayangan infotainment Insert di TransTV dan Silet di RCTI. Yah, namanya juga infotainment, beritanya terasa dangkal dan dibuat-buat. Apalagi artis yang diwawancara tampaknya tak siap. Di Insert seorang personel group Seventeen malah masih memegang gitar. Seakan mereka sedang nongkrong dan tiba-tiba ditanya soal bencana. Mbok ya gitarnya ditaruh dulu Mas...
     Di Silet, Indra Bekti diwawancara bersama istrinya Aldila Jelita. Meski Indra cukup bagus dan simpatik komentarnya, Aldila tampaknya tak mau kehilangan citranya sehingga 'jaim' dengan terus tersenyum tanpa tampak berduka. Hanya Olga Syahputra yang terlihat tulus saat berkomentar. Dari segi visualisasi, Silet yang banyak meminjam footage dari Seputar Indonesia RCTI tampak unggul.
     Toh walau begitu, secara umum kedua jenis infotainment ini sama saja. Misalnya untuk menggambarkan posisi jenazah Mbah Marijan, tidak ada yang menggunakan kata "shalat". Yang ada malah digunakan kata "berdoa" dan "sembahyang", seakan tidak ikhlas kalau Mbah Marijan itu Islam. Yah... namanya juga infotainment kan?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 28 Oktober 2010

Batalkan Demo Hari Ini!

     Andaikata saya punya jabatan apa gitu... saya akan melakukan "call out" di RRI atau media lain. Mungkin seperti yang dilakukan oleh Hariman Siregar selaku Presiden Dewan Mahasiswa UI sewaktu berusaha mencegah kerusuhan meluas pada 15 Januari 1974. Kita semua tahu ia gagal, sebagiannya karena mahasiswa tidak menyadari menjadi korban dari rivalitas di dalam tubuh militer (Ali Moertopo vs Soemitro). Dan Malari tetap meletus.
     Ini saya lakukan karena hari ini -28 Oktober 2010- rencananya akan ada demonstrasi besar. Mengutip harian Rakyat Merdeka edisi Minggu (24/10), dituliskan besar-besar di headline halaman 1: "Manfaatkan Momentum Sumpah Pemuda: Setelah Aksi 20 Okt' Muncul Aksi 28 Okt'". Ini mungkin karena aksi memperingati setahun pemerintahan SBY dengan KIB jilid 2-nya pada 20 Oktober 2010 kurang bergema. Dalam lanjutan artikel di halaman 9, dituliskan komentar sebagai berikut: "Ketua Umum PB PMII Adien Jauharudin mengatakan, pihaknya tidak peduli aksi in akan digubris SBY atau tidak."
     Saran saya sih, daripada tidak digubris SBY, apakah tidak lebih baik mereka mengalihkan sasaran ke DPR? Terutama sekali kepada seniornya yaitu Nusron Wahid. Mantan Ketua Umum PB PMII periode 2000-2003 ini adalah Ketua Panitia Khusus Otoritas Jasa Keuangan (Pansus OJK) yang melakukan "pelesir dinas" ke empat negara (Korea Selatan,Jepang,Jerman,Inggris). Bahkan, ada yang membawa keluarga segala (Kompas.com). Kalau sama senior sendiri, masa' sih tetap tidak digubris? Yah... minimal diterima dan disuguhi makan-minum lah.... (kalau disuguhi yang lain, amplop misalnya, ya mene ketehe).
     Tapi saran saya tetap: Batalkan Demo Hari Ini!
     Indonesia sedang berduka karena bencana alam Wasior, Mentawai dan Merapi. Jangan dibuat rusuh dengan demonstrasi karena kepentingan politik sementara pihak. Bukankah banyak cara kritis kepada pemerintah -dan mestinya juga DPR- selain demonstrasi? Salah satunya ya dengan menulis di Politikana...

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 28 Oktober 2010]

Rabu, 27 Oktober 2010

Penyebab Bencana adalah Kemaksiatan?

     Menkominfo Tifatul Sembiring selaku khotib shalat Idul Adha 1430 H. di halaman kantor Gubernur Sumatra Barat hari Jum'at (27/11/2009) pernah mengatakan:

"Tayangan-tayangan di televisi yang merusak moral marak di negeri kita, akibatnya bencana datang bertubi-tubi."(kutipan dari sini).

     Dua hari lalu, FPI mengancam akan menutup Dolly dengan dalih serupa. Hari Senin (25/10/2010) lalu, K.H. Dhofir selaku Wakil Ketua FPI Jawa Timur menyatakan:

"Kita bisa melihat, bencana telah terjadi di mana-mana. Itu karena maksiat telah merajalela."(Vivanews).

     Kemarin, setelah Merapi meletus dan terjadi tsunami di Mentawai, bisa jadi akan ada lagi komentar-komentar semacam ini. Saya muslim, tapi saya meragukan pernyataan othak-athik-gathuk macam ini. Apalagi di sini juga ada beberapa warga P yang getol mengkampanyekan filosofi semacam. Pertanyaan saya sederhana, kalau soal maksiat, lebih maksiat mana kita dengan Belanda? Di negeri itu bukan hanya prostitusi dilegalkan, tapi juga perdagangan narkoba pun legal. Tapi negara itu maju pesat, nyaris tak ada bencana. Apa sebabnya? Bukan karena tak ada maksiat, tapi karena memang alamnya tidak dikelilingi "Sabuk Api" seperti negara kita.
     So, please be rational. Kita boleh berdo'a memohon keselamatan pada Tuhan, harus malah. Tapi menghubungkan bencana alam dengan kemaksiatan? Please deh... Mekkah saja pernah banjir, apa kita lantas berani bilang itu kota maksiat?

 [Tulisan ini semula diposting di Politikana, 27 Oktober 2010]

Minggu, 24 Oktober 2010

Membaca Arah Bola Video Papua

     Hari Kamis (21/10) lalu saya dikejutkan dengan message di Facebook dari seorang wartawan senior. Beliau menjawab pertanyaan saya mengapa postingnya di note Facebook tentang transkrip video interogasi dua orang Papua dihapus. Intinya, ia mengatakan kuatir keselamatan jiwanya terancam. Ia juga meminta agar namanya yang saya sebutkan di postingan blog dihapus. Saya heran juga, mengapa wartawan senior seperti dia yang merupakan koresponden berbagai media luar negeri harus merasa kuatir.
     Saya merasa, justru transkrip itu harus disebar-luaskan dengan perspektif berbeda. Seperti saya tulis di pengantar, penyebarluasan video itu justru untuk menjaga nama baik TNI dan negara kita. Maka, pada hari itu juga saya posting transkrip itu di blog.
     Meski begitu, saya sempat kuatir juga. Saya mencoba 'menenangkan diri' dengan mengirim sms kepada 'mentor' saya, seorang mantan pejabat tinggi negara yang kini lebih menyenangi peran sebagai "king maker". Dalam 5 menit, beliau segera membalas yang intinya mengatakan: "everything is ok." Bahasa militernya: "aman terkendali". Legalah saya.
     Makin lega saya ketika hari Jum'at (22/10)-nya ada berita bahwa TNI mengakui kebenaran video Papua (kompas.com). Menurut Menko Polhukam Djoko Suyanto, Presiden SBY juga sudah mengetahui hal itu. Di hari Jum'at itu pula digelar rapat khusus para menteri bidang politik, hukum dan keamanan. (vivanews.com). Pernyataan resmi pemerintah itu membantah 'analisa pakar IT' Roy Suryo yang sebelumnya meragukan isi video itu.
     Akankah para pelaku dalam video itu ditangkap? Bagaimana dengan perbedaan nama korban? Pemerintah -dan Komnas HAM- menyebut warga Papua yang diinterogasi dengan siksaan itu adalah Kindeman Gire. Sementara Aliansi Mahasiswa Papua menyebutkannya sebagai Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire. Apakah kedua nama Gire itu sama?
     Semua itu masih tanda tanya. Mungkin menunggu 'petunjuk' dari Pentagon, atau bagaimana. Yang jelas, Obama tampaknya hampir pasti datang tanggal 7 November 2010 mendatang. Lalu akan ada bantuan militer A.S. untuk kita yang rencananya ditandatangani Obama bulan depan setelah bulan Juli lalu diumumkan Menhan A.S. (U.S. Secretary of Defense) Robert Gates.
     Bagaimana membaca arah bola video Papua? Akankah Papua lepas dari pangkuan bumi Pertiwi? Justru kalau membaca 'sinergi' A.S. dengan pemerintahan SBY, tampaknya malah akan 'aman terkendali'. Tampaknya, setelah euforia kunjungan Obama dan beliau pulang ke negerinya, kasus ini akan terkubur. Sama seperti kasus-kasus lainnya yang masih jadi "dark number".
     Bagaimana menurut Anda?

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 24 Oktober 2010]

Kamis, 21 Oktober 2010

Ibas Ganteng...?

     Ada yang baca tulisan kecil 3 kolom di halaman 2 Kompas hari ini? Judulnya "Anggota DPR: Saya Ibas, Bukan Agus Harimurti" yang ditulis oleh J. Osdar.
     Cuma komentar singkat saja, apa ya tujuan Kompas dan wartawannya yang setahu saya cukup senior itu membuat tulisan bernada menjilat Ibas -mungkin juga bapaknya- seperti itu?
     Apa indikasi menjilatnya?

Simak kutipan yang ada di paragraf 3 ini:
"Ibas tampak ganteng kalau dilihat langsung. Lebih ganteng ketimbang di foto."
Any comment, Politikaners?

 [Tulisan ini semula diposting di Politikana, 21 Oktober 2010]

Rabu, 18 Agustus 2010

     Hehehe. Saya tertawa membaca berita bahwa Ruhut Sitompul mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden jadi tiga periode (baca di sini). Alasannya, tentu saja karena "SBY adalah Presiden yang dikirim dan dirahmati Allah". Luar biasa! Yeah...  itu kan kata dia, kalau kata orang lain belum tentu kan?
     Meski begitu, saya bukan anti SBY dalam konteks semua tindakannya buruk seperti mereka yang tidak suka padanya. Saya tahu ada sejumlah kemajuan telah dibuatnya. Bahkan bisa dibilang, pasca Soeharto, SBY adalah presiden paling sukses. Namun jangan sampai kesuksesan ini membuatnya lupa daratan dan ingin berkuasa lagi. Memang, ada sejumlah skenario bisa dibuat untuk melanggengkan kekuasaan. Di antaranya:
  • Mengamandemen UUD. Terbukti, mengubah konstitusi tak sesulit dikira semula seperti didengungkan semasa Orde Baru. Di negara-negara Afrika, tiap kali ganti pemerintahan, konstitusi bisa diganti seenaknya.
  • Menaruh "Presiden boneka" di kekuasaan. Ini bisa berarti menempatkan Ibu Ani SBY sebagai presiden, atau orang lain yang dikendalikan SBY dari balik layar.
  • Membiarkan presiden lain berkuasa, namun mengendalikan pemerintahan melalui parlemen yang dikuasai mayoritas.
  • Mengubah sistem pemerintahan, seperti mengadakan jabatan baru untuk SBY agar bisa tetap berperan dalam pemerintahan pasca 2014. Sebagai contoh ada jabatan Menteri Senior untuk Lee Kuan Yew di Singapura pasca ia lengser sebagai Perdana Menteri.
     Tentu saja ada banyak "kreativitas" lain untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya melansir dekrit seperti Gus Dur. Atau yang ekstrem membubarkan parlemen, meniadakan atau mengundurkan Pemilu, menyatakan perang dengan negara lain atau negara dalam kondisi darurat yang tidak memungkinkan pergantian presiden, atau sekalian saja meminta MPR menetapkan dirinya sebagai Presiden seumur hidup seperti Soekarno.
     Tapi saya kok masih berharap, semoga SBY tidak tertarik mengubah citra demokratnya menjadi diktator totaliter seperti Soeharto. Semoga...

[Tulisan ini juga dimuat di blog penulis -LifeSchool- dan diposting di Politikana, 18 Agustus 2010]
foto dari sini

Selasa, 10 Agustus 2010

Ramadhan Tinggal Sehari, Mari Sejukkan Hati

     Cuma mengingatkan buat yang hobi memposting topik soal agama Islam di P, ada firman ALLAH SWT dalam Al-Qur'an surat Yunus ayat 99 sebagai berikut:
"Kalau Tuhan kamu menghendaki, maka akan berimanlah semua manusia yang ada di muka Bumi. Apakah kalian hendak memaksa manusia agar mereka beriman?"
     Maka, bila ingin berdakwah, bil hal jauh lebih baik daripada bil lisan. Praktekkan dalam hidup nyatamu, bukan hidup maya di P ataupun di tempat lain.
     Akhirul kalam, menjelang Ramadhan yang tinggal sehari, mari kita sejukkan hati. Tak perlu menghujat dan mencaci-maki, apalagi sekedar karena beda pendapat.
     Selamat berpuasa bagi yang muslim. Selamat bertoleransi bagi yang non-muslim. Mohon maaf bila ada tulisan atau komentar saya yang menyinggung perasaan warga P.


Gambar dari sini.

 [Tulisan ini semula diposting di Politikana, 10 Agustus 2010]

Senin, 09 Agustus 2010

Bubarkan Organisasi "Preman Berseragam"!

     You know-lah... siapa atau apa organisasi yang saya maksud. Sejak zaman "cindil abang" hingga era "kapal terbang" mereka sebenarnya selalu ada. Mereka itu kumpulan preman yang tidak punya pekerjaan tetap, lantas diorganisasi agar seolah punya pekerjaan.
     Di masa Orde Baru, mereka tergabung dalam organisasi pemuda yang kebanyakan onderbouw-nya Organisasi Peserta Pemilu (OPP). Kini, meski banyak Parpol besar tetap punya organisasi macam itu, tapi para "preman berseragam" ini banyak 'bertobat'. Tampil bak orang paling saleh di muka bumi lengkap dengan seragam kebesaran yang seolah mencirikan agama tertentu. Tapi ya tetap saja, mereka itu "preman berseragam". Cuma seragamnya saja yang beda. Tadinya loreng-loreng, sekarang putih-putih. :D
     Tapi ada pula preman bergaya orang kaya. Ya mereka itulah para pengendara "motor gede" yang kerap seenaknya saat di jalan. Memang sih, motornya mahal. Tapi kok kelakuannya murahan ya?
     Bai de wei, saat kita mengecam yang besar-besar yang kerap membuat ribut dan onar, sebenarnya yang juga besar tapi kalem tetap jalan. Coba saja jalan ke area-area yang dipenuhi tempat hiburan malam, sudah pasti para preman tapi tanpa seragam banyak berkeliaran. Mereka ini kerap diorganisasikan juga berdasarkan sektarian atau kesukuan asal daerah mereka. Tentu saja, merekalah "preman asli". Preman yang tidak malu mengaku preman. Sekalian pakai tatto atau anting atau jaket kulit biar tambah seram. Meski sebaliknya pemakai tatto, anting atau jaket kulit belum tentu preman. Saya malah lebih respek pada preman yang model begini.
     Daripada mereka yang malu-malu mengaku preman, tapi tindakannya jelas kerap berbau premanisme. Maka, menjelang Ramadhan, daripada dirangkul, lebih baik bubarkan organisasi "preman berseragam"!

## Tenang, saya menulis ini tidak sambil mencak-mencak kok ;)) ##

Gambar ngambil di sini

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 9 Agustus 2010]

Jumat, 02 April 2010

Lebih Penting Mana: Merasa Benar atau Tanggung Jawab?

     Artikel conscientizacao tentang lapak sebelah di sini, memicu pertanyaan di atas. Apalagi dari comment2 yg ada, saya menangkap ada nuansa kecaman terhadap tindakan admin Kompasiana. Saya sendiri termasuk yg menyemangati Faizal Assegaf, secara memang pernah bertemu langsung beberapa kali.
Dalam artikel saya di Kompasiana (baca di sini), saya sendiri menganggap penyematan titel "guru bangsa" itu sebagai:

agak terlalu menyanjung dan melebih-lebihkan
namun mencoba tetap proporsional mengingat konteks tulisan saya adalah liputan kejadian dari sudut pandang orang biasa atau jurnalisme warga. Kalau kita pernah belajar teori jurnalistik, harus diakui tulisan Faizal yang diduga memicu pem-ban-an ybs (tulisannya yang di Kompasiana sudah dihapus admin, tapi masih ada di sini) murni opini kritis ybs, sayangnya tanpa landasan argumen yg memadai. Tapi saya tetap tidak sependapat bila tulisan itu dianggap "keras" apalagi mengkritik boss Kompas itu. Maka, tak layak bila hanya karena tulisan itu Faizal di-ban. Apalagi cuma karena menolak titel "guru bangsa" sembari menyematkan titel lain yaitu "konglomerat pers".
     Setelah saya amati, tampaknya sudut pandang "Kompasianer" vis a vis secara frontal dengan "Warga P". Di sana, yg namanya "harmoni" lebih dikedepankan. Maka, jangan harap diskusi "die-hard" ala P bisa muncul di sana. Akan tetapi, ada sebuah hal positif pula yg terbangun, yaitu rasa saling menghormati, apalagi dengan cukup seringnya diadakan kopdar. Ini bisa muncul karena ada yg namanya "tanggung jawab", yaitu sebagian besar Kompasianer mencantumkan jati diri aslinya. Sementara di P, justru anonimitas yg dibela habis. Tulisan pertama saya di P misalnya (baca lagi di sini), mendapatkan reaksi penolakan yg luar biasa, apalagi saat itu jadi headline.
     Sementara di P, sebagai media yang mengklaim sebagai "sarana untuk belajar demokrasi", mempertahankan pendapatnya sendiri sebagai benar tampaknya dianggap penting sekali. Sehingga, kerapkali terjadi perdebatan yang "die-hard" tadi. Karena kerasnya argumentasi, bahkan kerap informasinya "off the record" dan "A-1", maka "tanggung jawab" berupa pencantuman identitas asli pun menjadi nomor sejuta alias tidak dianggap penting. Karena ternyata dianggap lebih penting melindungi diri dari "tangan-tangan jahil" yang mungkin tersinggung atas nama hukum kita yang mengakomodir "pencemaran nama baik" dan "tindakan tidak menyenangkan".
     Saya lantas menyadari perbedaan karakter "warga P" dengan "Kompasianer". Maka, sejak itu saya mempelajari jenis tulisan di dua lapak ini. Dan, jadi jarang mem-publish (cross posting) tulisan yang sama di keduanya, kecuali tentu yang saya anggap cocok misalnya seperti tulisan tentang Gus Dur ini.
     Karena itu, saya kembali pada pertanyaan yang menjadi judul:
"Lebih Penting Mana: Merasa Benar atau Tanggung Jawab?"

[Tulisan ini semula di posting di Politikana, 2 April 2010]

Ilustrasi Foto: Dari laman tulisan Faizal Assegaf. 
Sumber Foto: http://visibaru.com/index.php?option=com_content&view=article&id=486:jacob-oetama-bukan-guru-bangsa-06&catid=45:blog-faizal-assegaf&Itemid=83

Lebih Penting Mana: Anti-Kritik atau Anti-Hacker?

     Admin Kompas hari Rabu (31/3) lalu menggunakan hak prerogatifnya terhadap salah satu member Kompasianer. Dia adalah Faizal Assegaf yang terkena ban. Tulisannya di sini pun dihapus, sehingga menyisakan pesan “Error 404 Page Not Found”. Faizal mencoba masuk lagi dengan akun lain, antara lain mengatasnamakan istrinya. Namun juga gagal membuat admin membuka kembali akun miliknya. Kolom komentar di tulisan Faizal melalui akun yang katanya milik temannya pun ditiadakan.
     Sebenarnya, artikel Faizal tersebut (versi lain ada di sini) masih dalam taraf biasa saja. Yang bersangkutan tidak menjelek-jelekkan Pak J.O., namun sekedar menjuluki saja. Bila Omjay dan yang lain menggelari beliau dengan “guru bangsa”, Faizal menyebutnya “konglomerat pers”. Inti artikelnya sih itu saja. Saya pikir, dengan membacanya citra publik yang sudah positif terhadap Pak J.O. tidak akan ternodai setitik pun. Namun, entah ada di tata tertib yang mana, karena itulah Faizal di-ban. Padahal, sebelumnya ia gemar mengkritik banyak orang, termasuk SBY, tapi dibiarkan admin. Ini, saat bos-nya disentil, admin langsung menjewer. Apakah bisa diartikan Pak J.O. lebih tinggi derajatnya dari Presiden Republik Indonesia?
     Tindakan ini memicu perbincangan cukup seru. Bukan hanya di Kompasiana, tapi juga di blog-site portal opini lain, yaitu Politikana. Bahkan, di sana tindakan admin Kompasiana dikecam dan ditertawakan (baca di sini).
     Pada hari yang sama, saya menerima pesan di profil saya yang berisi link. Ternyata, link tersebut merupakan tipuan belaka. Ia adalah mirror yang langsung di-redirect ke laman situs yang sudah dirusak (defacement page website) di sebuah situs gratisan berdomain co.cc. Setiap yang mengklik laman itu akan mendapati browser-nya berlari-lari tak karuan di sepanjang layar. Saat saya mengklik profil yang bersangkutan, ternyata tidak hanya saya korbannya. Saya spontan mengirim e-mail ke admin serta melaporkan user bersangkutan dengan fitur “Laporkan Kompasianer Ini” di profil yang bersangkutan. Saya meminta user bersangkutan di-ban. Tapi apa lacur, saat hari ini saya buka kembali Kompasiana, ternyata ia masih sehat-wal-afiat.
     Ini memicu pertanyaan: “Lebih penting mana, anti kritik atau anti-hacker?” Tindakan admin Kompasiana yang cepat kepada Faizal Assegaf, padahal yang bersangkutan “cuma” mengkritik bisa diberikan apresiasi atas kecepatannya. Sebagai yang punya rumah, tentu admin Kompasiana berhak mengusir tamu yang tidak dikehendakinya. Walau sebenarnya dialog saling menghormati bisa lebih dikedepankan.
     Akan tetapi, bagaimana dengan hacker yang saya laporkan? Bukankah tindakannya lebih berbahaya daripada sekedar mengkritik? Ia membahayakan sistem komputer Kompasianer lain, bahkan bukan tidak mungkin di waktu mendatang juga membahayakan sistem di server Kompas sendiri. Upaya peretasan bukan tidak mungkin dilakukan mengingat yang bersangkutan tampaknya “tidak punya belas kasihan”. Saya mencermati tulisan-tulisannya, sangat tendensius anti agama tertentu di Indonesia, termasuk komentarnya di artikel saya. Ini sebenarnya juga mengkuatirkan di samping kemampuan programming-nya yang berbahaya.
     So, bila mengkritik seseorang bisa membuat marah orang bersangkutan, bukankah hacking bisa membuat marah banyak orang? Maka seyogyanya admin Kompasiana responsif kepada laporan member yang mengharapkan Kompasiana benar-benar jadi “rumah sehat” seperti diutarakan Linda DJalil. Apabila menjadi “anti-kritik” justru jadi bahan tertawaan orang, kalau “anti-hacker” dijamin jadi pujian orang. :)

     Tabik!

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Kompasiana, 2 April 2010]

Ilustrasi Foto: Dari laman tulisan Faizal Assegaf. 
Sumber Foto: http://visibaru.com/index.php?option=com_content&view=article&id=486:jacob-oetama-bukan-guru-bangsa-06&catid=45:blog-faizal-assegaf&Itemid=83

Rabu, 31 Maret 2010

Mendeteksi Mafia di Indonesia

Saya terinspirasi oleh tulisan Pak Prayitno Ramelan kemarin di Kompasiana yang berjudul Mafia dan Mafioso Indonesia, di mana di dalamnya beliau membahas mengenai lontaran dugaan adanya makelar kasus Susno Duadji, KPK, tindakan korupsi dengan ilustrasi dari kelompok Mafia. Di sini, saya hanya hendak memperkenalkan “logika pembuktian terbalik” untuk mendeteksi mafia di Indonesia. Semoga saya ’selamat’ dan ‘tidak dihabisi’ karena tulisan ini. ;)
Mafia, seperti ditulis oleh Pak Pray, arti awalnya adalah perkumpulan “pria terhormat” (mafiosi-tunggal  atau mafioso-jamak). Di Italia sendiri, istilahnya adalah “Cosa Nostra”. Asal kata “mafia” secara etimologis ada beberapa versi. Namun yang paling kuat adalah dugaan bahwa kata kerja Sisilia “mafiusu” merupakan derivatif atau turunan dari bahasa Arab tidak resmi (slang) “mahyas” (مهياص) yang berarti menyombongkan diri secara agresif atau dari kata “marfud”  (مرفوض) yang berarti “tertolak”. Bila diterjemahkan lebih bebas, maknanya bisa berubah menjadi “angkuh” atau malah “pemberani.”

Anggota mafia terdiri dari kelompok-kelompok yang awalnya berdasarkan kekerabatan atau kesamaan daerah asal. Sehingga, tiap kelompok menyebut dirinya “keluarga” (cosca). Meski sama-sama berasal dari Sicilia -sebuah pulau yang meski termasuk Italia namun terpisah dari Italia daratan, sehingga memiliki kekhasan tersendiri-, namun para anggota mafia hanya setia pada ikatan keluarga mafianya. Setelah terjadinya migrasi besar-besaran warga Italia ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19, terjadi pula eksodus mafia ke berbagai negara terutama A.S., Kanada dan Australia.

Pimpinan tertingginya disebut oleh Pak Pray dengan istilah Capo Dei Capi”, namun secara pelafalan dalam bahasa Italia yang lebih tepat adalah “Capo di tutti Capi“. Arti harfiahnya “Boss dari segala Boss”, ia mengepalai keluarga besar mafia yang terdiri dari keluarga-keluarga yang lebih kecil. Namun seiring perkembangan zaman, terjadi konotasi pergeseran makna mafia. Akhirnya semua kelompok kejahatan terorganisir kemudian disebut juga mafia. Kita kemudian kenal istilah mafia Jepang atau Yakuza, mafia China atau Triad, atau juga mafia Rusia (Русская мафия) yang aslinya bernama Bratva (Братва), tapi kemudian juga sering diterjemahkan menjadi Mafiya.

Dari sinilah kemudian kejahatan terorganisir beranak-pinak. Harap diingat, kejahatan terorganisir pada dasarnya merupakan manipulasi dan eksploitasi sistem terutama sistem hukum di negara bersangkutan. Meski terkenal sebagai pembunuh tanpa ampun, kelompok mafia juga adalah pebisnis ulung dan negosiator handal. Anggotanya bukan cuma geng jalanan berandalan, tapi juga kelompok masyarakat kelas atas. Sebutlah kepala polisi, senator, gubernur, petugas pajak, dan golongan lain sesuai keperluan. Ada yang menjadi anggota mafia dulu baru berprofesi macam-macam, itu berarti penyusupan. Tapi ada juga orang di luar keluarga yang didekati untuk kerjasama. Bisa dengan imbalan uang, atau malah ancaman terhadap keselamatan diri dan keluarganya.

Karena itu, tak heran dalam novel-novel Mario Puzo yang sangat akurat tentang kehidupan mafia digambarkan bahwa mafia itu manusia biasa juga. Mereka bahkan rajin beribadah dan melakukan kegiatan sosial! Banyak bos mafia -seperti digambarkan dengan karakter Don Vito Corleone dan putranya Don Michael Corleone dalam trilogi film Godfather (1972) karya sutradara Francis Ford Copolla- yang menempatkan diri dalam posisi terhormat dan memang dihormati masyarakat tempatnya tinggal.

Akan halnya di Indonesia, terdapat banyak kelompok kejahatan terorganisasir, namun tidak dalam satu wadah tunggal. Maka, diragukan ada Capo di tutti Capidi sini. Meski begitu, saya pernah mendengar sejumlah nama disebut sebagai bosnya bos mafia di Indonesia, namun saya tak bisa menyebutnya bahkan cuma inisialnya sekali pun. Dia terlalu kuat bagi seorang saya, karena konon ia bahkan bisa membuat seorang jenderal aktif sungkem cium tangan kepadanya.

Bisnis mafia pada dasarnya adalah bisnis jaringan. Mereka mengandalkan jaringan kepercayaan. Karena itu ada credo khusus bagi anggotanya angggotanya yang tertangkap, yaitu “Omerta” atau sumpah tutup mulut. Karena kalau ia berani “bernyanyi”, meski selamat dari aparat keamanan, ia pasti dihabisi rekan-rekan anggota keluaga mafianya sendiri. Kerahasiaan amat rapi, bahkan mungkin lebih rapi dari jaringan teroris. Seringkali antar sel tidak kenal satu sama lain. Apalagi bisa menjangkau Capo di tutti Capitadi.

Akan tetapi, di Indonesia keberadaan mafia tidaklah seseram itu. Pembunuhan fisik amat jarang dilakukan, walau bukan berarti pembunuhan dengan cara lain tidak dilakukan. Menghancurkan bisnis lawan dengan tindakan kekerasan atau menghentikan pasokan untuk membuat bangkrut sama saja dengan membunuh orang secara perlahan. Organisasinya pun tidak serapi itu, walau koordinasinya bisa dibilang rapi.

Sebenarnya keberadaan mafia terkait erat dengan perizinan. Makin rumit dan panjang rantai perizinan, makin mudah disisipi mafia. Segala macam surat yang dibutuhkan warga negara, hampir pasti di-mark up dari harga resminya. Apalagi yang membutuhkan waktu lama, pasti ada mafia yang menawarkan jasa mempercepat urusan.

Dengan begitu, seolah mafia identik dengan calo. Padahal tidak. Mafia ‘bermain’ di playground yang jauh lebih luas. Di luar negeri mereka bahkan bisa mempengaruhi ditetapkannya suatu Undang-Undang! Di sini, kasus hilangnya dua ayat tentang Tembakau dari RUU Kesehatan beberapa waktu lalu ditengarai karena ulah mafia rokok dan tembakau. Walau hingga kini kasus itu masih belum jelas.

Dalam kegiatannya, mafia menjalankan bisnis apa saja yang dimungkinkan. Akan tetapi, favoritnya adalah hotel yang dilengkapi tempat perjudian. Selain itu mafia juga biasanya menjalankan bisnis perdagangan obat terlarang, penyelundupan barang dan orang, namun yang paling penting adalah pencucian uang (money laundering). Untuk keperluan terakhir inilah kemudian mafia juga menguasai aneka bisnis penting yang legal secara hukum negara bersangkutan.

Kembali ke Indonesia, logika pembuktian terbalik yang saya sebutkan di awal tulisan justru bisa diterapkan kepada pihak-pihak yang membantu mafia. Dengan menjatuhkan pihak-pihak di luar keluarga mafia yang membantunya, mafia akan kehilangan orang kepercayaan. Siapa mereka? Biasanya adalah pejabat yang duduk di pemerintahan. Mafia tak akan segan menyuap atau memaksa pejabat melakukan manipulasi dan korupsi demi melancarkan kolusi yang dibangun.

Oleh karena itu, sebenarnya kepedulian warga dan keberanian aparat keamanan yang bersih harus ditingkatkan. Apabila ada “keajaiban” seperti Gayus Halomoan Tambunan yang dalam waktu singkat bisa punya rumah mewah -karena tabungan tak terlihat orang lain- maka warga sekitarnya sepatutnya bertanya-tanya. Apalagi bila ia dikenal tidak kaya sewaktu kecil atau orangtuanya termasuk miskin. Termasuk seorang yang pekerjaannya adalah salah satu dari tripartit  penegak hukum (hakim, jaksa, polisi)  atau aparat keamanan dari angkatan lain yang hidup mewah juga sangat layak dicurigai. Aparat yang terkait dengan pengurusan segala jenis izin pun sangat rentan dipengaruhi mafia.

Bahkan untuk hal-hal publik seperti kesehatan, asuransi, tenaga kerja, parkir bahkan hingga pengemis pun diorganisir oleh mafia masing-masing. Apalagi jasa keamanan partikelir yang diserahkan pada organisasi massa, biasanya juga rentan disusupi mafia. Keberadaan mafia ini menggelisahkan, karena kerapkali mereka begitu berkuasanya bak “warlord” tanpa tersentuh aparat keamanan setempat yang bisa jadi sudah ‘dijadikannya kawan’. Di samping itu jelas menyebabkan negara tempat hinggapnya mafia terpaksa menanggung ekonomi biaya tinggi karena mark-up yang dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa, baik oleh institusi pemerintah maupun sektor swasta.

Karena itu, keberanian pemerintah memberantas mafia harus ditingkatkan. Memang, mencari alat bukti sulit. Akan tetapi bukan tidak mungkin misalnya dengan modus jebakan seperti halnya kasus penyuapan kepada Mulyana W. Kusumah -anggota KPU periode lalu- yang tertangkap tangan oleh KPK. Di luar negeri terutama di A.S., pemerintahnya juga secara konsisten memberantas mafia,  sehingga kini organisasi mafia secara teknis bisa dibilang sudah dalam kondisi “hidup segan mati tak mau”. Walau yang namanya kejahatan terorganisirnya masih berlangsung. Toh, itu lebih baik daripada mereka dibiarkan berkeliaran merugikan rakyat dan bangsa.

[Tulisan ini semula diposting di Kompasiana, dan LifeSchool pada 31 Maret 2010]

Selasa, 30 Maret 2010

Merenungkan Bom di Rusia

Seorang rekan saya, asli Rusia namun kini tinggal di Finlandia, kemarin mengirim link via FaceBook. Link itu dari koran berbahasa Finlandia (kalau iseng mau lihat, klik di sini),  foto dan judulnya coba saya posting di sini. 
Tällaisia olivat metropommit: Rautaromua ja kiloja TNT:tä | Ulkomaat | Iltalehti.fi

Karena saya tidak mengerti bahasa Finlandia (Finnish), maka saya jelas tak mengerti arti berita itu. Tapi karena ada tulisan TNT (Tri Nitro Toluene) yang jelas merupakan bahan peledak, saya menduga ada ledakan di suatu tempat di negeri itu. Barulah tadi pagi saat koran langganan keluarga kami datang (di rumah kami berlangganan 5 jenis koran pagi), baru saya sadar apa arti berita itu.

Terjadi ledakan bom di stasiun kereta api di Rusia. Setidaknya 37 orang tewas dan 65 orang luka-luka (dari berita foto headline harian Kompas). Saya ikut berduka dan simpati pada para korban, semoga Tuhan mengampuni mereka. Menariknya, dalam berita yang dituliskan, otoritas keamanan Rusia sama sekali tidak menuding siapa pun sebagai pelaku bom bunuh diri tersebut.

Meski ini termasuk tindakan terorisme, tidak serta merta langsung ada tertuduh. Walau ada dugaan pelaku adalah dari kelompok perlawanan di Kaukasus Utara, tapi tidak ada secuil pun pernyataan dari pemerintah atau pun aparat keamanan yang mengatakan hal itu. Itu adalah dugaan wartawan. Aparat dan pemerintah menunggu ada pernyataan dari pihak yang mengklaim bertanggung-jawab atas ledakan itu.

Ada fakta-fakta yang digali pers dari ledakan itu. Seperti adanya dugaan pelakunya dua orang wanita, dan kemungkinan merupakan kelanjutan dari gerakan “Black Widow”. Namun isi beritanya -seperti saya baca di koran Indonesia- tidaklah menghakimi sebelum bukti-bukti nyata ditemukan. Ini agak berbeda dengan di Indonesia. Di mana seringkali dalam kasus semacam ini tuduhan pada pihak yang bertanggungjawab segera dilansir setelah terjadinya peledakan. Padahal, penyelidikan belum lagi dimulai karena masih membersihkan puing-puing dan memprioritaskan penyelamatan korban.

Hal paling menggelikan adalah pidato Presiden SBY seusai peledakan bom di J.W. Marriot 17 Juli 2009 lalu. Pernyataan pers resmi seorang Presiden ternyata didasari info yang tidak akurat, bahkan foto yang ditunjukkan adalah foto lama. Ini menjadi bulan-bulanan lawan-lawan politiknya. Sehingga kerja keras aparat keamanan sepertinya menjadi sia-sia. Padahal, tentunya untuk mengungkap kasus terorisme bukan kerja mudah dan perlu waktu lama. Demikian pula dalam kasus terorisme akhir-akhir ini. Cerita lengkap segera beredar di media massa kita. Sumbernya siapa lagi kalau bukan dari aparat keamanan.

Bagi analis yang kritis, tentu akan mengernyitkan dahi, mengapa aparat keamanan seakan begitu mengenali musuhnya? Apakah mereka sudah mahir menerapkan filosofi perang Sun-Tzu: “kenali musuhmu seperti engkau mengenali dirimu sendiri?” Pertanyaan seperti dilontarkan Hidayat Nur Wahid tentu akan terlintas: kalau aparat memang sudah tahu tentang kelompok teroris yang berlatih di Aceh -saya tidak mau mengulang kesalahan banyak media yang menggampangkan dengan menyebut mereka “teroris Aceh”, padahal sebagian besar justru berasal dari luar Aceh-, kenapa proses penggeberekannya seakan ditepatkan dengan momentum Presiden SBY berkunjung ke Australia? Mengapa tidak dari dulu-dulu saja? (berita baca di sini).Pertanyaan ini sampai sekarang belum terjawab dan seakan dibiarkan menjadi misteri.

Satu hal yang bisa dipelajari dari peledakan bom di Rusia adalah aparatnya benar-benar bisa memisahkan motivasi para pembom. Meski ada dugaan bom dilakukan oleh kelompok di Kaukasus Utara, termasuk dari Chechnya yang mayoritas Islam, namun motivasinya bukanlah agama. Kelompok tersebut adalah kelompok perjuangan separatis, yang ingin menjadikan negara mereka merdeka kembali, lepas dari Federasi Rusia. Karena memang sebagai federasi, sebenarnya baik Federasi Rusia maupun ‘orangtua’nya yaitu Uni Sovyet terdiri dari negara-negara berdaulat yang bergabung. Tapi setelah bergabung, tampaknya kedaulatan mereka kurang diakomodir oleh negara induk terbesar sebagai pemimpin federasi. Maka, pembom bunuh diri di Rusia itu meski mungkin dilatari pula pada keyakinan akan mati syahid, namun motivasinya adalah separatis untuk mendirikan negara merdeka.

Sementara, kelompok teroris di Indonesia -apalagi yang sekarang katanya berlatih di Aceh- agak tidak jelas motivasinya, tapi lantas berimbas pada dimarginalkannya Islam kembali seperti pada masa Komando Jihad-nya Ali Moertopo. Imbas yang seperti ini yang harus dikurangi agar tidak terjadi friksi antar kelompok masyarakat secara horizontal. Caranya tentu pemerintah terutama aparat keamanan harus menghadirkan bukti nyata, alih-alih terburu-buru melansir pernyataan kepada publik sementara penyelidikan belum selesai. Dalam hal ini, wacana bahwa Islam identik dengan terorisme terlanjur mengemuka. Malah jadi seperti mengikuti orkestrasi hawkish yang dipimpin A.S. pasca 9/11 (11 September 2001).

Bila dulu orang-orang berpenampilan Islami (berbaju koko & berjenggot misalnya) dihormati di tempat umum, kini malah dicurigai. Hal itu tampak misalnya dari tayangan di televisi, saat ada razia aparat keamanan justru kerap memprioritaskan pada orang-orang seperti ini. Alangkah baiknya di tengah kondisi bangsa yang terancam disintegrasi, perekonomian yang belum pulih, tarik-menarik kepentingan politik, persoalan seperti terorisme jangan dijadikan ‘komoditi’ bagi pihak-pihak tertentu.

Karena terorisme sebenarnya merupakan ekses atau akibat, maka akar atau sebab permasalahannya-lah yang harus dicari dan dituntaskan. Seperti di Rusia, peledakan bom justru sebagai akibat dari masalah dalam negerinya yang tidak selesai. Yaitu aspirasi rakyat di sebagian wilayahnya yang tidak dipenuhi pemerintah pusat. Maka, dari kejadian peledakan bom di Rusia, kita tahu bahwa apa pun bisa dijadikan latar belakang bagi tindakan terorisme. Bukan cuma dalil agama saja. 

[Tulisan ini dimuat di LifeSchool dan Kompasiana dengan sedikit perbedaan, 30 Maret 2010]


Minggu, 28 Maret 2010

Cinta dan Benci

Saya teringat suatu kali berkunjung ke rumah Bapak Ismail Marahimin bersama kekasih saya sewaktu kuliah dulu yang adalah mahasiswa beliau. Nama Ismail Marahaimin ini mungkin tak Anda kenal, namun bagi mahasiswa sastra Indonesia yang mengambil mata kuliah “Penulisan Populer”, tentu akan tahu karena beliaulah penulis buku teks standar ajar untuk mata kuliah tersebut. Pendeknya, beliau jago dalam hal menulis cerpen, novel dan sebangsanya.

Saat itu, iseng saya tanyakan pertanyaan ini: “Andaikata harus mengorbitkan seorang penulis baru, mana yang Bapak pilih: penulis yang tulisannya bagus namun orangnya tidak bapak sukai, atau sebaliknya penulis yang tulisannya biasa saja namun bapak sukai orangnya?” Jawabannya jujur, walau tidak saya duga. Beliau ternyata memilih yang kedua. Kalau beliau mau ‘membungkus’ jawabannya, atas nama obyektivitas dan prinsip keadilan, tentu akan memilih yang pertama.

Adil memang sulit. Seperti halnya saya gambarkan dalam tulisan hari Jum’at lalu di LifeSchool -blog pribadi saya- (klik di sini). Dan kesulitan kita berlaku adil kerap mewarnai kehidupan sehari-hari. Padahal, bila tidak berlaku adil, maka kita cuma punya pilihan sebaliknya, yaitu zalim. Tidak ada pilihan “tengah-tengah”.

Jakob Oetama saat menjawab pertanyaan peserta Kompasiana Monthly Discussion (Modis) hari Sabtu (27/3) lalu juga menyatakan prinsip bahwa di Kelompok Kompas Gramedia (KKG) tidak ada perlakuan kepada karyawan yang berdasarkan “like and dislike”. Meski dalam prakteknya, ia menyerahkan penilaian pada pihak lain di luar KKG. (untuk membaca hal lain yang beliau utarakan, baca tulisan saya di Kompasiana). Tentu saja, implementasi di lapangan tak mudah. Apalagi di bidang SDM, penilaian untuk pegawai kerapkali diserahkan kepada atasannya, yang tentu saja manusia. Dan sang atasan bisa jadi bertindak berdasarkan penilaian subyektifnya, yang didasari rasa suka atau tidak suka, cinta atau benci. Walau tentu ada formulir penilaian yang obyektif, hal itu kerapkali dikalahkan oleh perasaan ini. Bila suka, nilai bisa dikatrol. Sebaliknya bila benci, nilainya dijatuhkan.

Contoh dari kehidupan yang paling mudah justru datang dari kehidupan asmara. Ya, karena asmara identik dengan cinta yang menggelora (dalam istilah Erich Fromm disebut “amor”). Cinta ini akan membuat penampakan penampilan seseorang di mata yang mencintainya ibarat “tai kucing rasa coklat” (seperti lagunya alm. Gombloh). Ini membuat penilaian tidak lagi obyektif. Karena itu, di banyak perusahaan, pasangan suami istri dilarang bekerja di tempat yang sama. Bila ketemu jodohnya di kantor tersebut, salah satunya akan dipindah bagian atau malah diminta berhenti kerja. Ini untuk menghindari konflik kepentingan karena penilaian yang tak lagi obyektif tadi.

Itu berarti, cinta punya ekses negatif. Karena selama ini hampir semua lagu, novel, cerpen, film dan bentuk ekspresi seni lain tentang cinta seolah ia hanya berarti positif. Walau begitu, cinta tetap jelas berada berhadap-hadapan dengan benci di sisi lain. Bila cinta itu ibarat terang, benci itulah gelap. Karena bila membenci seseorang, maka segala yang ada di diri orang yang kita benci selalu jelek. Padahal, tidak mungkin ada manusia yang 100 % jelek. Karena kan katanya Sang Pencipta menciptakan manusia “dengan citra insaninya” (mengutip syair lagu Hey ciptaan Katon Bagaskara dan Adi Adrian), maka tentu tidak jelek sepenuhnya. Benci membuat kita memperlakukan orang lain seperti itu.

Maka, berusahalah menebarkan cinta -alih-alih menyuburkan benci- kepada sesama. Berlaku adil-lah, karena Tuhan menginginkan kita seperti “gambar dirinya” yang punya sifat Maha Adil.

[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana, 28 Maret 2010]

Sabtu, 27 Maret 2010

What Jakob Oetama “The Legend” Said…


Pemimpin Umum Harian Kompas Jacob Oetama/Admin (KompasImages/Kristianto Purnomo)
Jakob Oetama is the living legend. Not only for press or journalism in Indonesia, but also for Indonesia.

Itulah pandangan saya tentang beliau. Dan  pandangan itu cukup mendapatkan justifikasi saat bertemu beliau untuk kesekian kalinya, kali ini di Kompasiana Monthly Discussion (Modis) yang digelar di Hotel Santika-Jakarta Sabtu (27/3) pagi. Seorang Kompasianer yang hadir -Oom Jay- dan beberapa yang lain pun tak ragu menggelarinya “Guru Bangsa”.

Well, meski agak terlalu menyanjung dan melebih-lebihkan, namun boleh-boleh saja “titel” itu disematkan padanya. Satu perbedaan besar antara Jakob Oetama dengan Guru Bangsa lain yang sudah diakui rakyat Indonesia seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid ada dua: banyaknya pemikiran yang dijadikan buku yang mencerahkan dan pengikut. Untuk yang pertama, Pak J.O. -demikian beliau akrab dipanggil terutama di kalangan internal Kelompok Kompas Gramedia (KKG)- mengakuinya sendiri tadi pagi. Beliau mengatakan bahwa dirinya tak sempat-sempat menyelesaikan buku tentang pengalaman pribadinya. Meski saya tahu sudah ada beberapa buku tulisannya yang diterbitkan, misalnya Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus atau Perspektif Pers Indonesia, namun buku masterpiece dengan pemikiran utuh original sepertinya belum keluar dari otak brilyan beliau. Bisa jadi hal ini justru karena beliau sibuk menyejahterakan “pengikut”-nya, yaitu seluruh pegawai Kelompok Kompas Gramedia. Berbeda dengan Gus Dur atau Cak Nur, pengikut Pak J.O. bukanlah massa ormas atau lembaga nirlaba, tapi orang yang diberikannya mata pencaharian melalui perusahaan yang dimilikinya.

Ini pula yang membuatnya menjadi “the living legend” tadi. Di tengah-tengah kondisi bangsa dan dunia yang terus-menerus berubah, ternyata Kelompok Kompas Gramedia dengan harian Kompas sebagai barometernya mampu bertahan. Hal ini juga menjadi titik perhatian dalam paparannya tadi pagi. Beliau mengutarakan perjalanan Kompas sejak era Soekarno hingga saat ini melalui satu kata yang mewakili: “keringat”. Beliau menegaskan hal itu terutama kepada keluarganya dan keluarga besar Kompas. Koran terbesar yang kemudian juga jadi konglomerasi media terbesar di negeri ini bertahan bukan dengan modal besar, tapi dengan keringat.

Mengingat sejarahnya, pada 28 Juni 1965 bersama dengan I.J. Kasimo, Frans Seda, dan F.C. Palaunsuka, Jakob Oetama menggandeng P.K. Ojong (Peng Koen Auwjong) untuk mendirikan Yayasan Bentara Rakyat, setelah sebelumnya pada tahun 1963  menerbitkan majalah dua bulanan Intisari. Sebelum terjadinya peristiwa 30 September 1965, pengurus yayasan sempat menemui Presiden Soekarno dan beliau memberikan nama Kompas untuk harian yang akan diterbitkan. “Modal keringat” tadi benar-benar nyata karena harian Kompas didirikan dengan modal hanya Rp 100.000,- saja! Bahkan P.K. Ojong dikenang sebagai pemimpin yang justru rajin menjemput karyawan dengan Opel Caravannya.

Dalam hal hubungannya dengan P.K. Ojong ini, Jakob Oetama dalam diskusi tadi pagi mengibaratkan Pak Ojong lebih dekat (karakter) ke Mochtar Lubis, sementara dia sendiri mengaku lebih dekat ke Rosihan Anwar. Artinya, bila P.K. Ojong kerap memandang persoalan hitam-putih dan cenderung keras, Jakob Oetama justru melihatnya dalam perspektif hitam-putih-abu-abu. Dalam hal ini Pak J.O. mencontohkan saat rezim Orde Baru mengharuskan pimpinan Kompas menandatangani pernyataan pasca pelarangan terbit pada 21 Januari 1978, P.K. Ojong menolak, namun Pak J.O. membujuk dan menyatakan dirinyalah yang akan menandatangani. Kalau tidak begitu, tentu Kompas akan mati, bukan sekedar ‘mati suri’ lagi.

Karena “keringat” itulah, maka beliau lebih mengutamakan “keberlangsungan” usaha daripada membuat skenario untuk melestarikan “family business”. Ini menjawab pertanyaan saya kepada siapa usaha ini akan diwariskan, apakah kepada anak-anaknya atau diserahkan kepada profesional. Ini tentu menjelaskan komitmen kuat beliau kepada kesejahteraan “pengikutnya” tadi.

Beliau pun menekankan pada tiga hal yang dipandangnya mutlak harus dimiliki “pengikut” beliau, pegawai KKG, yaitu: all-out, kejujuran dan kerja keras. Ini pun menjawab pertanyaan saya tentang visi beliau dalam pengembangan SDM di KKG. Ini kembali menggarisbawahi komitmen beliau tentang pluralisme dan kesamaan kesempatan yang coba dikembangkannya. Sebagai koran yang kelahirannya dibidani Partai Katolik, Kompas tidak lantas anti agama lain atau berat sebelah. Terbukti, selama ini Kompas selalu berupaya menghadirkan jurnalisme yang “teduh”. Menurut Pak J.O., itu karena dalam dirinya terdapat nuansa abu-abu tadi, selain beliau menyenangi keselarasan dan ketenangan.

Komitmen kuat Kompas terhadap ke-Indonesia-an pun ditegaskan berkali-kali. Dalam hal ini, beliau memastikan Kompas tak akan meninggalkan pluralisme, yang dalam bahasa lain dapat kita beri nama “ke-bhinneka-an”. Tak heran, Kompas menolak memihak dalam setiap konflik yang terjadi di negeri ini, kecuali kepada kebenaran yang diinginkan rakyat. Sudah terbukti, Kompas adalah satu-satunya media massa yang bertahan terbit sejak zaman pemerintahan Presiden Pertama hingga sekarang Presiden ke-6. Kesiapan bertahan di masa depan juga ditunjukkan dengan pernyataan dukungan Pak J.O. kepada kemajuan teknologi media termasuk teknologi internet, yang antara lain memfasilitasi Kompasiana.

Menurutnya, “print media” tidak akan mati. Namun lebih luas lagi, beliau menggarisbawahi bahwa bukan sekedar media cetaknya yang tidak akan mati, tapi juga format jurnalisme tulisan -vis a vis jurnalisme gambar bergerak dari TV- justru akan berkibar. Ini menurutnya terbukti hanya di Eropa media cetak mengalami penurunan, tapi di Asia -seperti diwakili oleh koran Times of India yang beroplah 4 juta eksemplar per hari, sebagai bandingan Kompas saat ini sekitar 600.000 per hari- justru mengalami grafik menanjak.

Elektronik atau cetak, menurutnya hanya medium. Dan dengan adanya format blog seperti Kompasiana, membuatnya yakin bahwa format jurnalisme tulisan justru makin berkibar dengan memakai medium baru yaitu internet. KKG juga berniat akan kembali mendirikan stasiun televisi, setelah beberapa waktu lalu sempat “kehilangan” TV-7 (sekarang Trans-7) yang ternyata disesalinya. Apalagi jurnalisme tulisan membuat orang lebih memiliki waktu untuk meresapi dan merenungkan makna yang dibacanya, daripada sekedar dilihat seperti dalam televisi.

Pendek kata, Pak J.O. meyakinkan audiens bahwa Kompas akan senantiasa berupaya hadir dan mengikuti perkembangan zaman. Inovasi mengikuti kemajuan teknologi terus digelar. Demikian pula kehendak pembaca pun coba diakomodasi, meski tentu tak bisa seluruhnya. Maka, kata kunci dari apa yang dikatakan sang legenda adalah “kerja keras dan inovasi tanpa henti”, untuk memastikan Kompas bertahan di tengah laju perubahan. Terutama sekali menghadapi situasi “dunia yang rata” seperti digambarkan oleh Thomas L. Friedman dalam bukunya The World is Flat (2007), di tengah suasana menuju suatu perkampungan global atau Global Village, suatu istilah yang dipopulerkan oleh Marshall McLuhan.

Maka, bak film yang dibintangi Will Smith, sebenarnya Jakob Oetama telah pantas untuk mengatakan: “I am a Legend”. Tapi tak pernah dikatakannya, justru karena kerendah-hatian membuatnya tidak pernah mengatakan hal itu. Orang lainlah -termasuk saya- yang mengatakan dan mengakuinya.

Foto: KompasImages/Kristianto Purnomo

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Kompasiana, 27 Maret 2010]

Kamis, 18 Maret 2010

"Wis, jan tenane, dasar pulisi!"

Artikel ini bukan ditulis karena pas hari raya Nyepi saya kena terkam polisi -eh, oknum polisi- yang 'ngobyek' di jalan sekitar Taman Suropati, tapi lebih karena beberapa waktu lalu saya sempat bertamu ke rumah seorang teman. Teman ini bukan sembarang teman, karena dia anaknya seorang jenderal polisi yang bintangnya sama banyaknya dengan Pak Susno.
Beliau yang namanya baru saya sebut itu kan hari ini membeberkan tentang dugaan adanya "markus" di kepolisian. Ia memilih memberikan keterangan kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum daripada kepada tim bentukan Kepala Polri yang terdiri dari Divisi Propam dan Bareksrim Polri.
Saya lantas teringat teman saya itu. Bukan urusan "markus" memang, tapi urusan polisi -eh, oknum polisi- yang meminta uang alias pungli kepada suaminya. Itu karena suaminya yang direktur berbagai perusahaan memang sedang membutuhkan izin dari berbagai instansi termasuk kepolisian.
Sehabis menceritakan hal itu komentar teman saya itu miris dan ironis didengar:
"Kok bisa ya mereka minta ke suamiku? Padahal kan bapakku polisi juga gitu lho?"
(dalam hati saya menambahi, bukan cuma polisi kali, wong bintangnya juga berderet gitu ya?)
Kalau sudah begini, saya jadi ingat pada almarhum mbah saya yang purnawirawan polisi. Beliau kalau komentar soal polisi selalu diakhiri dengan kalimat:
"Wis, jan tenane, dasar pulisi!"

Catatan: Gambar diambil dari eggie.wordpress.com

[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 18 Maret 2010]

Senin, 22 Februari 2010

Jusuf Kalla: Jadikan Donor Darah Sebagai LifeStyle

Dalam acara Kompasiana Monthly Discussion (MoDis) hari Senin (22/2) pagi tadi, sekitar tiga puluhan blogger Kompasiana berkumpul di Markas PMI provinsi DKI Jakarta. Acara utama adalah mendengarkan pemaparan dari Ketua Umum Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia, Drs. H.M. Jusuf Kalla. Beliau, selain sebagai mantan Wakil Presiden R.I. 2009-2014 juga seorang blogger di Kompasiana.

Bagi saya sendiri, pertemuan dengan beliau pasca Pilpres 2009 lalu adalah yang pertama kali. Saat itu, saya dipercaya oleh Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto untuk memimpin pembuatan blog resmi pasangan itu (http://www.jk-wiranto-2009.com). Beberapa kali saya terlibat dalam rapat, dan satu kali berada di belakang mendampingi beliau saat sedang diwawancara media pasca peringatan Hari Anak Nasional di TMII. Terus terang, saya senang bertemu beliau kembali dalam jarak sedekat ini. Walau tentu beliau sama sekali tidak akan ingat saya yang cuma ’sekrup kecil’ saja dari tim raksasa pendukung beliau.

Terus terang, kalau tidak sedang bicara politik, JK sepertinya kurang ‘menyentil’. Akan tetapi, terlihat jelas kesungguhan beliau untuk bergiat di kegiatan sosial. Ini persis seperti janjinya saat Debat Capres 2009 lalu. Karena saat ditanya ketika itu beliau menjawab: “akan pulang kampung, mengurus kegiatan pendidikan, agama dan sosial” saat diandaikan akan kalah dalam Pilpres. Dan ternyata memang beliau kalah. Dan tak lama, datanglah PMI “menagih janji” beliau untuk berkiprah di ranah sosial.

Tak main-main, segala hal tentang PMI dipelajarinya dengan cepat. Dalam satu bulan saja, JK sudah berkeliling ke 14 provinsi untuk memantau kesiapan PMI di daerah. Ini persis seperti gaya beliau saat menjadi Wapres, cepat dan cekatan. Beliau juga mencanangkan target agar PMI mampu memproduksi sendiri kantong darah yang sekarang masih impor. Sekaligus juga meningkatkan ketersediaan darah di bank darah PMI atau Unit Transfusi Darah menjadi 4 juta kantong. Beliau tak lupa mengungkapkan data, hingga tahun lalu, ketersediaan darah ini hanya 1,7 juta kantong. Padahal, angka 4 juta itu seharusnya adalah minimal cadangan, yaitu 2 % dari total penduduk.

Agar persediaan darah ini dianggap penting, JK bahkan mengilustrasikan bagaimana kalau Indonesia tiba-tiba dilanda perang. Sementara cadangan darah cuma ada untuk dua hari. Belum lagi kantong yang masih impor. Celaka kita!

Karena itu, JK mengajak segenap pengurus dan relawan PMI untuk bekerja lebih keras. Ia juga meminta dukungan masyarakat terutama blogger khususnya blogger Kompasiana untuk mengkampanyekan gerakan mendukung PMI, terutama dalam hal donor darah. JK bahkan meminta agar donor darah dijadikan life style. Sehingga nantinya akan ada chatting atau perbincangan antar blogger:

“Hei, kamu sudah donor darah berapa kali?”
“10.”
“Ah, kalah sama aku. Sudah 15 kali aku donor darah!”
Ah, JK bisa aja. Memang selalu penuh guyon bahkan saat membahas masalah serius!

[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana, 22 Februari 2010]