Semalam, seorang karyawati saya “curhat” tentang keluarganya. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak bahagia dalam kehidupan pernikahannya. Menurut pengamatan saya dan partner saya yang berlatar belakang psikologi, sejatinya yang bersangkutan sudah mengalami “KDRT psikis”. Artinya, ia memang tidak ditampar atau semacamnya, tapi direndahkan derajatnya sebagai istri dan manusia dengan kata-kata dan perbuatan yang menghina.
Apa sebabnya?
Sang suami merasa begitu dekatnya dengan Tuhan, sehingga sang istri harus “patuh bongkokan” kepadanya. Setiap perkataan dan tindakannya adalah benar karena sang suami merasa dialah yang paling tahu tentang Tuhan dan hukum-hukumnya. Hal itu diterapkan di setiap konteks kehidupan sehingga sang istri senantiasa berada dalam posisi “selalu salah”. Ya, siapa lagi yang Maha Benar selain Tuhan kan?
Peran sebagai “wakil Tuhan” atau “juru bicara Tuhan” inilah yang kerap diambil pula oleh para pemuka agama di bumi, dari agama apa pun. Sayangnya, kerapkali kekuasaaan Tuhan yang diambil hanyalah yang berupa kekuasaan untuk bertindak. Artinya, sifat Tuhan yang direnggut hanyalah yang berupa Maha Kuasa, Maha Raja, Maha Penentu, Maha Benar, Hakim Tertinggi, dan semacamnya. Akan tetapi sifat Tuhan yang lain dimana di dalamnya terdapat dimensi welas asih justru tidak diminati. Sebutlah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Memelihara dan sebagainya. Bisa jadi ini manusiawi, apalagi merujuk pada Nietzsche, tiap manusia memang memiliki “kehendak untuk berkuasa”.
Dalam konteks inilah kemudian saya merasa suami karyawati saya itu dan sementara pemuka agama yang mengklaim mewakili umat lantas bisa diletakkan dalam keranjang yang sama. Mereka sama-sama merasa berhak untuk mengatur hidup orang lain. Bila suami karyawati saya itu merasa berhak mengatur peri kehidupan istrinya hingga ke detail terkecil “atas nama Tuhan”, maka para pemuka agama beranjak ke tataran lebih luas: merasa berhak mengatur peri kehidupan umatnya. Mereka merasa perlu dan berhak mengatur peri kehidupan umatnya hingga ke masalah rambut dan cara berpakaian. Karena mereka yakin itu bagian dari kebenaran yang dianut.
Masalahnya, kita tahu bahwa kebenaran itu relatif. Konon, hanya kebenaran Tuhan yang mutlak. Namun pertanyaan filosofis akan mengemuka lagi: Tuhan yang mana atau Tuhan-nya siapa yang benar?
Artinya, dipandang dari kacamata hermeneutika, kita harus memperlakukan setiap dalil agama sebagai teks belaka. Sementara dalil agama itulah yang dijadikan landasan bagi para pemuka agama untuk menetapkan hukum. Dalil itu merupakan buah karya manusia dan jelas relatif kebenarannya. Sayangnya, kerapkali dalil itu diperlakukan sesuci Tuhan sendiri. Padahal, kerapkali dalil jelas-jelas dibuat oleh manusia. Dalam hal ini, kemudian para pembuat dalil memposisikan dirinya sebagai yang paling tahu mengenai kehendak Tuhan. Padahal, sebagai teks, dalil itu paling jauh merupakan tafsir dari kehendak Tuhan saja. Dus, itu belum tentu benar. Akan tetapi, dengan studi dan prasyarat ketat, pada akhirnya akan tercapai konsensus tentang adanya hukum yang harus ditetapkan. Meminjam istilah Jean Jacques Rousseau, momentum itu kemudian akan menjadi “kontrak sosial”. Dan “kontrak sosial” itu kemudian akan menjadi sesuatu yang mengikat dan diikuti umat. Sama halnya dengan hukum negara, meski tidak sempurna, toh tetap harus diikuti oleh warga negara bersangkutan.
Namun ada perbedaan karakter antara hukum negara dengan hukum agama, yaitu pada dalil tadi. Dalil hukum agama dinisbahkan kepada Tuhan, maka lantas dianggap sebagai mutlak. Dan para pelaksananya terutama para pemuka agama merasa pula sebagai bagian dari kemutlakan itu.
Saya lantas teringat film Bruce Almighty (2003) yang pemeran utamanya Jim Carrey. Di situ, Bruce ‘dipinjamkan’ kekuatan Tuhan, namun ternyata, ia menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan untuk skala yang sangat kecil, seperti demi menarik hati kekasihnya saat kencan, Bruce menarik bulan mendekat ke bumi. Akibatnya, terjadi kekacauan cuaca termasuk terjadi tsunami di Jepang. Saat ditegur Tuhan (diperankan oleh Morgan Freeman), barulah Bruce sadar bahwa ia telah memilih sifat Tuhan yang menyenangkan saja. Beban tanggung-jawab sebagai Tuhan Yang Maha Pemelihara, Maha Adil dan sifat-sifat yang seperti ‘kewajiban’ diabaikannya.
Apabila ‘gaya’ Bruce itu diterapkan dalam kehidupan nyata, niscaya akan terjadi ‘musibah’. Ada korban yang akan jatuh. Dalam rumah tangga karyawati saya di atas, korbannya adalah sang istri dan anak-anaknya. Sementara dalam konteks para pemuka agama yang merasa mewakili Tuhan tadi, tentu korbannya adalah umat, baik yang beragama sama dengan para pemuka agama maupun yang tidak. Karena dalam konteks bangsa, sesungguhnya kita semua berada dalam satu bahtera rumah tangga yang sama, seperti halnya suami dan istri yang semestinya saling mendukung dalam menerjemahkan kehendak Tuhan.
[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana, 20 Januari 2010]