Apa sih bedanya lipstik dan gincu? Mungkin secara tekstual harfiah artinya sama. Tapi konotasinya yang berbeda. Kalau lipstik terkesan lebih elit dan buatan pabrik, sementara gincu terkesan murahan. Di zaman Belanda dulu, rakyat miskin bahkan bisa menggunakan tumbukan bata merah. Tapi fungsinya sama, untuk memerahkan bibir -terutama perempuan- agar makin menarik dan sensual. Begitu...
Entah mengapa, itulah yang teringat di benak saya saat membaca kepala berita (headline) di harian Seputar Indonesia (Sindo) hari ini. Di situ tertulis besar-besar: "100 Tokoh Lawan Mafia Hukum". Dilengkapi pula foto gagah sebagian dari 100 tokoh itu. Mereka membentuk Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum (Geram Hukum).
Meski gerakan itu bertujuan "mulia", namun secara pribadi saya meragukan efektifitasnya. Minimal, gerakan macam itu seharusnya bisa jadi kelompok penekan (pressure group). Akan tetapi, tampaknya akan sulit karena formatnya cair. Di samping itu justru 100 tokoh itu heterogen. Belum lagi soal waktu yang pastinya sulit karena mereka semua "orang sibuk". Ditambah lagi masalah "ego" yang pasti besar, sebesar nama tokoh-tokoh itu.
Saya tidak meragukan kualitas perseorangan individu yang terlibat, namun semata menyoroti soal pembentukan gerakan ini. Meski dilandasi niat mulia, kalau tidak ada efektifitasnya, buat apa juga bergenit-genit seperti itu? Misalnya saja muncul pertanyaan begini di benak saya: Apa sih programnya? Bagaimana cara kerjanya? Dari mana dananya? Di manakah kantornya? Ke mana tujuan yang hendak dicapai?
Saya teringat pada "Geram" yang lain, yaitu Gerakan Rakyat Anti Madat. Gerakan ini secara formal berbentuk LSM bahkan sampai membentuk cabang-cabang di daerah. Sehari-hari mereka pun berkolaborasi dengan Polri. Apakah Geram Hukum berniat jadi LSM atau sekedar deklarasi lalu bubar?
Maka, tak heran saya langsung teringat pada lipstik dan gincu. Apalagi di dalam gerakan ini juga ada artis yang memang sehari-hari gemar berlipstik dan bergincu...
[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 28 Januari 2011]