Setelah berhasil menjadi "juara" dalam hal pengumpulan suara di Pemilu 2009 lalu, Edhie Baskoro Yudhoyono duduk menjadi anggota Komisi I di DPR-RI. Kesibukan Ibas -nama panggilan putra bungsu kesayangan Presiden kita itu- bertambah setelah dalam struktur kepengurusan Partai Demokrat yang baru, ia didudukkan sebagai Sekertaris Jenderal. Yah, tidak heran sih, itu kan partai bikinan bapaknya.
Namun ternyata, itu belum cukup. Dalam struktur pengurus KADIN periode 2010-2015 yang dipimpin Ketua Umumnya yang baru yaitu Suryo Bambang Sulistyo, Ibas juga diberi kursi. Ia diberi posisi sebagai Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Promosi Internasional, Pariwisata, Seni dan Budaya (artikel ada di sini).
Sebagai badan yang berfungsi amat luas dalam hal penyelenggaraan kerjasama perdagangan dan perekonomian Indonesia dengan negara lain, KADIN (Kamar Dagang Indonesia-Indonesian Chamber of Commerce) tentu amat strategis. Pemosisian Ibas boleh-boleh saja, apalagi itu hak prerogratif Ketua Umum terpilih bersama tim formaturnya. Bila memang Ibas dianggap mampu sebagai pengurus KADIN, nggih sumonggo mawon.
Namun ada pertanyaan sederhana mencuat, kenapa publik tidak tahu apa saja usaha yang sedang dijalankan Ibas? Teringat iklannya dalam Pemilu lalu, ia justru diposisikan sebagai "eksekutif muda" (seperti foto ilustrasi). Berarti, beliau punya bisnis atau usaha yang jalan dengan pesatnya dong? Sebagai pengurus KADIN, tentu akan sarat kepentingan memajukan bisnis sendiri, meski posisi yang diberikan kepadanya justru dikaitkan dengan bidangnya di Komisi I DPR.
Pertanyaan kedua adalah, apakah ini bentuk "terima kasih" dari Ketua Umum KADIN yang baru kepada SBY atas restunya? Karena tak bisa dipungkiri, jabatan ini prestisius dan "basah". Sulit bisa duduk di "kursi panas" itu bila tak ada restu dari "ingkang mbaurekso".
Transparansi tentang usaha Ibas rasanya perlu dilakukan. Apalagi jabatan di KADIN termasuk jabatan publik. Apakah benar tengara George Junus Aditjondro dalam buku "Membongkar Gurita Cikeas" bahwa SBY dan keluarganya punya aneka bisnis?
Kalau itu terjadi, apa bedanya dengan keluarga Soeharto dan kroni-kroninya? Kalau dalihnya keluarga pejabat sah untuk berusaha, maka seharusnya kita tak boleh mengecam Soeharto dulu, apalagi memakai hal itu sebagai dalih menggulingkannya. Kalau itu memang dianggap rakyat tak sah atau minimal tak etis, masih pantaskah kita memberikan tabik pada "Gurita Cikeas"?
Apakah negara republik ini sedang digiring menuju negara kerajaan Cikeas?
[Tulisan ini semula diposting di Politikana, 25 November 2010]