Mafia, seperti ditulis oleh Pak Pray, arti awalnya adalah perkumpulan “pria terhormat” (mafiosi-tunggal atau mafioso-jamak). Di Italia sendiri, istilahnya adalah “Cosa Nostra”. Asal kata “mafia” secara etimologis ada beberapa versi. Namun yang paling kuat adalah dugaan bahwa kata kerja Sisilia “mafiusu” merupakan derivatif atau turunan dari bahasa Arab tidak resmi (slang) “mahyas” (مهياص) yang berarti menyombongkan diri secara agresif atau dari kata “marfud” (مرفوض) yang berarti “tertolak”. Bila diterjemahkan lebih bebas, maknanya bisa berubah menjadi “angkuh” atau malah “pemberani.”
Anggota mafia terdiri dari kelompok-kelompok yang awalnya berdasarkan kekerabatan atau kesamaan daerah asal. Sehingga, tiap kelompok menyebut dirinya “keluarga” (cosca). Meski sama-sama berasal dari Sicilia -sebuah pulau yang meski termasuk Italia namun terpisah dari Italia daratan, sehingga memiliki kekhasan tersendiri-, namun para anggota mafia hanya setia pada ikatan keluarga mafianya. Setelah terjadinya migrasi besar-besaran warga Italia ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19, terjadi pula eksodus mafia ke berbagai negara terutama A.S., Kanada dan Australia.
Pimpinan tertingginya disebut oleh Pak Pray dengan istilah “Capo Dei Capi”, namun secara pelafalan dalam bahasa Italia yang lebih tepat adalah “Capo di tutti Capi“. Arti harfiahnya “Boss dari segala Boss”, ia mengepalai keluarga besar mafia yang terdiri dari keluarga-keluarga yang lebih kecil. Namun seiring perkembangan zaman, terjadi konotasi pergeseran makna mafia. Akhirnya semua kelompok kejahatan terorganisir kemudian disebut juga mafia. Kita kemudian kenal istilah mafia Jepang atau Yakuza, mafia China atau Triad, atau juga mafia Rusia (Русская мафия) yang aslinya bernama Bratva (Братва), tapi kemudian juga sering diterjemahkan menjadi Mafiya.
Dari sinilah kemudian kejahatan terorganisir beranak-pinak. Harap diingat, kejahatan terorganisir pada dasarnya merupakan manipulasi dan eksploitasi sistem terutama sistem hukum di negara bersangkutan. Meski terkenal sebagai pembunuh tanpa ampun, kelompok mafia juga adalah pebisnis ulung dan negosiator handal. Anggotanya bukan cuma geng jalanan berandalan, tapi juga kelompok masyarakat kelas atas. Sebutlah kepala polisi, senator, gubernur, petugas pajak, dan golongan lain sesuai keperluan. Ada yang menjadi anggota mafia dulu baru berprofesi macam-macam, itu berarti penyusupan. Tapi ada juga orang di luar keluarga yang didekati untuk kerjasama. Bisa dengan imbalan uang, atau malah ancaman terhadap keselamatan diri dan keluarganya.
Karena itu, tak heran dalam novel-novel Mario Puzo yang sangat akurat tentang kehidupan mafia digambarkan bahwa mafia itu manusia biasa juga. Mereka bahkan rajin beribadah dan melakukan kegiatan sosial! Banyak bos mafia -seperti digambarkan dengan karakter Don Vito Corleone dan putranya Don Michael Corleone dalam trilogi film Godfather (1972) karya sutradara Francis Ford Copolla- yang menempatkan diri dalam posisi terhormat dan memang dihormati masyarakat tempatnya tinggal.
Akan halnya di Indonesia, terdapat banyak kelompok kejahatan terorganisasir, namun tidak dalam satu wadah tunggal. Maka, diragukan ada “Capo di tutti Capi” di sini. Meski begitu, saya pernah mendengar sejumlah nama disebut sebagai bosnya bos mafia di Indonesia, namun saya tak bisa menyebutnya bahkan cuma inisialnya sekali pun. Dia terlalu kuat bagi seorang saya, karena konon ia bahkan bisa membuat seorang jenderal aktif sungkem cium tangan kepadanya.
Bisnis mafia pada dasarnya adalah bisnis jaringan. Mereka mengandalkan jaringan kepercayaan. Karena itu ada credo khusus bagi anggotanya angggotanya yang tertangkap, yaitu “Omerta” atau sumpah tutup mulut. Karena kalau ia berani “bernyanyi”, meski selamat dari aparat keamanan, ia pasti dihabisi rekan-rekan anggota keluaga mafianya sendiri. Kerahasiaan amat rapi, bahkan mungkin lebih rapi dari jaringan teroris. Seringkali antar sel tidak kenal satu sama lain. Apalagi bisa menjangkau “Capo di tutti Capi” tadi.
Akan tetapi, di Indonesia keberadaan mafia tidaklah seseram itu. Pembunuhan fisik amat jarang dilakukan, walau bukan berarti pembunuhan dengan cara lain tidak dilakukan. Menghancurkan bisnis lawan dengan tindakan kekerasan atau menghentikan pasokan untuk membuat bangkrut sama saja dengan membunuh orang secara perlahan. Organisasinya pun tidak serapi itu, walau koordinasinya bisa dibilang rapi.
Sebenarnya keberadaan mafia terkait erat dengan perizinan. Makin rumit dan panjang rantai perizinan, makin mudah disisipi mafia. Segala macam surat yang dibutuhkan warga negara, hampir pasti di-mark up dari harga resminya. Apalagi yang membutuhkan waktu lama, pasti ada mafia yang menawarkan jasa mempercepat urusan.
Dengan begitu, seolah mafia identik dengan calo. Padahal tidak. Mafia ‘bermain’ di playground yang jauh lebih luas. Di luar negeri mereka bahkan bisa mempengaruhi ditetapkannya suatu Undang-Undang! Di sini, kasus hilangnya dua ayat tentang Tembakau dari RUU Kesehatan beberapa waktu lalu ditengarai karena ulah mafia rokok dan tembakau. Walau hingga kini kasus itu masih belum jelas.
Dalam kegiatannya, mafia menjalankan bisnis apa saja yang dimungkinkan. Akan tetapi, favoritnya adalah hotel yang dilengkapi tempat perjudian. Selain itu mafia juga biasanya menjalankan bisnis perdagangan obat terlarang, penyelundupan barang dan orang, namun yang paling penting adalah pencucian uang (money laundering). Untuk keperluan terakhir inilah kemudian mafia juga menguasai aneka bisnis penting yang legal secara hukum negara bersangkutan.
Kembali ke Indonesia, logika pembuktian terbalik yang saya sebutkan di awal tulisan justru bisa diterapkan kepada pihak-pihak yang membantu mafia. Dengan menjatuhkan pihak-pihak di luar keluarga mafia yang membantunya, mafia akan kehilangan orang kepercayaan. Siapa mereka? Biasanya adalah pejabat yang duduk di pemerintahan. Mafia tak akan segan menyuap atau memaksa pejabat melakukan manipulasi dan korupsi demi melancarkan kolusi yang dibangun.
Oleh karena itu, sebenarnya kepedulian warga dan keberanian aparat keamanan yang bersih harus ditingkatkan. Apabila ada “keajaiban” seperti Gayus Halomoan Tambunan yang dalam waktu singkat bisa punya rumah mewah -karena tabungan tak terlihat orang lain- maka warga sekitarnya sepatutnya bertanya-tanya. Apalagi bila ia dikenal tidak kaya sewaktu kecil atau orangtuanya termasuk miskin. Termasuk seorang yang pekerjaannya adalah salah satu dari tripartit penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) atau aparat keamanan dari angkatan lain yang hidup mewah juga sangat layak dicurigai. Aparat yang terkait dengan pengurusan segala jenis izin pun sangat rentan dipengaruhi mafia.
Bahkan untuk hal-hal publik seperti kesehatan, asuransi, tenaga kerja, parkir bahkan hingga pengemis pun diorganisir oleh mafia masing-masing. Apalagi jasa keamanan partikelir yang diserahkan pada organisasi massa, biasanya juga rentan disusupi mafia. Keberadaan mafia ini menggelisahkan, karena kerapkali mereka begitu berkuasanya bak “warlord” tanpa tersentuh aparat keamanan setempat yang bisa jadi sudah ‘dijadikannya kawan’. Di samping itu jelas menyebabkan negara tempat hinggapnya mafia terpaksa menanggung ekonomi biaya tinggi karena mark-up yang dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa, baik oleh institusi pemerintah maupun sektor swasta.
Karena itu, keberanian pemerintah memberantas mafia harus ditingkatkan. Memang, mencari alat bukti sulit. Akan tetapi bukan tidak mungkin misalnya dengan modus jebakan seperti halnya kasus penyuapan kepada Mulyana W. Kusumah -anggota KPU periode lalu- yang tertangkap tangan oleh KPK. Di luar negeri terutama di A.S., pemerintahnya juga secara konsisten memberantas mafia, sehingga kini organisasi mafia secara teknis bisa dibilang sudah dalam kondisi “hidup segan mati tak mau”. Walau yang namanya kejahatan terorganisirnya masih berlangsung. Toh, itu lebih baik daripada mereka dibiarkan berkeliaran merugikan rakyat dan bangsa.
[Tulisan ini semula diposting di Kompasiana, dan LifeSchool pada 31 Maret 2010]