Semalam, saya diundang sobat saya Hadi Rahman untuk menghadiri diskusi dan peluncuran buku di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta. Ternyata buku yang diluncurkan editornya ya dia sendiri. Sementara penulisnya adalah “rekan Face Book” saya, Dandhy Dwi Laksono. Judulnya cukup menantang: Indonesia For Sale.
Saya tidak hendak melaporkan acara launchingnya yang lebih mirip arena “temu kangen” antar teman ketimbang diskusi buku itu, akan tetapi lebih menyoroti isi buku yang “mencerahkan”. Saya terhenyak lagi, meski merasa terus-menerus belajar dan tak henti menyerap ilmu dari kehidupan, ternyata masih banyak sekali hal yang saya tak tahu. Itulah yang saya dapat dari membaca buku ini.
Sebagai wartawan muda yang sudah sarat pengalaman, Dandhy yang antara lain pernah menjadi Kepala Seksi Peliputan di RCTI dan Pemimpin Redaksi Aceh Kita ini piawai menginvestigasi. Namun selain itu, rupanya ia juga getol mengumpulkan data. Maka, jadilah buku ini seperti sebuah lontaran uneg-uneg yang “bergizi”, alih-alih sekedar sebagai “pengisi waktu nganggur” seperti diutarakannya saat launching.
Oke, kita masuk ke pembahasan soal isinya. Meski secara akademis Dandhy adalah seorang sarjana hubungan internasional, namun isi buku ini justru soal ekonomi. Dan di soal inilah saya jadi merasa goblok karena diajari Dandhy lewat bukunya.
Gaya penulisan buku ini menggunakan alur imajiner dengan menuturkan peristiwa dari sudut pandang penulis yang berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat seperti sopir taksi, tukang parkir atau penjaga WC umum. Dari interaksi inilah lahir obrolan yang dituangkan dalam tulisan bergaya dialogis antara penulis dengan elemen masyarakat tadi. Yang diobrolkan? Ya persoalan ekonomi yang hebatnya, kebanyakan makro.
Wawasan dan data Dandhy amat luas dalam persoalan ini. Pembaca akan jadi mafhum ternyata persoalan ekonomi yang dianggap “urusan wong gedean” itu jelas mempengaruhi semua sektor kehidupan. Artinya, mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Misalnya harga minyak bumi yang jejingkrakan di New York Merchantile Exchange (NYMEX) baik jenis light sweet atau brent north sea (p.36) berpengaruh pada pendapatan supir taksi. Saya yang jelas bukan pelaku ekonomi makro pun pun jadi ‘makin ngeh’ betapa anehnya ‘permainan’ ekonomi makro di Indonesia. Misalnya fakta bahwa kita sebagai produsen minyak tidak mampu menentukan patokan harga minyak sendiri. Meski ada yang namanya Indonesian Crude Price (ICP), ternyata sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 tahun 2005, harga minyak berpatokan pada harga di Singapura, yang nota bene sama sekali tak punya ladang minyak. Patokan harga ini namanya MOPS (Mean of Platts Singapore atau populer disebut Mid Oil Platts Singapore), alasannya karena patokan harga di dalam negeri belum terbentuk (p. 48).
Berbagai insight information terkait kebijakan ekonomi makro dan moneter pun diungkapnya. Misalnya soal pro-kontra pemberian hak eksplorasi blok Cepu kepada Exxon Mobil di halaman 229-230. Ia misalnya dengan berani menuliskan nama politisi DPR yang semula mempermasalahkan hasil negosiasi pemerintah itu dengan mengusulkan hak interpelasi dan kemudian mencabutnya kembali setelah partainya berkompromi. Atau tentang swastanisasi air di Jakarta (p.92-98). Analisanya pun mudah dicerna, seperti saat menerangkan utang luar negeri kita (p.238-p.241). Namun terutama yang patut dipuji justru saat ia menerangkan neolib di berbagai bagian tersebar dalam buku ini, terutama di bab 3, 4, dan 5. Neolib ini, seperti kita semua tahu, adalah satu terma ekonomi "seksi" yang ramai diperdebatkan saat Pilpres 2009 lalu.
Apa yang menjadi tujuan Dandhy menulis buku ini ternyata agar persoalan ekonomi mudah dipahami oleh orang kebanyakan seperti supir taksi, tukang parkir atau penjaga WC tadi. Namun, meski sudah disederhanakan dan mudah dimengerti bagi non-sarjana ekonomi, menurut saya tulisan tadi tetap ‘terlalu berat’. Apalagi kalau pasarnya adalah orang kebanyakan. Terlebih dengan penuturan melompat-lompat bahkan ada ”jebakan batman” seperti soal waktu penuturan di satu cerita yang tidak sama seperti di halaman 39. Walau begitu, buku ini berhasil membuat persoalan rumit menjadi sederhana tanpa menyederhanakan persoalan. Terlebih gaya penulisannya yang bertutur bahkan di beberapa bagian bak membaca Supernova (2001)-nya Dewi "Dee" Lestari -memilih cara penulisan bergaya fiksi namun menyelipkan fakta- cukup membuat nyaman pembaca. Walau begitu, untuk sampai menyamai Supernova, apalagi karya monumental Seno Gumira Adjidarma Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997) tentu Dandhy masih perlu banyak pengembangan lagi.
Sampai-sampai dalam “blurp”-nya di sampul belakang buku Arswendo Atmowiloto menyebut “buku ini lucu”. Bolehlah disebut lucu, asal jangan mentertawakan rakyat saja yang dalam buku itu pun disebut sebagai obyek pelengkap penderita saja dari sistem ekonomi kita. Sepakat kan?
[Tulisan ini diposting bersamaan di LifeSchool dan Politikana, 7 Oktober 2009]