Tak terasa sudah 34 tahun Teater Koma eksis di dunia hiburan Indonesia. Kali ini kelompok teater pimpinan Nano Riantiarno itu mementaskan produksi ke-122. Lakon yang diambil adalah karya Tio Keng Jian dan Loko An Chung berjudul Sie Jin Kwie Kena Fitnah. Ini adalah bagian kedua dari trilogi Sie Jin Kwie setelah pementasan bagian pertamanya tahun lalu. Sebuah lakon epik dengan latar sejarah Dinasti Tang di Cina pada abad ke-7.
Dalam bagian kedua ini, penonton disuguhi sekitar 10 menit adegan kilas balik (flash back). Bagi penonton yang tak menyaksikan bagian pertamanya seperti saya, penggambaran ini lumayan berguna. Walau jujur saja, saya sempat agak bosan di bagian ini. Medium yang digunakan adalah layar yang disoroti lampu warna-warni dari belakang. Menampakkan siluet prajurit yang tengah berperang. Kemudian disusul penggunaan medium bernama “Wayang Tavip”. Ini adalah semacam panggung wayang yang berasal dari nama pemrakarsanya, menampilkan wayang aneka bentuk sesuai karakter yang diinginkan dan ditampilkan ke layar dengan tata cahaya sebegitu rupa sehingga penonton melihat bayangan wayang yang berwarna, beda dengan wayang tradisional yang siluetnya hanya hitam. Saya sempat kuatir sepanjang pertunjukan cuma akan menyaksikan “Wayang Tavip” ini, bukan teater dengan orang betulan.
Namun kekuatiran saya sirna saat empat orang pemain muncul dengan “Wayang Tavip” masih ada di panggung. Mereka bergerak-gerak seperti wayang dengan narasi masih dari dalang. Setelah dalang keluar dari balik layar, ia memberi narasi hingga bagian Sie Jin Kwie meyakinkan istrinya Liu Kim Hwa bahwa pria asing yang datang adalah suaminya sendiri. Setelah itu, pemeran Sie Jin Kwie dan Liu Kim Hwa mulai bicara sendiri. Sementara Sie Kim Lian anaknya dan sang asisten masih diwakili oleh wayang. Setelah frame besar di panggung diangkat, gerobak “Wayang Tavip” digeser keluar panggung dan sang dalang menyingkir, barulah para pemain muncul satu per satu sesuai cerita. (kisah dan jalan cerita lakon ini dapat disimak di blog pribadi saya: http://www.lifeschool.wordpress.com).
Menyaksikan pementasan dari kelompok teater ini, selalu membuat saya mendapatkan pencerahan. Saya mengikuti pementasan demi pementasannya sejak saya SD di tahun 1980-an, tentu karena diajak ayah saya. Sejak itu, saya jadi “fans berat” Teater Koma. Lakon-lakon dengan aneka tema bisa dikemas dan dibumikan bernuansa Indonesia, bahkan lakon asing seperti Sie Jin Kwie atau karya asing lain termasuk dari nama-nama besar seperti Brecht.
Dalam lakon kali ini, selain penggunaan medium “Wayang Tavip”, saya mengagumi kerumitan busana dan dekorasi panggungnya. Luar biasa detailnya! Busana para bangsawan terlihat begitu mewah lengkap dengan benang emasnya. Sementara panggung yang luas disulap menjadi berbagai setting dengan mengganti-ganti dekorasinya. Mulai dari istana megah hingga penjara kumuh tergambar dengan baik. Demikian pula properti lain seperti perlengkapan perang. Bahkan kuda untuk Raja Sou Po Tong dari Tartar Barat dan Panglima Besar Sie Jin Kwie dibuat khusus dari besi dalam ukuran sebenarnya. Mengagumkan! (silahkan cermati kolase foto-foto jepretan saya di atas).
Pembangunan karakter yang menjadi kekuatan Nano Riantiarno selaku sutradara dan pimpinan Teater Koma juga menonjol. Tiap karakter tampil kuat. Namun justru di sinilah bagi penonton awam seringkali dibuat bingung memahami peran masing-masing tokoh. Apalagi bagi penonton awam non-praktisi teater seperti saya. Penonton di sekitar saya misalnya bergumam, “Itu siapa sih?” saat adegan menggambarkan dua orang perempuan menerima kabar bahwa Sie Jin Kwie dipenjara. Ternyata, itu adalah istrinya Liu Kim Hwa dan tunangannya Zhae Yang. (cermati bagian kisah tersebut di blog saya http://www.lifeschool.wordpress.com).
Ketiadaan panduan jalan cerita dan keterangan tentang peran tiap karakter yang memadai di buku acara yang dibagikan juga turut menimbulkan “kebutaan” saat menikmati jalannya adegan demi adegan. Meski begitu, untungnya jalan ceritanya relatif mudah dicerna dan dipahami. Toh, saat menuliskan kisahnya seperti termuat di blog saya tersebut, saya agak kesulitan mengingat nama-nama karakter, walau ingatan saya masih kuat untuk merekam jalan cerita. Sehingga saya perlu dibantu partner saya (thank you, my dearest!).
Namun secara umum, saya sangat menikmati pementasan tersebut yang nyaris tanpa cacat. Ada lima kali kesalahan pengucapan dialog dan gerak dalam pementasan hari Sabtu (5/2) yang saya saksikan dari kursi kelas VIP, namun rasanya itu tidak berarti dalam pementasan selama sekitar 4 jam dalam dua babak tersebut. Apalagi patut diingat para pemain tampil setiap malam dari tanggal 4 hingga 26 Maret 2011, dimana jelas diperlukan stamina dan daya tahan prima. Pementasan lakon di tiap kali produksinya yang begitu apik seperti inilah yang membuat Teater Koma saat ini berhasil mengukuhkan diri sebagai kelompok teater terbaik di tanah air.
[Artikel ini pertama kali diposting di Kompasiana, 7 Maret 2011]