Kamis, 03 Maret 2011

Memilih Menteri Berdasarkan Kompetensi

     Menteri, meskipun terlihat mentereng dari segi jabatan, merupakan personel yang bekerja bagi institusi juga. Karena itu, menteri merupakan SDM atau Sumber Daya Manusia bagi negara dengan pemerintah sebagai institusi pengelolanya.
     Sayangnya, kita sangat jarang mendengar seorang menteri -juga pejabat publik lain- menjalani tes layaknya SDM di sebuah perusahaan. Padahal, kinerja sang menteri kelak, sebenarnya sangat tergantung dari kompetensi yang bersangkutan. Kita tahu, dalam Kabinet Indonesia Bersatu -baik I maupun II- ada beberapa orang yang kompetensinya berbeda dengan jabatan yang diembannya. Bukan berarti yang bersangkutan tidak kompeten, hanya kompetensinya sebenarnya tidak cocok dengan jabatan yang diberikan. Anehnya, karena jabatan menteri itu bergengsi, tentu saja tidak pernah ada kasus seorang yang ditugasi sebagai menteri menolak. Kecuali, tentu saja, bila sang Presiden sebagai yang menugasi sudah di ujung kehancuran. Ini pernah terjadi saat 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri serentak saat Presiden Soeharto terancam dijatuhkan dari kekuasaannya di tahun 1998. Namun, para menteri itu ironisnya tidak menolak saat Soeharto memilih mereka beberapa bulan sebelumnya.
     Ketidakcocokkan ini tentu tidak akan terjadi apabila terhadap para menteri diberlakukan tes juga laiknya kepada pegawai perusahaan. Tentu, tesnya tidak perlu dari dasar seperti psikotes umum pelamar kerja, tapi dibuatlah tes khusus untuk mengetahui hal-hal yang penting untuk kecocokan itu. Misalnya saja pengetahuan sang calon menteri mengenai bidang yang akan diembannya. Termasuk di sini tentu saja perlu tes kepribadian, ini untuk mengetahui kecenderungan cara kerja sang menteri dan bagaimana caranya mengatasi masalah. Perbedaan kepribadian termasuk tipe kepemimpinan akan berpengaruh terhadap gayanya dalam memimpin kementerian nantinya.
     Tes untuk mencari calon pegawai berdasarkan kompetensi dikenal dengan nama assessment. Ini juga bisa dipakai untuk menilai kinerja pegawai bersangkutan saat sudah menduduki jabatannya, sebagai bentuk job evaluation. Tentu tidak mungkin menerangkan prosesnya dalam tulisan sesingkat ini, namun sederhananya di sini harus dirancang sebuah assessment centre yang pertama-tama menyusun dahulu sebuah kerangka kompetensi. Menurut Ian Taylor dalam bukunya A Practical Guide to Assessment Centres and Selection Methods (2007), ada tiga tipe kompetensi: umum, pekerjaan dan hubungan.
     Kompetensi umum menyangkut keahlian pribadi seperti komunikasi. Kompetensi pekerjaan tentunya bersifat teknikal terkait pekerjaannya, termasuk yang soft skill seperti "leadership". Sementara kompetensi hubungan adalah bagaimana seseorang mencermati pekerjaannya sebagai "konteks" atau dalam kaitan hubungan dengan yang lain termasuk lingkungan.
     Nah, seorang menteri seharusnya memiliki nilai rata-rata tinggi dalam ketiga jenis kompetensi ini. Sedangkan mengenai parameternya, seharusnya bisa dibicarakan antara pelaksana assessment profesional dengan Presiden selaku user. Data-data teknis tambahan dari kementerian terkait tentu juga diperlukan terutama untuk menentukan parameter kompetensi pekerjaan. Tingginya nilai seorang calon menteri dalam assessment setidaknya mengurangi kemungkinan yang bersangkutan mendapatkan "rapor merah" dari masyarakat atas kinerjanya. Sehingga tidak perlu kuatir akan di-reshuffle oleh Presiden seperti santer terdengar belakangan ini.
     Mengaitkan hal tersebut di atas dengan isyu akan adanya reshuffle kabinet, menarik mencermati bagaimana Presiden RI selaku pemegang hak prerogatif yang mutlak menggunakannya untuk memilih pembantunya. Terlihat sekali, dari berita-berita di media massa, bahwa asal partai politik calon menteri masih menjadi pertimbangan utama dibandingkan kompetensinya. Selama ini, memang pejabat karier di kementerian paling tinggi mencapai jabatan Sekertaris Jenderal atau Sekjen. Bahkan Sekjen pun terkadang juga ‘orang bawaan' sang menteri. Maka, para pejabat karier banyak yang pensiun di jabatan Direktur Jenderal atau Dirjen saja. Padahal, dibandingkan menteri ‘orang luar', sebenarnya ‘orang dalam' yang sudah mengabdi belasan atau puluhan tahun lebih menguasai permasalahan di kementerian bersangkutan. Akan tetapi, kita saksikan sendiri, sangat jarang Presiden memilih pejabat karier untuk posisi menteri. Kecuali untuk jabatan setingkat menteri yang memerlukan pemahaman mendalam dan spesialis seperti Jaksa Agung atau Gubernur Bank Indonesia misalnya.
     Karena itu, meski sebenarnya agak terlambat, namun bila ada menteri yang hendak diganti, hendaknya diganti dengan yang kompeten. Ini bisa dilakukan dengan melakukan serangkaian tes. Bukan yang asal perintah ke dalam dan komentar asal ke luar. Sehingga kinerja pemerintah akan makin baik dan tentu saja meningkatkan kepuasan rakyat.

Catatan: foto hanya ilustrasi, menggambarkan Perdana Menteri Jepang Taro Aso menerima laporan assessment dari Council for Comprehensive Review of Administrative Expenditures. Sumber foto: kantei.go.jp.

Artikel ini juga diposting di kompasiana.com dan bahterajiwa.com, namun tanpa foto ilustrasi.

[Tulisan ini pertama kali diposting di Kompasiana dan  Politikana,2 Maret 2011]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar